Mubadalah.id – Pertanyaan tersebut sering kali menyerbu kaum jomlo. Dimulai dari pertanyaan atau judgment yang mungkin bagi mereka lelucon. Padahal, kita tidak tahu mungkin sebagian dari mereka menganggapnya hal serius atau justru dapat mengganggu mental.
Ditambah lagi, kebanyakan orang sering menganggap bahwa jomlo identik dengan kesedihan. Padahal, jomlo atau berpasangan itu kan pilihan. Banyak dari mereka yang memilih jomlo merasa happy-happy saja.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh para ahli di University at Buffalo, New York, Amerika Serikat menemukan, bahwa para jomlo sangat memungkinkan memiliki fisik dan psikis yang lebih sehat, menerima apa adanya, lebih tenang, bahagia dan nyaman dengan kehidupannya.
Sebagian dari mereka beralasan seperti dalam buku berjudul “In Happy Singlehood: The Rising Acceptance and Celebration of Solo Living oleh Elyakim Kislev”, seorang sosiolog di Hebrew University menyebutkan, jika seorang yang single atau jomlo punya lebih banyak waktu untuk dirinya sendiri. Ini yang kemudian lebih bisa memahami dirinya sendiri.
Di samping itu, para jomlo juga punya kesempatan untuk mengenal lebih banyak orang dengan lebih baik, sehingga suatu saat nanti sangat memungkinkan menemukan pasangan terbaiknya. Walau pun dalam penelitian ini jomlo dikatakan bahagia, para ahli tidak menampik jika kehidupan seseorang bisa saja lebih bahagia setelah mereka memiliki pasangan.
Bahkan, dalam bukunya KH. Husein Muhammad yang berjudul “Perempuan Ulama di Atas Panggung Sejarah”, banyak ulama perempuan zaman nabi yang hidupnya memilih menjomlo karena saking cintanya terhadap ilmu pengetahuan. Seperti, Rabi’ah al-‘Adawiyah al-Bashriyyah, Khadijah binti Sahnun, Aisyah binti Ahmad al-Qurthubiyah, Karimah al-Marwaziyyah, dan lain sebagainya.
Artinya, bahwa kebahagiaan yang dimiliki seseorang semata-mata tidak hanya ditentukan oleh status kisah cintanya. Baik mereka yang sudah memiliki cinta sejati dan berpasangan atau yang masih jomlo sama-sama bisa bahagia. Kebahagiaan keduanya bahkan bisa sama besar antara satu dengan lainnya.
Jadi, please ya, jangan sering bertanya kapan nikah dan membandingkan dengan yang lain soal pernikahan.
Perkara nikah bukan seperti lomba lari yang harus cepet-cepetan udah begitu langsung jadi pemenang, tapi menikah itu soal kesiapan. Bagaimana caranya mengatur emosi biar sedikit-sedikit tidak gampang marah apalagi sampai melakukan tindak kekerasan. Naudzubillah. Jangan sampai, ya.
Selanjutnya, harus bisa menerima perbedaan pasangan, open minded atau berpikiran terbuka, tidak egois, berempati, bagaimana supaya energinya selalu positif, semangat dan powerfull. Intinya, penulis ingin menghasilkan resonansi baik ke pasangan dan orang-orang sekitar. Dan, yang pasti memastikan bahwa pribadi saya harus bahagia terlebih dahulu, supaya kalau pasangan lagi sedih saya bagi kebahagiaannya. Caileeeeh. Hehe.
Meminjam kutipan buku “Menyelami Telaga Kebahagiaan” bersama 20 ulama perempuan interpretasi berbasis pengalaman atas kitab Mamba’ as-sa’adah karya KH. Faqihuddin Abdul Kodir, bahwa pernikahan memiliki prinsip-prinsip holistik yang harus dipahami secara bersama oleh kedua pasangan, yaitu calon suami dan istri. Dalam hal ini, pernikahan bisa disebut sebagai akad kerja sama dan kesalingan.
Tujuannya, agar kebahagiaan dalam berumah tangga dapat dirasakan bersama oleh suami dan istri, bukan salah satu dari keduanya. Pinsip dari kesalingan ini bisa mengajak pada relasi yang baik, yakni saling memahami, saling menghormati, saling bertukar peran, saling membahagiakan, saling tolong-menolong dan saling menguatkan, sehingga terciptanya hubungan keluarga yang mawaddah (suka, mencintai), rahmah (kasih sayang) dan mencapai sakinah (ketentraman, ketenangan).
Selain itu, pre-marriege talks atau diskusi sebelum menikah juga penting untuk dibicarakan. Tentang banyak hal yang kira-kira mempengaruhi hidup antara keduanya sekarang atau ke depannya. Misalnya, soal prinsip, impian, visi, soal anak, money talks, sex stuffs, dan lain halnya. Deep conversation ini pastinya di diskusikan dengan calon pasangan agar sama-sama saling terbuka dan memberikan rasa nyaman.
Hemat penulis, bahwa menikah itu membutuhkan perencanaan dan kesiapan yang matang. Seperti yang dikatakan Imam Syafi’i, berpikirlah sebelum menentukan suatu ketetapan, atur strategi sebelum melakukan dan musyawarahkan terlebih dahulu sebelum melangkah maju kedepan. Sejatinya, menikah bukan hanya untuk setahun atau dua tahun saja, melainkan selamanya. Kalau kata B.J. Habibie, menikah itu sampai se-surga dalam naungan-Nya. []