Mubadalah.id – Pelaku kekerasan seksual bisa beraksi di mana saja, baik di ruang privat maupun di ruang publik. Kekerasan di ruang privat, terdapat istilah atau fenomena Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang bisa saja berwujud kekerasan seksual. Sedangkan di ruang publik, kekerasan bisa terjadi di mana saja seperti di jalan, pasar, mall, di dalam kendaraan umum, di sekolah atau universitas, dan di tempat kerja, baik swasta maupun instansi pemerintah.
Berkaitan dengan pelaku kekerasan seksual yang terjadi di tempat kerja, bisa terjadi secara horizontal yang teman kerja lakukan, atau juga secara vertikal seperti antara atasan dengan bawahan (vertikal), atau antara pemberi kerja dengan pekerja. Masih hangat di ingatan terkait kasus yang menimpa karyawan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang sempat viral di penghujung tahun 2021.
Melansir okezone.com (16/11/2021), Kekerasan seksual di KPI muncul ketika MS yang merupakan seorang karyawan KPI Pusat mengaku telah mendapatkan pelecehan seksual dan perundungan, bahkan perbuatan tersebut telah dialaminya selama bertahun-tahun dan dilakukan oleh seniornya di kantor.
Selain itu, pada tahun 2018 lalu, terdapat juga kasus pelecehan seksual yang menimpa seorang mantan karyawan BPJS Ketenagakerjaan berinisial RA. Di mana pelakunya adalah atasannya sendiri yang berinisial SAB. Menurut RA, pelecehan seksual tersebut telah terjadi hampir selama 2 tahun. Sab melakukannya baik di dalam maupun di luar kantor.
RA kemudian melaporkan kejadian ini kepada Dewan Pengawas yang juga teman pelaku, namun terabaikan. RA lantas mencari keadilan serta menceritakan kejadian yang ia alami di media sosial. Namun RA malah mendapatkan surat pemberhentian kontrak (tribunnews.com, 29/12/2018).
Korporasi Bisa Terjerat UU Perlindungan Anak dan UU PTPO
Korporasi yang melakukan kekerasan seksual sebenarnya bisa dipidanakan. Hal tersebut telah diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 yang telah diubah menjadi UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Melalui tulisan ini, saya hendak mengulas terkait bagaimana UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) juga dapat menjerat korporasi yang melakukan kekerasan dan pelecehan seksual.
UU Perlindungan Anak dapat menjerat korporasi sebagai pelaku TPKS, khususnya yang menimpa anak (Kekerasan terhadap Anak/KtA). Ketentuan umum Pasal 1 UU tersebut mendefinisikan: “Setiap Orang adalah perseorangan atau Korporasi”. Pasal-pasal yang menyebutkan subyek atau pelaku kekerasan dengan diksi “Setiap Orang” dapat menjerat korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Untuk itu, seluruh bentuk KtA yang tercantum dalam UU tersebut berlaku juga terhadap Korporasi.
Lebih jelasnya, pengaturan pidana terhadap korporasi ada di dalam Pasal 90 ayat (1 dan 2) UU Nomor 23 Tahun 2002, yang berbunyi:
“(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, dan Pasal 89 dilakukan oleh Korporasi, maka pidana dapat dijatuhkan kepada pengurus dan/atau Korporasinya. (2) Pidana yang jatuh kepada Korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan pidana denda yang dijatuhkan ditambah 1/3 (sepertiga) pidana denda masing-masing sebagaimana dimaksud dalam ayat.”
Ayat (1) UU tersebut mengatur bahwa pidana penjara dapat diterapkan kepada pengurus dan jajarannya. Sedangkan dalam ayat (2), pidana yang dapat diterapkan kepada korporasi ialah pidana dengan tambahan 1/3 dari pidana denda yang dijatuhkan. Kemudian, dalam UU Nomor 21 Tahun 2007 atau UU PTPPO. Tindak pidana korporasi pelaku kekerasan seksual, khususnya perdagangan perempuan dan anak, pengaturannya secara lebih rinci. Berikut ini rincian pasalnya:
Pasal 13 yang berbunyi: “(1) Tindak pidana perdagangan orang dianggap dilakukan oleh Korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama Korporasi atau untuk kepentingan Korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan Korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. (2) Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap Korporasi dan/atau pengurusnya”.
Sanksi terhadap Korporasi Pelaku Kekerasan Seksual
Kemudian dalam Pasal 14 yang berbunyi: “Dalam hal panggilan terhadap Korporasi. Maka pemanggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat pengurus berkantor. Di tempat Korporasi itu beroperasi, atau di tempat tinggal pengurus”.
Selanjutnya, Pasal 15 yang berbunyi: “(1) Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu Korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap Korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. (2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Korporasi dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa: a) pencabutan izin usaha, b) perampasan kekayaan hasil tindak pidana, c) pencabutan status badan hukum, d) pemecatan pengurus, dan/atau e) pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan Korporasi dalam bidang usaha yang sama”.
Pemberian sanksi terhadap Korporasi dalam UU Perlindungan Anak dan UU PTPPO, dalam bentuk sanksi pidana penjara kepada Pengurus. Pidana denda korporasi dengan penambahan 1/3 dan pemberatan 3 kali. Lalu pidana tambahan kepada Korporasi.
Pidana Bagi Korporasi Pelaku Kekerasan Seksual dalam UU TPKS
Pengesahan UU Nomor 12 Tahun 2022 atau UU TPKS semakin meneguhkan bahwa korporasi pelaku kekerasan seksual dapat kita pidana. Penegasan hal tersebut ada dalam ketentuan umum yang mencantumkan definisi “Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi”. Selain itu, penjelasan mengenai korporasi itu sendiri yang berbunyi: “Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi. Baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.”
Dalam UU TPKS, korporasi yang melakukan kekerasan seksual dapat terjerat dengan pasal 9, yang berbunyi:
“(1) Korporasi yang melakukan Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.0000.000,00 (lima belas miliar rupiah). (2) Dalam hal Tindak Pidana Kekerasan Seksual dilakukan oleh Korporasi, pidana dapat dijatuhkan kepada pengurus, pemberi perintah, pemegang kendali, pemilik manfaat Korporasi, dan/ atau Korporasi.
(3) Selain pidana denda, hakim juga menetapkan besarnya Restitusi pelaku Korporasi. (4) Terhadap Korporasi dapat juga dijatuhi pidana tambahan berupa: perampasan keuntungan dan/ atau harta kekayaan yang diperoleh dari Tindak Pidana Kekerasan Seksual, pencabutan izin tertentu, pengumuman putusan pengadilan, pelarangan permanen melakukan perbuatan tertentu, pembekuan seluruh atau sebagian kegiatan Korporasi, penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha Korporasi; dan/ atau pembubaran Korporasi”.
Korporasi sebagai Pelaku Kekerasan Seksual Diatur dalam UU TPKS
Peraturan korporasi sebagai pelaku tindak pidana kekerasan seksual, dalam seluruh bentuk dan wujud kekerasan seksual yang diatur dalam UU TPKS ini, merupakan kemajuan signifikan dalam memberantas serta mencegah praktik kekerasan seksual di lingkungan kerja. Selain itu, UU tersebut juga telah mengatur sanksi bagi korporasi.
Berdasarkan ketentuan di UU TPKS, proses pemeriksaan korporasi sebagai pelaku tindak pidana kekerasan seksual sudah cukup komprehensif. Pengurus korporasi beserta jajarannya juga memiliki tanggung jawab hukum apabila korporasi melakukan kekerasan seksual. Bahkan, UU ini lebih awal melakukan upaya untuk mencegah korporasi menjadi pelaku kekerasan seksual karena pengaturannya yang cukup memadai.
Harapannya, dengan adanya UU TPKS ini tidak terjadi lagi kasus-kasus kekerasan seksual, termasuk di lingkungan kerja. Jangan sampai kasus seperti yang terjadi di BPJS Ketenagakerjaan dan KPI terjadi lagi di kemudian hari. Setiap individu di lingkungan kerja harus sama-sama menjunjung dan menjaga kesetaraan dan keadilan gender. Menjadikan lingkungan kerja sebagai ruang aman bagi semua orang, baik pemberi kerja, pekerja, dan rekan kerja. []