Mubadalah.id – Sayangnya hingga saat ini, pemahaman keagamaan masih kerap dijadikan legitimasi atas pelemahan posisi perempuan dalam keluarga. Ketimpangan ini kemudian menjalar ke ruang-ruang publik.
Dalam praktik pernikahan, misalnya, akad nikah dilakukan antara calon suami dan ayah atau wali mempelai perempuan. Posisi perempuan sebagai subyek yang cakap hukum sering kali terabaikan.
Bahkan, syarat kedewasaan bagi perempuan tidak penting selama ayah atau walinya memenuhi syarat hukum untuk menikahkannya. Maka, pernikahan anak, adalah sah secara agama, meskipun secara moral dan kemanusiaan amat merugikan.
Padahal konsekuensinya sangat fatal. Karena banyak anak perempuan yang cerdas, bahkan terbaik di kelasnya, terpaksa putus sekolah hanya gara-gara menikah.
Namun akibatnya, mereka akan mengalami hubungan seksual di usia anak, lalu hamil dan melahirkan sebagai ibu. Semua ini adalah “kewajaran” bagi perempuan dalam budaya dan agama yang bias gender. Padahal, realitas ini merupakan bentuk kekerasan yang dilegalkan oleh tafsir-tafsir yang tidak memihak pada perlindungan anak dan perempuan.
Saling Berkaitan
Oleh sebab itu, prinsip adil gender dalam keluarga tidak bisa kita pisahkan dari struktur hukum dan kebijakan negara. Karena kehidupan keluarga menyangkut banyak aspek kehidupan, tidak hanya Undang-Undang Perkawinan atau Kompilasi Hukum Islam.
Bahkan, regulasi ekonomi berdampak pada ekonomi keluarga. Termasuk, aturan tentang lingkungan hidup seperti akses air bersih juga berpengaruh terhadap kesejahteraan rumah tangga. Juga soal kebijakan pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan semua terhubung dengan bagaimana keluarga hidup dan berkembang.
Indonesia memang bukan negara Islam secara formal. Namun karena mayoritas warga negara adalah Muslim, maka tafsir ajaran Islam berpengaruh besar terhadap tatanan sosial—baik dalam masyarakat maupun pada kebijakan negara. Tak terkecuali dalam hal relasi gender dalam keluarga.
Ketika ajaran agama ditafsirkan secara patriarkal, maka negara juga cenderung mengadopsi model relasi serupa dalam peraturan dan praktiknya.
Oleh karena itu, membangun relasi gender yang setara dan adil dalam keluarga Muslim menjadi fondasi penting untuk menciptakan masyarakat dan negara yang adil gender.
Juga termasuk, tafsir agama yang memanusiakan perempuan, yang menghormati kesetaraan, dan yang menjamin keadilan menjadi syarat mutlak untuk memastikan perempuan tidak terus-menerus menjadi korban dalam keluarga maupun dalam kehidupan publik. []