Malam semakin menggulita, tapi rapalan dzikir terus digemakan oleh ratusan petani di bawah tratak menghadap panggung. Di atas panggung berdiri seorang agamawan yang sedang memimpin istighasah. Di samping kanan kiri panggung telah berbaris para simpatisan dari berbagai daerah—mungkin juga berbagai agama—ada dari Bandung, Garut, Maluku, Kanada (seorang mahasiswi program pertukaran pelajar), dan saya sendiri dari Demak; sedang mengikuti khusuknya acara bersama petani di Kulon Progo.
Acara tersebut berlangsung selama dua hari (13-14/3/2019) yang diselenggarakan PPLP-KP (Paguyuban Petani Lahan Panta Kulon Progo) dalam menyambut ulang tahunnya yang ke-13. Malam hari diawali dengan istighasah dan disambung ceramah dari kiai; lalu pagi sampai siang hari diisi dengan refleksi sesama petani dari berbagai komunitas di Jawa. Itu bukan sekedar acara doa bersama atau pengajian yang umum di panggung-panggung desa; melainkan sebuah acara untuk menguatkan memori bersama sebagai masyarakat yang tertindas—mustadz’afin.
Ratusan petani dari empat desa, baik laki-laki atau perempuan—bahkan selain petani, berkumpul dalam satu tempat di mana mereka menelurkan semangat melawan tambang pasir besi. Suasana malam seketika berubah seperti berselimut beludru, nuansa perlawanan menghangatkan panggung rakyat.
Umumnya masyarakat pedesaan, khususnya yang menjadikan Islam sebagai keyakinan, kerudung menjadi sehelai kain yang menempel di manapun perempuan beraktivitas—kecuali di dalam rumah. Saya selalu melihat kerudung ketika mereka berkumpul dalam rapat, ketika bertani di ladang, atau ketika menjamu saya sebagai tamu di rumah mereka. Namun, “arti penting” kerudung sering luput dari tatapan mata para penikmat dinamika gerakan.
Saya mencoba mengesampingkan kecurigaan feminisme Barat perihal kerudung, yang mereka anggap sebagai pengekangan/pembatasan/perbudakan. Ini sepenuhnya konteks Indonesia, di mana posisi kerudung menjadi simbol perlawanan pada pra-reformasi dan menjadi simbol pengekangan pada pasca-reformasi.
Merancang Kerudung Perlawanan untuk Petani
Petani perempuan dalam konteks ini adalah objek konstruksi: harus menutup auratnya. Dengan demikian level kenyamanan perempuan di ruang publik adalah bentukan budaya, bukan terberi—menurut pandangan konstruktivis.
Pada diskursus ini saya meminjam dua gagasan Marie Mc Andrew dalam Muslim Diaspora (Andrew 2006). Pertama tentang konstruktivisme heterosentris, yaitu anggapan kerudung sebagai bentuk warisan budaya yang bernuansa ideologis. Dengan kata lain, setiap perempuan yang menggunakan kerudung adalah korban dari hegemoni kuasa patriarki yang bercokol pada budaya. Oleh karenanya, perempuan dianggap teralienasi dari niat tulus mereka mengenakan kerudung.
Para aktivis yang menggunakan pandangan pertama ini berusaha keras mendekonstruksi ideologi yang tersemat di balik kerudung. Alih-alih membebaskan perempuan dari “ketertindasan”, gerakan aktivisme malah tersesat dalam usaha menciptakan identitas bersama daripada mempertahankan pluralisme.
Perempuan akan dianggap belum menempati posisi setara dalam ruang sosial atau agama, dan mereka—perempuan muslim—telah gagal mencetak identitas asli mereka, karena kerudung ditakar sebagai warisan etnis/budaya yang kuat nuansa ideologi dominatifnya.
Pada tahap yang mengkhawatirkan, gerakan aktivisme tersebut akan jatuh pada islamophobia. Kerudung menjadi plot seksis dan fundamentalis sebagai dasar menggerakkan opini publik untuk melarang ekspresi keragaman agama di muka umum. Tetapi saya membatasi pada tahap paling mengkhawatirkan tersebut (islamophobia), karena di Indonesia Islam menjadi kepercayaan mayoritas.
Pandangan konstruktivisme heterosentris menjadi tidak kompatibel dengan apa yang terjadi pada petani perempuan Kulon Progo. Sebab ketika di ruang publik dan melakukan penolakan proyek pertambangan, kerudung melekat erat di kepala mereka. Kalau dianggap belum setara, kenyataanya mereka bisa hadir dalam aksi penolakan, beraktivitas di ladang bersama laki-laki, dan mengikuti rapat menentukan gerak organisasi. Bahkan, satu petani perempuan berkesempatan berbicara di atas panggung mewakili petani Kulon Progo pada acara siang itu.
Pandangan yang kedua adalah konstruktivisme individualistis. Pandangan ini mengakui budaya (dan etnis) adalah hasil konstruksi, namun yang membuatnya berbeda dengan konstruktivis heterosentris adalah pengakuannya terhadap hak prerogatif individu. Artinya, seseorang sebagai subjek aktif dalam membentuk identitasnya seperti yang ia inginkan dengan mengaitkan otonomi moral orang lain terhadap dirinya sendiri. Ini seperti ada rasa tubuh individu menjadi milik sosial.
Pandangan yang kedua ini mengakui secara penuh perempuan sebagai subjek sosial yang mampu memutuskan pilihan untuk tubuhnya sendiri. Sebagaimana petani perempuan, mengenakan kerudung adalah pilihan individu—seperti yang sudah saya sebut di atas—secara tulus. Dan kerudung membersamai mereka di setiap aksi reclaiming dan mempertahankan ruang hidup; tak jarang mereka bersuara menyampaikan pengalaman pahit yang tak terbantahkan.
Bagian pilihan ini—memakai kerudung—bukan sekedar memburu pengakuan moral, tapi juga pengakuan atas keagamaan mereka di ruang publik. Pilihan ini juga pernah dipraktikkan oleh dua organisasi feminis di Quebec: Fédération des femmes du Québec dan devout Muslim Women, dalam memperjuangkan pengakuan keberagamaan dan hak-hak mereka sebagai perempuan muslim.
Dalam konteks yang berbeda, slametan (istighasah) sebagai representasi keadaan selamat. “Dadi Wong Wadon: Representasi Sosial Perempuan Jawa di Era Modern”, (Permanadeli 2015). Yakni selamat dari perampasan ruang hidup, menjadi ruang pengakuan moral-keagamaan dan eksistensi perempuan di ruang publik.
Saya perlu mengakui, bahwa konstruktivisme individualistis memiliki kelemahan—yang merugikan bagi perempuan. Karena berbasis interaksionisme sosial, pandangan tersebut syarat akan relasi kuasa sebagai penentu nilai moral. Bahkan, pilihan pribadi untuk mengenakan atau melepas kerudung terkadang tidak direstui oleh kelompok masyarakat.
Jadi, tidak menutup kemungkinan terjadinya stereotipe terhadap petani perempuan yang tidak mengenakan kerudung. Namun sejauh bersama para petani, saya tidak menemukan gesekan di antara mereka: perempuan berkerudung dan beberapa tidak berkerudung berkerumun dengan laki-laki. Mereka semua adalah sama. []