Mubadalah.id – Sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, Indonesia telah lama berkomitmen untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak perempuan. Komitmen itu tidak hanya melalui kebijakan nasional, tetapi juga lewat kesepakatan internasional yang mengikat secara moral dan hukum.
Salah satu yang paling penting adalah ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.
Dalam CEDAW, setiap negara yang meratifikasi konvensi ini berkewajiban untuk menghapus segala bentuk praktik yang merugikan dan mendiskriminasi perempuan. Termasuk praktik yang membahayakan tubuh dan jiwa mereka.
Kemudian, dalam konteks Indonesia, sunat perempuan atau pemotongan/perlukaan genitalia perempuan (P2GP) termasuk dalam kategori “harmful practices” atau praktik berbahaya. Sebagaimana tercatat dalam konvensi tersebut.
Sunat Perempuan sebagai Praktik Berbahaya
Menurut penjelasan Maria Ulfah Anshor dalam Kupipedia.id, sunat perempuan merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap tubuh perempuan yang tidak memiliki dasar medis, kesehatan, maupun agama.
Praktik ini justru meninggalkan luka fisik dan psikologis yang mendalam serta menjadi bentuk kontrol sosial terhadap tubuh dan seksualitas perempuan.
Penegasan bahwa sunat perempuan termasuk praktik berbahaya sejalan dengan pandangan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Komnas Perempuan, yang menyebut bahwa tindakan tersebut dapat menimbulkan komplikasi serius: mulai dari perdarahan hebat, infeksi, trauma, hingga risiko kematian.
Karena itu, ratifikasi CEDAW oleh Indonesia menjadi pijakan moral dan hukum yang kuat untuk menghentikan praktik ini. []









































