Mubadalah.id – Jika belajar pada dinamika syariah Islam tentang konsep mahram dalam perjalanan bagi perempuan, beberapa ulama klasik dari Mazhab Syafi’i, seperti diceritakan Ibnu Hajar al-‘Asqallani (w. 1448), ada yang membolehkan perempuan bepergian sendirian selama bisa kita pastikan bahwa perjalanan itu aman bagi mereka.
Pandangan ini Ibnu Hajar al-‘Asqallani hadirkan ketika menafsirkan hadits mahram perjalanan perempuan. Di mana sebagian ulama menyatakan harus kerabat laki-laki, terutama suami.
Tetapi, sebagian ada yang memandang bisa rombongan perempuan, di mana satu sama lain bisa saling menjadi mahram (pelindung) bagi yang lain.
Pembahasan mahram seperti ini menjadi sangat relevan pada konteks sosial yang tidak aman, terutama pada saat terjadi konflik dan peperangan.
Dengan demikian, fokus konsep mahram perjalanan ini adalah bagaimana mewujudkan keamanan dan perlindungan bagi setiap orang yang akan bepergian. Bukan pada pelarangan perempuan dari bepergian atau aktivitas publik.
Perlindungan berarti pengadaan keamanan dan kesempatan untuk melakukan aktivitas yang ingin perempuan geluti. Yang dalam konteks sosial politik sekarang adalah tugas negara.
Selayaknya, negara, atau masyarakat, atau keluargalah yang kita tuntut untuk wujudkan perlindungan dan keamanan, bukan dengan melarang perempuan keluar pada malam hari.
Sebab, pelarangan perempuan keluar pada malam hari akan berdampak pada penghentian aktivitas mereka dalam hal ekonomi, pendidikan, politik, maupun sosial. Padahal, negara sendiri belum bisa menjamin kebutuhan-kebutuhan dasar mereka.*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Qiraah Mubadalah.