Mubadalah.id – Dalam kisah sejarah perjalanan rumah tangga Nabi Muhammad Saw banyak sekali pelajaran yang dapat menjadi teladan. Termasuk dalam rumah tangga Nabi Saw, beliau juga sering terjadi perbedaan dan perdebatan istri nabi, tetapi perbedaan ini sama sekali tidak melahirkan kekerasan.
Juga termasuk dalam konflik yang sekeras apapun, Nabi SAW tidak pernah menggunakan media kekerasan untuk mengembalikan pada kebersamaan kehidupan berumah tangga.
Beberapa ayat al-Qur’an (surat al-Ahzab dan surat at-Tahrim) merekam perselisihan yang pernah terjadi dalam kehidupan rumah tangga Nabi SAW., lebih khusus antara Aisyah ra dan Hafsah ra sebagai istri di satu sisi dengan Nabi SAW sebagai suami.
Puncak perselisihan-atau lebih tepatnya perbedaanini, Nabi SAW bersumpah untuk tidak berkumpul bersama mereka selama satu bulan.
Nabi SAW meninggalkan istri dan kemudian tidur di dalam masjid selama dua puluh sembilan hari. Ketika pulang dan memasuki kamar Aisyah ra, Nabi SAW disambut dengan kata-kata: “Sumpah kamu kan satu bulan, ini baru dua puluh sembilan hari sudah pulang”.
Nabi SAW tidak marah, cukup menjawab: “Satu bulan itu bisa dua puluh sembilan hari”. “Oh.. ya..,” jawab Aisyah ra.
Nabi SAW kemudian masuk rumah dan pada akhirnya memberi pilihan kepada mereka, untuk tetap hidup bersama Nabi SAW dengan segala kelebihan dan kekurangan, atau berpisah agar bisa memperoleh apa yang mereka inginkan.
“Wahai Nabi, katakan kepada istri-istrimu, jika kalian menginginkan kehidupan dunia dan kenikmatannya, mari aku berikan kesenangan itu dan kita berpisah dengan baik. Tetapi jika kalian menginginkan Allah, Rasul-Nya, dan hari akhirat. Sungguh Allah telah mempersiapkan pahala yang besar bagi orang-orang yang berbuat baik dari kalian”. (QS. Al-Ahzab: 28-29).
Kisah Perselisihan
Kisah perselisihan dalam keluarga Nabi SAW tersebut terekam dalam beberapa riwayat hadis. Di antaranya yang diriwayatkan Ibn Abbas ra bahwa ia mendatangi Umar bin Khattab ra yang menceritakan:
“Demi Allah, kami pada masa Jahiliyah tidak pernah memperhitungkan perempuan. Kemudian Allah menurunkan beberapa ayat tentang perempuan dan memberikan hak kepada mereka.
Suatu saat kami sedang berpikir untuk melakukan sesuatu, tiba-tiba istriku mengusulkan: “Kerjakan saja yang lain, ini atau itu”. Saya berkata kepadanya: “Apa hakmu berbicara dalam hal ini, tidak usah ikut campur pada urusanku”.
Istriku menjawab: “Aneh kamu ini, wahai anak alKhattab. Kamu tidak rela dibantah istrimu sendiri, padahal anakmu Hafsah istri Nabi SAW sering memberi masukan dan membantah tawaran Nabi SAW, hingga pernah suatu ketika Nabi SAW marah seharian penuh”.
Mendengar berita itu, Umar bergegas menemui Hafsah: “Putriku, benarkah kamu sering membantah tawaran Rasulullah SAW hingga beliau pernah marah seharian?”.
“Kami, para istri, biasa melakukan itu,” kata Hafsah. “Aku peringatkan kamu. Semestinya kamu takut akan siksa Allah SWT dan kemarahan Rasul-Nya. Janganlah karena cemburu terhadap salah satu istri yang lain, lalu membuat kamu berani melakukan hal itu terhadap Rasulullah”.
Kemudian aku -kata Umar rakeluar dari rumah Hafsah ra dan mendatangi rumah Ummu Salamah ra, salah seorang istri lain Nabi SAW, karena hubungan kerabatku dengannya.
Aku ceritakan perihal perilaku buruk anakku Hafsah terhadap Nabi SAW, dan kemarahanku kepaku melakukan pemukulan dan kekerasan. Nabi SAW cukup mulia untuk melakukan itu semua.
Pada puncaknya, Nabi SAW hanya keluar dari rumah meninggalkan mereka dan duduk tinggal di dalam masjid. Bahkan, jika perlu, selama satu bulan penuh meninggalkan mereka.
Ini adalah model pendidikan yang diterapkan Nabi SAW kepada para istri. Sebuah cara pergaulan yang memanusiakan perempuan. []