Mubadalah.id – Di Indonesia, tanggal 12 Rabiul Awal bukan sekadar hari peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw, melainkan juga hari libur nasional. Penetapan ini terjadi ketika KH. Abdul Wahid Hasyim, ayah Gus Dur, menjabat sebagai Menteri Agama.
Sejak saat itu, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW mendapat pengakuan resmi negara. Upacara peringatannya bahkan pernah digelar di Istana Negara, dihadiri langsung oleh Presiden, Wakil Presiden, para pejabat tinggi, duta besar negara sahabat, serta ribuan umat Islam.
Acara ini disiarkan melalui televisi nasional, menjadikannya bukan hanya perayaan religius, tetapi juga momentum kenegaraan yang meneguhkan identitas keislaman Indonesia.
Namun, di balik penerimaan luas tersebut, ada perdebatan panjang yang tidak bisa diabaikan. Sebagian kecil kalangan menilai bahwa perayaan Maulid Nabi adalah bid’ah. Pandangan ini diwakili oleh Ibnu Taimiyah, seorang tokoh salafi awal yang hidup pada abad pertengahan.
Dengan pendekatan tekstualis yang ketat, ia menolak perayaan Maulid karena tidak pernah Nabi maupun para sahabat lakukan. Beberapa abad kemudian, pandangan ini diwarisi oleh Muhammad bin Abdul Wahhab di Jazirah Arab.
Gerakan yang kemudian kita kenal sebagai Wahabi ini menolak keras peringatan Maulid, bahkan menjadikannya sasaran kritik dan kecaman. Saudi Arabia hingga kini menjadi salah satu negara Islam yang secara resmi menolak perayaan Maulid, berbeda dengan hampir seluruh dunia Muslim lainnya.
Penuh Kegembiraan
Di luar pandangan tersebut, mayoritas umat Islam justru merayakan Maulid Nabi dengan penuh kegembiraan. Dari Afrika Utara, Timur Tengah, Asia Selatan hingga Asia Tenggara, Maulid menjadi momentum kolektif untuk mengenang Rasulullah.
Bagi masyarakat Muslim yang berperadaban, perayaan Maulid bukan soal sah atau tidak sah dalam teks, melainkan sebuah cara untuk menghadirkan Nabi kembali dalam kehidupan sehari-hari. Perayaan ini menjadi wadah untuk memperkuat cinta, menumbuhkan keteladanan, serta meneguhkan ajaran beliau dalam ruang sosial dan budaya.
Pertanyaan yang lebih penting: apa yang seharusnya kita maknai dari Maulid Nabi di era sekarang? Apakah cukup berhenti pada ritual—menyalakan kandil, pawai obor, ceramah, atau lantunan madah pujian? Ataukah kita perlu melangkah lebih jauh?
Jawabannya jelas. Maulid Nabi tidak boleh berhenti pada seremoni. Esensi dari memperingati kelahiran Nabi adalah meneladani akhlak mulia beliau dan melanjutkan cita-cita universalnya: membebaskan manusia dari penindasan, dari kebodohan, dari ketidakadilan. Nabi Muhammad tidak hanya datang membawa wahyu, tetapi juga membawa pesan kemanusiaan yang melampaui batas zaman dan peradaban.
Di tengah dunia yang masih berperang, ketimpangan ekonomi, dan krisis kemanusiaan, peringatan Maulid menjadi relevan kembali. Ia mengingatkan kita bahwa misi Nabi adalah menghadirkan rahmat bagi seluruh alam—rahmatan lil ‘alamin.
Menghidupkan Semangat Perjuangan Nabi
Karenanya, memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw bukan sekadar mengenang kelahiran beliau, melainkan juga menghidupkan kembali semangat perjuangannya: membangun masyarakat yang adil, penuh kasih, dan menjunjung tinggi martabat manusia.
Indonesia, dengan tradisi Maulid yang terakui sebagai bagian dari identitas kebangsaan, punya peluang besar untuk menjadikan momen ini sebagai refleksi kebangsaan. Dari Istana Negara hingga surau-surau di pelosok, Maulid dapat menjadi ruang perjumpaan antara agama, budaya, dan negara, yang saling menguatkan demi cita-cita kemanusiaan.
Dengan demikian, perbedaan pandangan tentang Maulid seharusnya tidak membuat umat Islam tercerai-berai. Sebaliknya, Maulid bisa menjadi momentum untuk menegaskan kembali bahwa cinta kepada Nabi bukan sekadar pada teks atau ritual, tetapi pada penghayatan nilai-nilai yang beliau wariskan. Dan nilai itu, sekali lagi, adalah kasih sayang, keadilan, dan kebebasan bagi seluruh umat manusia. []