Mubadalah.id – Otoritas laki-laki dalam tradisi keilmuan Islam memang sangat kentara. Sejarah menunjukkan, sejak awal Islam turun, mayoritas ruang sosial dan keilmuan masih dominan laki-laki.
Hal ini bukan semata karena agama Islam membatasi perempuan, melainkan karena Islam lahir di tengah masyarakat Arab yang patriarkal. Dalam kultur Arab jahiliyah, posisi perempuan sangat marginal. Tidak memiliki hak waris, sering diperlakukan sebagai harta, bahkan ada tradisi mengubur bayi perempuan hidup-hidup.
Namun, kehadiran Rasulullah ﷺ sebagai reformis moral menggeser hegemoni tersebut secara perlahan tapi mendasar. Ajaran beliau menegakkan prinsip bahwa perempuan adalah mitra sejajar laki-laki dalam kemanusiaan dan agama. Peran-peran yang sebelumnya mustahil perempuan miliki, kini terbuka luas.
Kita mengenal Khadijah binti Khuwailid sebagai pengusaha besar yang menopang dakwah Nabi. Lalu kKita mengenal Ummu Waraqah yang diberi izin oleh Nabi untuk mengimami keluarganya. Kita juga mengenal Nusaybah binti Ka‘b yang berperang membela Rasulullah dalam Perang Uhud. Dan tentu saja, kita mengenal ‘Āisyah binti Abī Bakr, Ummul Mukminin, yang menjadi salah satu otoritas keilmuan terbesar dalam sejarah Islam.
Dari segi periwayatan hadis, gender tidak pernah menjadi penentu kebenaran. Kriteria utama yang terpakai ulama adalah kredibilitas (al-‘adālah) dan kapasitas intelektual (ḍabṭ), bukan jenis kelamin. Seorang perawi perempuan bisa jadi lebih kuat daripada laki-laki, selama terpenuhi standar transmisi yang ketat.
Bukti paling nyata adalah otoritas Ummul Mukminin Aisyah. Imam al-Zarkasyī (w. 794 H) dalam kitabnya al-Ijābah li-Istidrākāt ‘Āʾishah ‘alā al-Ṣaḥābah menghimpun kasus-kasus ketika Aisyah melakukan koreksi terhadap hadis yang diriwayatkan atau terpahami sahabat lain. Kitab ini menunjukkan bahwa sejak generasi awal, kritik matan hadis sudah berlangsung, dan perempuan berperan aktif di dalamnya.
Contoh Kasus Koreksi Aisyah
Salah satu istidrāk (koreksi) terkenal adalah terhadap riwayat dari Umar bin Khattab. Umar meriwayatkan bahwa mayit akan diazab karena tangisan keluarganya. Aisyah segera menanggapi: “Semoga Allah mengampuni Umar. Yang dimaksud Nabi adalah orang kafir. Dialah yang akan ditambah azabnya dengan tangisan keluarganya.” Aisyah mendukung argumentasinya dengan ayat Al-Qur’an:
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
“Tidaklah seseorang memikul dosa orang lain.” (QS. al-An‘ām [6]: 164)
Dalam pandangan Aisyah, memahami hadis tanpa merujuk pada prinsip Al-Qur’an bisa menimbulkan kesalahpahaman. Koreksi ini bukan hanya soal teknis riwayat, tetapi juga prinsip dasar keadilan dalam Islam. Sebab alangkah berat dan repotnya bila seseorang harus menanggung dosa hanya karena tangisan atau perasaan orang lain yang sama sekali di luar kendalinya (al-Ijābah, Juz 1, hal. 143).
Kasus lain adalah koreksi terhadap Abu Hurairah mengenai batalnya puasa. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa seseorang yang masuk waktu fajar dalam keadaan junub, maka puasanya batal.
Kritik Aisyah
Aisyah menolak riwayat ini. Ia menegaskan bahwa dia sebagai istri Nabi menyaksikan langsung. Rasulullah ﷺ pernah berpuasa meski saat fajar beliau masih dalam kondisi junub. Lalu beliau tetap melanjutkan puasanya (al-Ijābah, Juz 1, hal. 203). Pengalaman domestik Aisyah sebagai istri Nabi justru menjadikannya saksi langsung yang kredibel, bahkan lebih otoritatif daripada perawi laki-laki lain.
Kitab al-Zarkasyi ini menjadi bukti kuat bahwa kesahihan hadis tidak mengenal sekat gender. Kritik Aisyah bisa membantah Umar, Ibnu Umar, Abu Hurairah, bahkan sahabat-sahabat senior, dan kritiknya diterima dalam literatur hadis. Para sahabat lain juga tidak ragu merujuk kepada Aisyah untuk mengonfirmasi suatu kerancuan. Dalam istilah ilmu hadis, Aisyah termasuk rijāl al-ḥadīth yang mu‘tamad, sejajar dengan perawi laki-laki besar.
Membaca kembali kisah Aisyah melalui kitab al-Ijābah memberi kita pelajaran penting. Perempuan memiliki otoritas penuh dalam ilmu, sejak generasi pertama Islam. Mereka bukan sekadar penyampai pasif, melainkan juga pengkritik, penguji, dan penguat tradisi keilmuan.
Dengan demikian, warisan ini seharusnya menjadi inspirasi bahwa ruang ilmu pengetahuan tidak pernah eksklusif bagi satu gender saja, melainkan ruang bersama yang tertopang oleh kesalingan dan penghormatan terhadap kebenaran. []