Mubadalah.id – Bagi saya, menikah di usia berapapun, entah di usia muda, di usia matang, atau bahkan memilih untuk hidup sendiri adalah kebebasan setiap individu. Orang tak bisa disebut berprestasi hanya karena menikah duluan dibanding kawan seangkatannya. Pun juga orang tak bisa disebut paling gagal hanya karena namanya masuk dalam deretan nama-nama single yang tersisa dari sebuah komunitas. Semua punya pilihan hidup masing-masing yang tak pernah lepas dari latar belakang dirinya, keluarga, maupun keadaan lain yang tak pernah benar-benar dipahami orang lain.
Selepas kuliah, saya memutuskan untuk bekerja menjadi pendidik di daerah tertinggal. Saya menikmati peran, keadaan, dan kesempatan mengenal dunia luar yang saya hadapi. Hal itu adalah pengalaman terbaik yang pernah saya miliki.
Saya melongo ketika salah seorang rekan saya yang sudah bertunangan dan hendak menikah tiba-tiba mewanti-wanti saya tanpa diminta. Dia bilang nikah harus ditarget biar nggak kebablasan. Ia terus menyerang saya dengan sederet nasihat basi yang sayangnya tak bisa saya bantah demi menjaga hubungan pertemanan. Nasihat itu hanya masuk telinga kiri saya, mampir sebentar untuk menambah sesak di dada, hingga akhirnya saya putuskan untuk membuangnya melalui telinga kanan.
Bertahun setelah kejadian itu, saat saya kembali mengajar di sekolah lain. Saya merasakan hal serupa. Kali itu pelakunya bukan lagi rekan saya. Ia sudah sibuk dengan keluarga baru dan anak balitanya. Suara itu kembali terdengar dari murid saya. Ya, murid saya. Duh, murid saya yang usia SMA itu loh, menasihati saya agar segera punya suami. Mereka bilang saya harus segera menikah sebelum keduluan mereka.
Nah, ya untung saya sudah jadi guru yang amat menyayangi mereka. Kalau tidak tentu saya sudah emosi duluan. Usia saya dengan mereka terlampau jauh, sekitar sepuluh tahun. Adanya rentang usia sejauh itu membuat saya bisa menepis kalimat tersebut dengan mudah. Dengan amat yakin saya menegaskan bahwa saya pasti lebih duluan menikah daripada mereka.
Cerita ini masih terus berlanjut. Kali itu mereka sudah naik ke kelas dua belas. Dan ndilalah saya juga masih single. Tapi, jujur sejujurnya, di usia itu saya belum pernah punya pikiran untuk menikah. Saya masih menikmati masa untuk mengeksplorasi diri. Selain itu, saya belum benar-benar siap dengan ikatan pernikahan.
Seperti biasa, mengajar di kelas dua belas selalu membuat saya tiba-tiba menjadi motivator setenar Mario Teguh, meskipun hanya di mata murid-murid saya. Saya dan tim selalu berupaya mendorong anak untuk lebih rajin belajar agar kelak bisa lolos seleksi di kampus impian. Suatu waktu, kami para tim pengajar kelas dua belas meminta anak-anak menuliskan kampus impian mereka di papan tulis.
Satu persatu mereka maju dan menuliskan kampus impiannya. Saya tersenyum semakin lebar melihat nama-nama kampus keren yang tertulis di papan tulis. Sayangnya senyum saya yang lebar itu tiba-tiba redup, berganti dengan mata yang melongo dan alis yang bertaut manakala saya menemukan ada tulisan KUA di sana. Ya, ada tulisan KUA.
Sontak tangan saya bersedekap, mata saya melirik ke deretan bangku murid perempuan. Saya bertanya siapa gerangan yang berani-beraninya menuliskan tiga huruf itu di papan tulis. Saya sedikit lega saat mendapati wajah-wajah murid perempuan saya menggeleng cepat. Dengan cepat mereka menunjuk deretan bangku murid laki-laki sebagai jawabannya. Kerlingan mata saya ganti menatap kepada barisan para murid laki-laki. Sebelum saya sempat bertanya mereka sudah tertawa terbahak-bahak. Salah satu bahkan sempat menjawab dengan suara keras.
“Nikah muda juga cita-cita mulia, Bu.”
Saya hanya menatap mereka dengan wajah datar dan kembali duduk di kursi. Saya tak tahu secara spesifik mereka termotivasi dari siapa hingga tiba pada simpulan itu. Entah dari Alvin Faiz, tokoh publik lain, atau dari kawan-kawannya sendiri. Yang saya tahu, mereka telah mendengar glorifikasi tentang nikah muda, entah dari ustad-ustadnya, seminar, atau kampanye di media sosial. Sekali lagi saya perlu menegaskan, saya tak masalah memilih menikah di usia muda atau di usia matang. Namun, hal itu tak membuat saya lantas berpikir bahwa nikah muda adalah sebuah prestasi.
Berhubung hari itu saya duduk di depan murid saya –bukan di hadapan rekan saya seperti kejadian sebelumnya- maka saya bisa menyematkan sedikit nasihat. Bahwa tak selamanya nikah muda itu menjadi prestasi. Menikah di usia berapa pun asal telah benar-benar siap dan memiliki bekal yang cukup tetaplah hal baik. Di usia mereka yang baru lulus SMA tentu adalah momen terbaik untuk mengembangkan diri dengan belajar lebih banyak. Bahkan hingga lulus kuliah pun mereka masih punya kesempatan untuk mengeksplor diri. Tak perlu buru-buru menikah hanya karena dikejar status.
Hasilnya, sebagian dari mereka manggut-manggut. Sebagian mungkin karena menerima dan menyetujuinya, sebagian lain berpikir biar cepat istirahat. Entah lagi kalau di luar sana mereka menjumpai kampanye nikah muda lagi. Tentu saja perjuangan untuk menyuarakan bahwa nikah muda itu bukan prestasi selalu digaungkan oleh sebagian besar orang yang sadar.
Saat saya mengajar di pelosok, kebetulan saya menghadiri acara pernikahan adat salah seorang warga. Dalam acara tersebut ada agenda untuk memotong kue pengantin bagi sepasang muda mudi yang telah menjalin asmara. Si laki-laki memotong kue dan menyuapkannya kepada teman perempuannya. Hal itu dilakukan sebagai harapan pasangan muda mudi itu bisa segera menyusul. Kebetulan salah satu pasangannya adalah murid SMK.
Seusia agenda itu, beberapa tokoh masyarakat dapat kesempatan menyampaikan sepatah dua patah kata. Salah satunya Kepala SMK. Beliau dengan tegasnya menyatakan keberatan jika murid SMK ikut dalam acara potong kue, meskipun mereka berdua sebentar lagi akan menempuh ujian. “Saya mendidik kalian itu biar bisa jadi orang. Selepas SMK pergilah belajar, merantau, atau bekerja. Jangan langsung menikah,” begitu tutur beliau waktu itu.
Sayangnya, masih banyak juga orang yang jangankan turut mendukung anak untuk tetap belajar dan berkarya di usia muda, mereka justru memotivasi para murid dengan jiwa yang masih polos untuk segera nikah di usia muda hanya dengan dalih menghindari zina. Padahal ada banyak cara untuk menghindari zina, bukan?
Anak muda tetaplah anak muda. Selepas mereka lulus dari sekolah, mereka akan kembali menelan berbagai informasi tentang pandangan tersebut. Entah yang menguatkannya atau membantahnya. Demikian juga dengan para murid saya selepas lulus dari SMA.
Suatu kali, salah satu murid saya yang sudah menjadi mahasiswa memutuskan menikah. Ada yang masih duduk di tahun pertama, kedua, atau ketiga. Intinya mereka masih berstatus mahasiswa dan belum lulus. Seperti pasangan muda mudi lain, mereka akan mengupload foto-fotonya di instagram. Serentak kolom komentarnya ramai ucapan selamat. Saya mengenal sebagian akun yang meninggalkan komentarnya di sana.
Tentu saja, mereka adalah murid-murid saya juga. Dari ucapan selamat yang mereka berikan, keinginan untuk segera menyusul serta kalimat baper yang ditinggalkan, tahulah saya bahwa sebagian dari mereka masih berpikiran bahwa nikah muda adalah sebuah prestasi.
Hari-hari terakhir, media ramai dengan kisah Alvin Faiz yang ‘berhasil’ menikah di usia belia. Saya turut menyayangkan akan berakhirnya pernikahannya serta aibnya yang diketahui publik. Terlepas dari itu semua, setidaknya kisah Alvin Faiz -salah satu dari sekian ribu orang yang dulu pernah mengkampanyekan nikah muda- mengajarkan satu hal penting: nyatanya menjalani sebuah ikatan pernikahan tak pernah semudah mempromosikannya. Dan semoga murid-murid saya jadi lebih banyak berpikir setelah mendengar berita tersebut. []