Mubadalah.id – Seperti yang kita ketahui bahwa pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan dengan corak tradisional yang masih bertahan hingga hari ini. Salah satu penyebabnya adalah sistem pendidikan di pesantren yang menurut penulis mempunyai ciri khas dalam proses transmisi keilmuan sehingga membuatnya tampak berbeda dengan lembaga pendidikan Islam lainnya.
Hari ini sistem pendidikan di pesantren tampak telah terjadi dikotomi. Di mana kita mengenal pesantren dengan dua ciri khas yakni modern dan tradisional. Gampang saja membedakan keduanya. Sistem pengajaran pada pondok pesantren modern yang banyak memasukkan mata pelajaran umum dalam kurikulum pesantren. Sedangkan pondok pesantren tradisional hanya fokus mengkaji kitab-kitab kuning keislaman klasik.
Tetapi tidak sedikit pondok pesantren hari ini yang memadukan keduanya. Memasukkan mata pelajaran umum, tetapi di sisi lain juga tetap mengkaji kitab-kitab klasik. Biasanya pesantren dengan model seperti ini menambahkan sistem pengajaran seperti “Madrasah Diniyah”. Di mana dalam madrasah ini para santri difokuskan mempelajari ilmu-ilmu keislaman. Termasuk di dalamnya penggunaan kitab kuning.
Metode Pembelajaran Kitab Kuning
Martin Van Bruinessen menganggap kitab kuning sebagai sebuah tradisi pengajaran great tradision yang muncul di pesantren. Penggunaan kitab kuning dalam sistem pengajaran di pesantren bertujuan untuk mentransmisikan Islam tradisional sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab klasik yang telah tertulis berabad-abad lalu. Materi yang kita pelajari cukup beragam. Dari mulai fiqih, tafsir, hadis, tauhid, tasawuf, dan bidang keislaman yang lain.
Dalam penyampaiannya terdapat dua metode yang seringkali kita gunakan yaitu bandongan dan sorogan. Mengutip dari Ensiklopedia Islam Nusantara sorogan merupakan bahasa jawa yang artinya menyodorkan. Maksudnya adalah para santri menyodorkan diri kepada kiai untuk menyimak bacaan kitabnya. Pada metode ini terjadi interaksi secara khusus antara kiai dan santri hal ini karena metode ini kita lakukan secara individu.
Pada metode ini kiai dapat secara langsung mengecek sejauh mana santri tersebut menguasai kitab yang dia baca baik dari konteks makna dan bahasa. Bahkan terkadang kiai menanyakan terkait struktur kalimat dari teks tersebut. Berbeda dengan metode bandongan. Pada metode bandongan ini mereka melakukannya secara berkelompok. Kiai menyampaikan materi dari teks tertulis, sementara para santri memegang kitabnya sendiri-sendiri sambil mencatat penjelasannya.
Metode bandongan ini tidak hanya dilakukan di pesantren saja. Tetapi terkadang seringkali dilakukan di masjid-masijd tertentu dan para audiens nya adalah masyarakat umum. Salah satu tempat yang menggunakan metode ini adalah Kudus. Tepatnya di masjid menara Kudus setiap hari jum’at ba’da subuh. Adapun kitab yang mereka gunakan adalah tafsir Jalalain yang dikaji oleh alm. KH. Sya’roni Ahmadi.
Selain tradisi keagaman seperti tahlil dan ziarah kubur, tradisi intelektual dengan menggunakan kedua metode di ataslah yang menjadikan pesantren tampak berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Oleh sebab itu sebagai sebuah ciri khas yang sudah melekat dalam tradisi keilmuan pesantren, kitab kuning tidak bisa terlepas begitu saja, terlebih lagi kitab kuning mempunyai peran besar dalam transmisi pengetahuan islam di Indonesia.
Prinsip Al-Muhafadhotu ‘ala Qodimis Sholih wal Akhdzu bil Jadidil Ashlah
Dalam kitab ta’lim muta’alim pada bab kriteria memilih ilmu, guru, dan teman Imam az-Zarnuji menyarankan untuk memilih ilmu yang bermanfaat untuk dirimu sendiri, dan ilmu yang al-‘atiq (kuno). Maksudnya adalah seseorang disarankan untuk tidak memilih ilmu-ilmu yang baru, tetapi justru memprioritaskan ilmu-ilmu yang kuno. Dalam hal ini adalah kitab kuning.
Selaras dengan apa yang KH. Jazilus Sakhok sampaikan ketika mengaji kitab ta’lim muta’alim, bahwa hari ini ilmu pengetahuan telah mengalami distorsi baik itu penambahan dan pengurangan. Oleh sebab itu untuk menghindari kesalah pahaman sarannya adalah mencari sumber utamanya. Yaitu kitab-kitab kuno yang mana telah tertulis oleh intelektual islam klasik dalam kitab kuning.
Sebagai sebuah konstruk khazanah pengetahuan yang khas di pesantren, kitab kuning menjadi karakter keilmuan Islam Nusantara yang mana ia merupakan kunci dalam keberlangsungan tradisi intelektual di pesantren. Itulah sebabnya setiap pesantren kita haruskan mempunyai sistem pengajaran kitab kuning.
Dikotomi Pesantren Tahfidz dan Pesantren Kitab
Adapun fenomena yang penulis lihat hari ini adalah pesantren telah mengalami dikotomi antara pesantren tahfidz dan pesantren kitab. Pesantren dengan label tahfiz al-Qur’an terkadang memfokuskan santrinya hanya untuk menghafal al-Qur’an saja tanpa ada pengajaran kitab kuning sama sekali. Menurut penulis ini merupakan sebuah problem.
Mengapa demikian? Adanya pengajian kitab kuning di pesantren merupakan salah satu bentuk pelestarian khazanah intelektual Islam. Bagaimana tidak, di tengah-tengah banyaknya pembaharuan sistem, tradisi dan kurikulum, pesantren seharusnya tetap mempertahankan sistem pengajian kitab kuning karena ia merupakan salah satu pilar pesantren yang tidak boleh kita hilangkan.
Hal ini sejalan dengan prinsip al muhafazatu ‘ala al-qadim al-salih wal akhdzu bil jadidil aslah. Memelihara yang lama, yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik. Artinya walaupun saat ini banyak pembaharuan sistem di pesantren tetapi di sisi lain kita mengharuskan untuk memelihara yang lama.
Oleh sebab itu sebagai ciri khas intelektual sekaligus pilar dalam konstruk pesantren, mengkaji kitab kuning bisa kita sebut juga sebagai manifestasi dari prinsip al muhafazatu ‘ala al-qadim al-salih wal akhdzu bil jadidil aslah. ‘wallahua’lam. []