Mubadalah.id – Sejarah Islam mencatat bahwa Nabi Muhammad Saw lahir ke dunia berbarengan dengan rencana Abrahah, Gubernur Yaman, keturunan Abyssinia, Etiopia, beserta pasukan gajahnya melakukan agresi militer ke Makkah guna memindahkan Ka’bah ke negaranya. Agresi militer itu pada akhirnya gagal total. Orang lalu mengenang kelahiran Nabi sebagai Tahun Gajah.
Al-Qur’an mengabadikan peristiwa ini dalam satu surat: “al-Fil” (gajah) atau “Ashab al-Fil” (pasukan gajah).
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ (١) لَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ (٢) وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ (٣) تَرْمِيهِمْ بِحِجَارَةٍ مِّن سِجِّيلٍ (٤) فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُولٍ (٥)
Artinya: Allah mengatakan: Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan rencana jahat mereka (untuk menghancurkan Ka’bah) itu sia-sia? dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat). (QS. al-Fil ayat 1-5).
Begitu Aminah melahirkan anaknya dengan selamat, ia minta orang lain menyampaikan kabar itu kepada kakeknya, Abdul Muththalib.
Memberi Nama Muhammad
Sang kakek segera datang dengan wajah berbinar-binar. Ia mengambil bayi itu lalu menamainya Muhammad, sebuah nama yang tidak banyak dipakai masyarakat Arabia saat itu. Ada yang mengatakan bahkan belum ada nama itu, sebelum putra Abdullah itu.
Ketika ditanya mengapa nama itu yang dipilih, dan bukan nama nenek-moyangnya, sebagaimana kebiasaan masyarakat Arabia. Abdul Muththalib menjawab dengan cepat, “Aku ingin dia, anak ini, kelak menjadi orang yang terpuji bagi makhluk Tuhan di langit dan di bumi.”
Sang kakek segera membawanya menuju Ka’bah, lalu masuk ke dalamnya. Di situ ia berdiri menyampaikan rasa syukur kepada Tuhan atas lahir Nabi Muhammad, cucunya yang tampan itu. Sesudah itu ia kembali menyerahkan kepada ibunya.
Beberapa hari sang ibu menyusuinya dengan penuh kasih sayang. Tetapi kemudian menyerahkan bayi itu kepada Tsuwaibah, sahaya perempuan pamannya, Abu Lahab, untuk menggantikan menyusuinya. Tak ada yang aneh mengenai cara ini.
Orang-orang terhormat dalam tradisi Arabia saat itu acap melakukan cara itu, menyusukan bayinya kepada perempuan lain yang subur, baik dengan memberikan imbalan maupun suka rela. Anak susuan itu kelak akan menjadi “ibu susuan” dan berstatus “mahram” (keluarga sedarah). []