Mubadalah.id – Ada sebuah kegemaran aneh yang menjangkiti sebagian dari kita, sebuah hobi yang lahir dari keheningan malam dan cahaya biru di layar gawai. Salim adalah salah satu penganutnya.
Di kamarnya yang temaram, ia bukan lagi mencari ketenangan dengan membaca buku atau mendengarkan musik, melainkan mencari kemenangan dari panggung sandiwara digital yang disebut dengan “debat agama”.
Setiap malam, ia seperti seorang penonton di baris terdepan sebuah Colosseum virtual. Ia menyaksikan jagoan dari agamanya membantai lawannya dengan dalil-dalil tajam. Setiap kali lawan bicaranya terdiam atau argumennya terpatahkan, ada desiran kepuasan dalam diri Salim. Judul-judul video yang provokatif menjadi santapan hariannya, memberinya perasaan superior.
Perlahan tapi pasti, imannya berubah wujud. Apa yang seharusnya menjadi taman pribadi di dalam hatinya, tempat ia menanam benih-benih kesabaran dan welas asih, kini ia sulap menjadi sebuah gudang amunisi.
Ia tidak lagi membaca kitab sucinya untuk mencari petunjuk hidup, melainkan untuk mencari peluru-peluru tajam yang bisa ia tembakkan dalam debat agama. Pengetahuannya bukanlah tentang keindahan ajaran agamanya sendiri, melainkan tentang daftar kelemahan dan kecacatan agama orang lain.
Salim merasa imannya semakin kokoh. Padahal, ia sedang membangun sebuah benteng di atas pondasi yang sangat rapuh. Benteng itu tidak ia bangun dari batu-batu pemahaman dan perenungannya. Tidak. Ia membangunnya dari puing-puing rumah orang lain, dari pecahan-pecahan argumen yang ia kumpulkan setiap hari.
Tentang Kedamaian
Hingga suatu sore, di sebuah kedai kopi, benteng itu diuji. Salah seorang sahabatnya, Anton, yang berbeda keyakinan, dengan wajah antusias bercerita tentang pengalaman spiritual yang ia alami ketika beberapa waktu yang lalu ia berkunjung ke “kota suci”. Ia bicara tentang kedamaian, tentang perasaan terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya: Tuhan.
Melihat celah, Salim pun melancarkan serangannya. Dengan nada yang ia anggap cerdas, ia menyela, “Oh, kedamaian ya… Tapi, Ton, bukannya di kitabmu ada ayat yang isinya begini? Agak aneh kan kalau kamu merasa damai padahal ada kontradiksi semacam itu.”
Seketika, suasana hangat di meja itu membeku. Wajah Anton yang tadinya ceria berubah pias, campuran antara bingung dan terluka. Ia hanya bisa bergumam pelan, “Aku… aku tidak tahu konteks ayatnya, Lim. Tapi bagiku, agamaku itu sederhana saja, tentang bagaimana aku bisa menjadi orang yang baik.”
Salim merasa menang. Ia berhasil memojokkan Anton. Tapi kemenangan debat agama itu terasa aneh, hampa. Tidak ada sorak-sorai, apalagi pujian. Yang ada hanya keheningan yang canggung dan sorot mata teman-temannya yang seolah berkata, “Kenapa kamu mengatakan itu?”
Malam itu, untuk pertama kalinya, kemenangan terasa seperti kekalahan. Wajah Anton yang terluka terus membayanginya. Ia mulai bertanya pada dirinya sendiri, sebuah pertanyaan yang selama ini ia hindari: Untuk apa semua ini?
Merusak Persahabatan
Ia menang adu mulut, tapi ia merusak persahabatannya. Ia merasa paling benar, tapi ia membuat orang lain merasa salah dan diserang. Apakah ini tujuan mengapa ia beragama? Mengubahnya menjadi seorang pendebat ulung yang lihai menyakiti hati orang lain?
Saat itulah ia sadar. Benteng yang selama ini ia banggakan sesungguhnya hanyalah sebuah rumah kaca. Terlihat megah dari luar, memantulkan citra superioritas, tetapi begitu rapuh dan kosong di dalamnya. Ia sadar bahwa keyakinan yang “butuh” menjelek-jelekkan keyakinan lain hanya untuk merasa benar, sebenarnya adalah keyakinan yang paling rapuh.
Orang yang benar-benar nyaman dan bahagia di rumahnya sendiri tidak akan menghabiskan waktunya hanya untuk mengintip ke jendela tetangga dan mencari-cari retakan di dinding rumah mereka. Orang yang kamarnya sudah terang benderang oleh cahayanya sendiri tidak perlu berkeliling mematikan lilin orang lain.
Iman Sejati
Kebutuhannya untuk terus mencari pembenaran dari kelemahan orang lain adalah teriakan sunyi dari rasa tidak amannya sendiri.
Sejak malam itu, Salim perlahan berubah. Ia mulai meninggalkan panggung debat kusir itu. Ia kembali membuka kitab sucinya, kali ini dengan niat yang berbeda. Bukan lagi untuk mencari amunisi, tapi untuk mencari oase. Ia ingin menemukan kembali keindahan, kesejukan, dan kedamaian yang pernah ia rasakan dulu, sebelum semuanya terkontaminasi oleh bisingnya perdebatan.
Iman sejati, pada akhirnya, bukanlah tentang seberapa keras suaramu dalam meneriakkan kebenaran. Iman sejati itu seperti akar pohon yang kuat, yang menghunjam diam-diam ke dalam tanah, menyerap kekuatan di kedalaman, bukan dari keributan di permukaan. Ia tidak perlu menggoyang pohon lain untuk membuktikan kekokohannya. Ia hanya perlu tumbuh, dalam diam, menuju langit. []