Mubadalah.id – Membaca beberapa postingan film baru ‘Bidaah’, nampaknya bikin keresahan warga Indonesia. Ternyata ini sinetron produk jiran sebelah. Saya sih belum menontonnya, tapi melihat plot dan alur cerita film drama itu mirip pola pernikahan yang sering kita sebut nikah Dawud, atau menikah secara sembunyi-sembunyi tanpa wali dan tanpa saksi.
Maka praktisnya menikah ala ini dilakukan hanya berdua antara calon mempelai laki-laki dan calon pengantin perempuan di tempat tertutup (tersembunyi). Oleh sebab caranya demikian, menikah jenis ini kadang kita sebut ‘nikah batin’.
Tanpa data yang akurat, kontroversi nikah batin jenis ini pun senyap-senyap mulai ada penganutnya di Indonesia. Meski dalam lingkup kecil dan terbatas di kalangan tertentu. Padahal dalam sejarah belum terbaca praktiknya di negara mana telah diamalkan. Toh masih abu-abu, pendapat fuqaha mana juga yang membolehkan?
Pendek kata, beberapa tahun belakangan tetiba ada sebut saja ‘oknum’ yang mempraktikkan nikah jenis ini. Kedoknya terbongkar setelah terciduk di meja hijau. Maka, plot cerita ini seolah menggambarkan pola pernikahan beberapa oknum tersebut yang sudah terjebloskan di penjara itu.
Oleh itu, jadi aneh jika adegan tidak famous itu kemudian di-film-kan. Apa gerangan yang ingin tersampaikan ke publik? Bukankah itu malah menyiarkan cara-cara kotor yang seharusnya tidak kita populerkan? Bahkan, menurutku, di sisi yang sama seolah mengolok-olok ajaran Islam?! Padahal Islam tidak pernah, sekali lagi tidak ada ajaran menikah ala batin itu.
Nikah Batin dalam Pandangan Islam
Atas dasar itulah saya tertarik mengulasnya dan mari kita lihat, bagaimana sebenarnya nikah batin ini dalam pandangan Islam?
Masalah perbincangan nikah tanpa wali memang pernah fuqaha singgung di bab fiqh al-nikah. Umumnya dalam mazhab Hanafi membolehkan janda menikah tanpa wali.
Pendapat tersebut, termasuk dasar-dasar mengapa membolehkan janda menikah tanpa wali dan beberapa pendapat mazhab lainnya yang berbeda. Selain itu juga hikmah mengapa wanita menikah harus ada wali pernah saya tulis beberapa waktu dulu di FB, yang kemudian terpublikasi di Mubadalah.id.
Persoalan yang berkembang belakang, ternyata nikah tanpa wali dan saksi ini lumayan mendapat perhatian publik. Mayoritas menganggap itu bid’ah (tiada ajaran dalam Islam). Tapi sebagian kecil ada yang menganggap itu bagian dari Islam, tentu dengan sinis. Duh Gusti!
Sebelum membahas pendapat fuqaha, perlu kiranya kita ketahui mengapa pernikahan demikian kita sebut nikah Dawud? Hal itu ternisbatkan kepada pendapat salah satu mazhab dalam Ahlussunnah wal Jamaah, yaitu Imam Dawud Al Dzahiri (pendiri mazhab Al Dzahiri). Meskipun mazhab Al Dzahiri ini telah lenyap sejak abad ke 9 M, karena pengikutnya telah meninggalkan.
Penyebab utamanya karena pendapat mazhab al Dzahiri sering berbeda dengan pendapat ijma’ fuqaha sehingga cenderung sedikit pengikutnya. Mereka hanya berdasarkan dhahir teks suci (al Qur’an maupun Hadits), tidak mengambil Ijma’ dan tanpa Qiyas. Alasan itulah mazhab tersebut bernama Al Dzahiri.
Selain itu, pendapat dan pemikiran Imam Dawud Al Dzahiri tidak terkodifikasi, sehingga rawan terjadi distorsi sanad dan apabila dinisbatkan kepada pendapat beliau tidak dapat kita pertanggungjawabkan keotentikannya. Alasan-alasan itulah yang menyebabkan banyak ulama yang melarang merujuk ke mazhab Al Dzahiri. Namun, anehnya mazhab ini kini mulai gentayangan kembali melalui nikah batin ini.
Ulasan dalam Kitab-kitab Ulama Terdahulu
Tapi benarkah pandangan demikian itu pendapat Imam Dawud Al Dzahiri? Ada beberapa ulasan ternyata dalam kitab-kitab ulama terdahulu yang menyebutkan pandangan Dawud Al Dzahiri. Misalnya penjelasan Ibnu Rusayad dalam kitab Bidayatul Mujtahid:
وَفَرَّقَ دَاوُدُ بَيْنَ الْبِكْرِ وَالثَّيِّبِ، فَقَالَ بِاشْتِرَاطِ الْوَلِيِّ فِي الْبِكْرِ وَعَدَمِ اشْتِرَاطِهِ فِي الثَّيِّبِ
“Imam Dawud membedakan antara perawan dan janda. Ia berkata, disayaaratkannya wali dalam pernikahan perempuan yang masih perawan dan tidak disayaaratkan adanya wali dalam pernikahan wanita yang telah janda.” (Ibnu Rusayad, Bidayatul Mujtahid, [Kairo, Darul Hadits: 2004 M], juz II, 36).
Senada dengan keterangan di kitab Al-Mizanul Kubra karya Imam Abdul Wahab Al-Sayaa’rani. Beliau pun mengatakan yang sama, bahwa nikah ala Dawud masih memerlukan wali jika si perempuan masih gadis. Apabila sudah janda, barulah ia boleh nikah tanpa wali:
ومع قول داود : إن كانت بكرا لم يصح نكاحها بغير ولي وإن كانت ثيباً صح
“Dan bersama pendapat Imam Dawud: “Jika perempuannya masih perawan maka nikahnya tidak sah tanpa wali. Namun, jika janda maka sah nikahnya tanpa wali.” (Abdul Wahab As-Sayaa’rani, Al-Mizanul Kubra, [Indonesia, Al-Haramain), juz II, 102).
Membaca redaksi penjelasan kedua ulama di atas menunjukkan bahwa sebenarnya pendapat Imam Dawud Al Dzahiri itu tidak berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah, yaitu pernikahan gadis tetap ada wali. Sementara kebolehan menikah tanpa wali hanya terjadi pada janda.
Perbedaan Pandangan Ulama
Mengapa pendapat mereka berbeda dengan ulama umumnya? Dapat kita fahami bahwa corak pemikiran seseorang sering terpengaruhi latar belakang hidup dan pendidikannya. Setelah saya baca tempat lahir dan hayat beliau berdua ternyata di wilayah yang sama, yaitu di sekitar Irak.
Kita ketahui bersama bahwa Irak pada abad itu (9 M.) telah berperadaban tinggi, bahkan melampaui wilayah sekitarnya. Di mana para perempuannya sudah ikut terlibat dalam aktivitas publik. Sehingga membuatnya tentu lebih mandiri dibanding dengan perempuan-perempuan yang berada di wilayah jirannya.
Nah, ragam masyaarakat yang sudah maju ini jugalah setidaknya menjadi premis pendapat ulama yang hidup di wilayah tersebut berbeda dengan para ulama lainnya.
Maka, kenapa yang beredar kita fahami nikah tanpa wali dan saksi boleh dilakukan. Dalam arti diam-diam tanpa sepengetahuan orang lain dinisbatkan kepada pendapat Imam Dawud Al-Dzahiri? Ini yang perlu kita luruskan.
Pernikahan tanpa wali dan saksi seperti asumsi yang berkembang tidak dapat kita benarkan jika kita nisbatkan kepada Imam Dawud Al-Dzahiri. Sebab ternyata dalam mazhab Dawud tidak kita temukan ada pernyataan demikian. Selain itu juga masih ada mekanisme lain yang harus terpenuhi:
Pertama, Wajib ada khutbah nikah dalam akad. Kedua, Wajib ada walimah.
Hukum Khutbah Nikah
Meskipun pendapat Jumhur ulama hukumnya sunnah dan sebagian mubah, tapi pendapat Al-Dzahiri berbeda dengan menghukuminya wajib. Dasar argumentasi tersebut berdasarkan penjelasan Ibnu Hazm (yang sering kita sebut penganut mazhab Dawud Az-Zhahiri) sebagai berikut:
مَسْأَلَةٌ: وَفَرْضٌ عَلَى كُلِّ مَنْ تَزَوَّجَ أَنْ يُولِمَ بِمَا قَلَّ أَوْ كَثُرَ
“Masalah: dan diwajibkan atas setiap orang yang menikah untuk mengadakan walimah dengan sesuatu yang sedikit atau banyak.” (Ibnu Hazm, Al-Muhalla bil Atsar, [Beirut, Darul Fikr], juz IX, 20).
Sementara wajib ada khutbah nikah dalam pandangan Dawud Al-Dzahiri sebagaimana tersampaikan oleh Imam Al-Sayaa’rani dalam Al-Mizanul Kubra:
قول عامة العلماء : إن الخطبة سنة وليست بواجبة . مع قول داود إنها واجبة عند العقد
“Pendapat mayoritas ulama bahwa khutbah nikah hukumnya sunah, bukan wajib. Pendapat Dawud Al-Dzahiri khutbah nikah hukumnya wajib di saat berlangsungnya akad.”
Senada juga tersampaikan dalam Bidayatul Mujtahid sebagai berikut:
وَأَمَّا خُطْبَةُ النِّكَاحِ الْمَرْوِيَّةُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ الْجُمْهُورِ: إِنَّهَا لَيْسَتْ وَاجِبَةً، وَقَالَ دَاوُدُ: هِيَ وَاجِبَةٌ
Artinya, “Adapun khutbah nikah yang diriwayatkan dari Nabi, jumhur ulama mengatakan hukumnya tidak wajib, Dawud Al-Dzahiri mengatakan wajib.” (Ibnu Rusayad, Bidayatul Mujtahid, juz III, 31).
Nikah Batin Ajaran Sesat
Beberapa penjelasan di atas mengkonfirmasi bahwa pernikahan batin, sebagaimana dalam film Bidaah, dalam arti diam-diam tanpa wali dan tidak siapapun mengetahuinya, tidak bisa kita nisbatkan pada nikah ala Dawud maupun pendapat ulama mana pun.
Penjelasan adanya kewajiban khutbah nikah pada akad nikah dan adanya kewajiban walimah dalam mazhab Dawud Al-Dzahiri ini jelas konsepnya berbeda dengan praktik kontroversi nikah batin. Argumentasi ini juga menunjukkan adanya perbedaan hukum adanya khutbah nikah dan adanya walimah dalam pandangan Jumhur ulama yang terhukumi sunnah saja.
Adanya wajib Walimah di atas tidak mungkin sembunyi-sembunyi, justru mengharuskan kehadiran orang banyak. Walhasil, memahami kontroversi nikah batin dengan kita nisbatkan pada Dawud al-Dzahiri adalah pembohongan publik. Orang yang melakukan praktik pernikahan jenis itu, bisa jadi modus untuk menutupi kedoknya atas kejahatan seksual. Ini namanya menjual agama untuk modus kejahatannya.
Atas dasar argumentasi di atas dapat kita simpulkan bahwa menikah batin itu ajaran sesat dan menyesatkan. Tiada dasarnya yang dapat dipertanggungjawabkan dalam teks suci Islam. Dalam redaksi Hadits menjelaskan:
لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل
“Pernikahan tidak dipandang sah kecuali ada wali dan dua saksi yang adil.”
Pendapat pernikahan harus ada wali dan dua saksi inilah yang menjadi ketetapan mayoritas ulama dan banyak dipraktikkan dalam negara-negara Islam. Wallahu a’lam. []