Mubadalah.id – Eksepsi kaidah mubadalah ini (likulli qa’idatin mustatsnayat) bisa dicontohkan dengan kasus khitan atau sunat laki-laki dan perempuan.
Sebagai teknik pemotongan bagian tubuh tertentu, ia tidak berlaku mubadalah. Bahwa karena khitan itu baik bagi laki-laki, maka ia juga baik bagi perempuan, hal ini tidak berlaku.
Sebab, ia bersifat teknis dan kondisional, serta terkait dengan perbedaan biologis antara anatomi kelamin laki-laki dan kelamin perempuan.
Ia termasuk isu eksepsi dari kaidah mubadalah. Sesuatu yang baik bagi laki-laki, seperti khitan, justru tidak baik bagi perempuan.
Isu khitan harus ditarik ke sesuatu lebih prinsip, bukan terjebak pada isu pemotongan sebagian dari kelamin. Yang lebih prinsip mengenai isu khitan laki-laki adalah hak atas kesehatan dan kenikmatan seksual.
Hak inilah yang lebih tinggi daripada isu parsial khitan (pemotongan kulup). Hak ini bisa di -mubadalah-kan. Begitu pun jika kita tarik secara lebih tinggi lagi kepada hal yang lebih prinsip, lebih luas dan tinggi cakupannya, yaitu hak hidup secara bermartabat dan terhormat.
Memaknai Teks
Di samping ada eksepsi, kaidah dan metode mubadalah juga bisa kita kembangkan untuk memaknai teks-teks lain yang memiliki otoritas dalam kehidupan nyata, seperti undang-undang, norma-norma budaya, dan adat istiadat.
Bahkan, bisa juga kita gunakan untuk memahami data dan fakta realitas kehidupan. Terutama yang menyangkut pengalaman nyata perempuan dalam relasi mereka dengan laki-laki.
Tiga langkah kerja metode mubadalah yang telah di atas jelaskan, bisa kita gunakan untuk memaknai teks-teks dalam undang-undang.
Sebab, secara prinsip, semestinya setiap produk undang-undang akan meletakkan laki-laki dan perempuan sebagai subjek yang sama dan setara di mata hukum.
Sehingga, jika terjadi teks yang khusus untuk jenis kelamin tertentu, bisa kita tarik pada makna yang menjadi umum, yang bisa kita aplikasikan pada kedua jenis kelamin.*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Qiraah Mubadalah.