Mubadalah.id – Beberapa hari lalu, dunia dikejutkan oleh sebuah peristiwa yang tak biasa. Presiden Meksiko, Claudia Sheinbaum, dilecehkan secara seksual di depan publik saat sedang berjalan di pusat Kota Meksiko.
Insiden itu terjadi Selasa (4/11) ketika ia sedang berjalan kaki menuju Kementerian Pendidikan untuk menghadiri sebuah pertemuan. Sheinbaum hendak menyapa warga di jalan. Lalu seorang pria datang dari belakang, merangkul, dan mencoba mencium lehernya. Peristiwa ini terekam kamera dan segera memicu gelombang kemarahan.
Namun di tengah riuhnya berita, Sheinbaum memilih langkah yang tegas dan simbolik. Dia melaporkan kasus itu secara resmi ke kejaksaan. “Jika ini bisa terjadi pada presiden, apa yang akan terjadi pada semua perempuan di negara ini?” katanya dalam konferensi pers.
Pernyataan itu mengguncang bukan karena dramatis, tetapi karena mengungkap kenyataan pahit, bahwa kekuasaan politik tidak otomatis melindungi tubuh perempuan dari kekerasan. Di ruang publik, perempuan masih berhadapan dengan risiko yang sama. Tubuhnya dianggap milik umum, bukan milik dirinya.
Kuasa Tubuh, dan Ruang yang Tak Aman
Kasus Presiden Meksiko Dilecehkan ini menjadi cermin penting tentang bagaimana ruang publik masih dikuasai logika patriarkal. Seorang perempuan bisa menjadi presiden, namun tetap menghadapi bentuk pelecehan yang sama dengan perempuan pekerja, pelajar, atau ibu rumah tangga. Perbedaan status sosial tidak mengubah fakta dasar bahwa budaya permisif terhadap kekerasan seksual masih terjadi di banyak masyarakat.
Dalam perspektif mubadalah, kejadian ini bukan hanya soal “pelaku dan korban”. Ia mengajak kita untuk membaca realitas sosial sebagai jalinan relasi yang perlu kita perbaiki secara timbal balik. Pelecehan seksual tidak lahir dari ruang kosong. Ia lahir dari relasi sosial yang timpang, dari bahasa yang menormalkan penguasaan atas tubuh perempuan, hingga sistem hukum yang lamban menegakkan keadilan.
Mubadalah menawarkan cara pandang lain. Setiap relasi harus kita bangun atas dasar saling menghormati dan saling menjaga. Jika tubuh perempuan adalah amanah, maka masyarakat juga memiliki amanah kolektif untuk menciptakan ruang yang aman baginya. Ketika satu pihak direndahkan, sebenarnya martabat kemanusiaan seluruh masyarakat ikut merosot.
Makna Kekuasaan dan Kerentanan
Ada paradoks menarik dalam kasus ini, yakni seorang presiden yang berkuasa, tetapi tetap rentan menjadi korban. Dari sudut mubadalah, inilah ruang refleksi moral. Kekuasaan seharusnya menjadi alat untuk melindungi, bukan menjadi tembok yang membuat seseorang kebal. Ketika seorang perempuan yang memiliki kekuasaan politik pun dilecehkan, itu pertanda bahwa masalahnya bukan individu, melainkan struktur sosial.
Insiden ini mengajarkan bahwa kuasa dan kerentanan bisa bertukar tempat. Presiden yang biasanya menjadi simbol kendali dan otoritas justru memperlihatkan sisi rapuh seorang manusia yang tubuhnya tak kebal dari kekerasan. Dan melalui sikap terbukanya, Sheinbaum menukar posisi “korban” menjadi “penggerak perubahan”. Ia tidak diam, tidak malu, tidak menutup diri. Dia berbicara untuk jutaan perempuan lain yang kerap dibungkam.
Dalam bahasa mubadalah, tindakan ini adalah bentuk pertukaran suara dan pengalaman. Yang satu bicara, yang lain mendengar; yang mengalami, menyalurkan pengalaman itu untuk mengubah sistem. Ada keseimbangan baru yang lahir. Kekuasaan ia gunakan bukan untuk menutup luka, tetapi untuk menuntut keadilan bagi semua.
Belajar dari Meksiko
Di Meksiko, data resmi menunjukkan sekitar 70 % perempuan usia 15 tahun ke atas pernah mengalami satu atau lebih bentuk kekerasan. Pelecehan di jalanan adalah salah satu yang paling umum. Bagi banyak perempuan, berjalan sendirian di ruang publik adalah bentuk keberanian. Maka ketika seorang presiden pun terlecehkan di jalan, itu bukan sekadar insiden personal. Ia adalah simbol dari ketakutan kolektif yang perempuan alami setiap hari.
Indonesia tidak jauh berbeda. Kita juga hidup dalam kultur yang sering meremehkan pelecehan verbal, menganggap sentuhan iseng sebagai candaan, dan menyalahkan korban karena pakaiannya. Dalam konteks ini, mubadalah mengajak kita untuk menukar cara pandang. Yakni dari menyalahkan korban menjadi memahami akar masalah. Dari menuntut perempuan untuk “menjaga diri” menjadi mengajarkan laki-laki untuk menjaga lisan dan tindakan.
Perspektif ini sejalan dengan prinsip Islam yang menempatkan kehormatan manusia sebagai hak yang kita jaga bersama. Dalam surah An-Nur, laki-laki dan perempuan sama-sama diperintahkan untuk menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Itu artinya, tanggung jawab moral tidak kita bebankan secara sepihak. Prinsip mubadalah justru menegaskan keadilan relasional, bahwa semua pihak punya peran saling melindungi, bukan saling menyalahkan.
Mengganti Diam dengan Bersuara
Langkah Presiden Sheinbaum melapor ke polisi adalah pesan kuat bagi dunia. Perempuan berhak marah, bersuara, dan menuntut keadilan. Ia menolak normalisasi pelecehan dengan menempuh jalur hukum, sesuatu yang sering kali enggan dilakukan banyak korban karena takut tidak dipercaya atau malah disalahkan.
Dari perspektif mubadalah, keberanian ini bisa kita baca sebagai pertukaran nilai sosial. Dari budaya diam menuju budaya bersuara, dan ketakutan menjadi keberanian kolektif. Setiap perempuan yang berani bicara sebenarnya sedang membuka jalan bagi perempuan lain untuk ikut bersuara.
Masyarakat pun diajak untuk ikut “menukar” sikap. Dari penonton pasif menjadi pelindung aktif. Aparat hukum perlu menukar paradigma “kasus kecil” menjadi pelanggaran serius atas martabat manusia. Media harus menukar sensasionalisme dengan empati, agar pemberitaan tidak menambah luka korban.
Ruang Aman sebagai Tanggung Jawab Bersama
Kasus yang menimpa Claudia Sheinbaum menjadi pengingat keras. Tidak ada jabatan, status, atau kekuasaan yang mampu menghapus kerentanan perempuan di ruang publik yang belum aman. Tapi ia juga membuka harapan baru, bahwa perubahan dimulai ketika seseorang memilih untuk menukar rasa malu menjadi keberanian, dan ketakutan menjadi tindakan.
Melalui semangat mubadalah, kita belajar bahwa hubungan sosial yang adil bukan lahir dari kekuasaan sepihak, melainkan dari kesediaan untuk saling menghormati, saling mendengar, dan saling menjaga. Maka, tugas kita bukan hanya mengutuk pelaku, tetapi juga menumbuhkan budaya yang membuat pelecehan menjadi mustahil terjadi. Budaya yang menghormati tubuh dan martabat setiap manusia, tanpa tapi dan kecuali. []











































