• Login
  • Register
Jumat, 11 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

UU TPKS Melindungi Korban Kekerasan Seksual

Kehadiran UU TPKS ini memberikan akses yang mudah kepada korban, mulai dari yang sifatnya administratif hingga psikologi. Selama ini, laporan kasus kekerasan seksual sulit ditindak lanjuti karena dianggap kurang saksi dan bukti

Mela Rusnika Mela Rusnika
12/05/2022
in Publik
0
UU TPKS Melindungi Korban Kekerasan Seksual

UU TPKS Melindungi Korban Kekerasan Seksual

62
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) akhirnya sah juga. Tentu ini jadi kabar gembira bagi kita semua, khususnya para perempuan di Indonesia. Dengan hadirnya UU TPKS, harapannya bisa melindungi korban kekerasan seksual dan memberikan kepastian hukum kepada para korban kekerasan seksual. Penantian hampir sembilan tahun lamanya ini akhirnya berbuah juga.

Perjalanan RUU TPKS disahkan menjadi UU TPKS tentu tidak mudah. Birokrasi berlapis dan penolakan lebih dari satu kali mesti dilewati. Belum lagi orang-orang yang kontra dengan UU ini terus ada, bahkan setelah disahkan. Tepat satu hari setelah berita pengesahan UU TPKS diumumkan, saya membaca satu tweet dengan nada kontra sebagai berikut:

“UU TPKS itu akan mengarahkan perempuan jadi durhaka sama suami, gugatan cerai sudah didominasi perempuan. Jangan salahkan laki-laki kalau maunya cuma pacaran nanti, biaya nikah mahal, jatah tergantung mood perempuan. Makin banyak perempuan yang jadi properti umum. UU seperti itu akan bikin laki-laki kreatif nantinya. Menikah akan lebih mirip kontrak kerja ketimbang keluarga. Hati-hati dengan yang kalian minta wahai perempuan.”

Memang banyak penolakan terhadap UU TPKS ini dan saya melihat salah satunya berasal dari kelompok konservatif yang patriarkis. Pengesahan ini seolah membuat laki-laki patriarki ini ketar-ketir, menunjukkan kerapuhan maskulinitasnya dengan menuding perempuan jadi durhaka, dan mengancam kalau mereka akan lebih ‘kreatif’ jika perempuan setuju dengan sepuluh poin UU TPKS ini.

Tweet ini sangat jelas tidak menunjukkan kesalingan dalam membangun hubungan, hanya ada power and control dari satu pihak atau disebut dengan relasi kuasa. Jika hanya laki-laki yang berkuasa, maka perempuan yang disalahkan. Begitulah energi yang saya terima dari cuitan di atas. Mulai dari persoalan durhaka yang selalu dikaitkan dengan ketidakpatuhan istri terhadap suami. Lalu, apa kabar dengan suami yang tidak menghormati istrinya, durhaka jugakah?

Baca Juga:

Menakar Kualitas Cinta Pasangan Saat Berhaji

Islam: Membebaskan Manusia dari Gelapnya Jahiliyah

Ikrar KUPI, Sejarah Ulama Perempuan dan Kesadaran Kolektif Gerakan

Berkeluarga adalah Sarana Menjaga Martabat dan Kehormatan Manusia

Di sisi lain, cuitan di atas seperti memberikan petunjuk bahwa kelompok konservatif ini selalu mengaitkan hal-hal yang berkaitan dengan perempuan pada ajaran agama dan berkaitan dengan dosa. Ini menunjukkan bahwa ajaran yang mereka yakini tidak dipelajari sedalam itu, khususnya dalam ajaran Islam yang sebenarnya sangat tidak patriarki, baik secara teori maupun praktik.

UU TPKS dan Pencegahan Terhadap Perempuan Sebagai Korban Kekerasan Seksual

Saya sendiri merasa perempuan selalu diancam atas nama ajaran agama, selalu ada kata durhaka, dosa, surga, dan pahala. Sebegitu sensitifkah menjadi seorang perempuan di dunia ini? Berbeda ideologi sedikit saja dengan laki-laki dianggap durhaka, tidak melakukan apa yang diinginkan laki-laki dianggap berdosa, dan lain sebagainya.

UU TPKS ini hanya ingin melindungi korban kekerasan seksual yang mayoritas perempuan dengan cara mendorong laki-laki menghargai perempuan dengan tidak mengontrol. Pertama, mulai dari seksisme yang selama ini dinormalisasi yang berakibat menimbulkan keinginan seksual dari pelakunya. Dengan adanya UU TPKS, harapannya pelaku tidak melakukan tindakannya serta perempuan tidak disalahkan atas hak berpakaiannya.

Kedua, UU TPKS memberikan perlindungan pada korban revenge porn atau penyebaran konten pornografi dengan modul balas dendam kepada korban kekerasan seksual. Jika melihat dari kasus-kasus sebelumnya, perempuan kerap kali jadi sasaran revenge porn ini, yang mana lagi-lagi berkaitan dengan controlling atau relasi kuasa. Jika perempuan tidak mau mengikuti keinginan laki-laki, maka diancam dengan melakukan revenge porn.

Ketiga tentang pemaksaan hubungan seksual. Mungkin yang dimaksud cuitan di atas ‘jatah tergantung mood perempuan’ dimaksudkan untuk poin ini. Sejauh ini, peraturan tidak tertulis yang berlaku di sebagian masyarakat, perempuan harus melayani laki-laki bagaimanapun kondisinya.

Sebagai sesama manusia seperti laki-laki, ada masa di mana perempuan tidak ingin atau tidak bisa melakukan hubungan seksual. Oleh sebab itulah, ini perlu tercantum dalam UU agar perempuan memiliki hak menolak hubungan seksual yang sifatnya memaksa, di samping itu adalah kasus pemerkosaan.

Keempat, UU TPKS ini mengatur tindak kekerasan seksual yang tidak hanya dilakukan individu, tapi korporasi juga. Masih ingat dengan salah satu karyawan yang mendapat tindakan kekerasan seksual di salah satu institusi dengan cara ditelanjangi dan alat kelaminnya dicoret spidol? Pelaku dan korbannya adalah laki-laki, tapi institusi tersebut tidak merespons pengaduan korban kekerasan seksual.

Dengan adanya UU TPKS ini, korban kekerasan seksual di korporasi baik laki-laki maupun perempuan bisa melapor dengan tenang tanpa takut dikeluarkan pihak perusahaan. Juga korban kekerasan seksual memiliki hak untuk mendapatkan resitusi dan layanan pemulihan. Korban juga akan mendapat pendampingan selama proses pelaporan dengan pihak yang berwajib.

Kehadiran UU TPKS ini memberikan akses yang mudah kepada korban kekerasan seksual, mulai dari yang sifatnya administratif hingga psikologi. Selama ini, laporan kasus kekerasan seksual sulit ditindak lanjuti karena dianggap kurang saksi dan bukti. Kini, proses ini lebih dipermudah dengan hanya ada keterangan saksi, keterangan para ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Sebagian poin-poin UU TPKS yang diuraikan di atas pada akhirnya hanya ingin melindungi korban kekerasan seksual dengan hukum. Kehidupan perempuan juga pelan-pelan tidak lagi dikontrol oleh power bernada patriarki. Artinya, UU TPKS ini tidak ada kaitannya dengan persoalan surga dan neraka seperti yang ditakutkan yang membuat cuitan di atas. []

Mela Rusnika

Mela Rusnika

Bekerja sebagai Media Officer di Peace Generation. Lulusan Studi Agama-Agama UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Part time sebagai penulis. Tertarik pada project management, digital marketing, isu keadilan dan kesetaraan gender, women empowerment, dialog lintas iman untuk pemuda, dan perdamaian.

Terkait Posts

Kopi yang Terlambat

Jalanan Jogja, Kopi yang Terlambat, dan Kisah Perempuan yang Tersisih

10 Juli 2025
Humor Kepada Difabel

Sudahkah Etis Jokes atau Humor Kepada Difabel? Sebuah Pandangan Islam

10 Juli 2025
Melawan Perundungan

Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan

9 Juli 2025
Nikah Massal

Menimbang Kebijakan Nikah Massal

8 Juli 2025
Intoleransi di Sukabumi

Intoleransi di Sukabumi: Ketika Salib diturunkan, Masih Relevankah Nilai Pancasila?

7 Juli 2025
Retret di sukabumi

Pengrusakan Retret Pelajar Kristen di Sukabumi, Sisakan Trauma Mendalam bagi Anak-anak

7 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kopi yang Terlambat

    Jalanan Jogja, Kopi yang Terlambat, dan Kisah Perempuan yang Tersisih

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sudahkah Etis Jokes atau Humor Kepada Difabel? Sebuah Pandangan Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Life After Graduated: Perempuan dalam Pilihan Berpendidikan, Berkarir, dan Menikah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film Horor, Hantu Perempuan dan Mitos-mitos yang Mengikutinya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hingga Saat Ini Perempuan Masih Dipandang sebagai Fitnah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menakar Kualitas Cinta Pasangan Saat Berhaji
  • Islam: Membebaskan Manusia dari Gelapnya Jahiliyah
  • Ikrar KUPI, Sejarah Ulama Perempuan dan Kesadaran Kolektif Gerakan
  • Berkeluarga adalah Sarana Menjaga Martabat dan Kehormatan Manusia
  • Jalanan Jogja, Kopi yang Terlambat, dan Kisah Perempuan yang Tersisih

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID