• Login
  • Register
Sabtu, 5 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

KUHP dan Amputasi Perjuangan Melawan Pelaku Kekerasan Seksual

Tidak adanya peluang untuk membela diri dan mendapatkan keadilan, akan terus menempatkan korban sebagai makhluk terkutuk sepanjang hidupnya

Lutfiana Dwi Mayasari Lutfiana Dwi Mayasari
13/12/2022
in Publik
0
KUHP

KUHP

589
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Belum lama rasanya euforia menyambut pengesahan UU TPKS kira rasakan. Setelah melalui perjuangan yang panjang dalam birokrasi dan juga gerakan akar rumput, seluruh pihak bersatu mengawal lahirnya regulasi yang berpihak pada korban. Bertahun-tahun lamanya, korban kekerasan seksual terdiskriminasi secara struktural. Akhirnya suara mereka sebagai korban mendapat pertimbangan sebagai saksi dalam persidangan.

Namun, hanya dalam hitungan bulan saja setelah pengesahan UU TPKS, negara mengambil langkah mundur dalam penanganan kekerasan seksual. 6 Desember 2022 menjadi momen yang tak terlupakan bagi semua pegiat isu kekerasan seksual. Pemerintah mengesahkan rancangan RKUHP menjadi KUHP. Bersamaan dengan itu pulalah, perjuangan melawan pelaku kekerasan seksual teramputasi. 

Semua Dianggap Pelaku

Kembali ke paradigma lama, semua kasus yang menyangkut laki-laki dan perempuan berkaitan dengan hubungan seksual di luar perkawinan, masuk kategori sebagai tindakan asusila. Padahal, terdapat perbedaan yang signifikan antara kekerasan seksual dan tindakan asusila. Apabila melakukan hubungan seksual di luar perkawinan dengan kesadaran kedua belah pihak, dan mereka lakukan suka sama suka (sexual consent) maka masuk dalam tindakan asusila. 

Jika salah satu pihak melakukan hubungan seksual dengan keterpaksaan (non sexual consent)  baik karena relasi kuasa maupun karena alasan lainnya, dikategorikan dalam kekerasan seksual. Jika tindakan asusila, maka keduanya mendapatkan sanksi. Sedangkan, jika kekerasan seksual, maka pelaku harus mendapatkan sanksi dan korban mendapatkan perlindungan. 

Perbedaan antara klausul asusila dan kekerasan seksual serta konsekuensi hukum yang menyertai penjelasaannya secara detail dalam UU TPKS. Untuk membedakan apakah hubungan seksual di luar perkawinan tersebut tindakan asusila ataukah kekerasan seksual, maka kita butuhkan klarifikasi dari keduanya.

Baca Juga:

Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

Kekerasan Seksual Bisa Dicegah Kalau Islam dan Freud Ngobrol Bareng

Korban KBGO Butuh Dipulihkan Bukan Diintimidasi

Difabel dan Kekerasan Seksual: Luka yang Sering Tak Dianggap

Dalam hal ini, pendapat perempuan kita pertimbangkan dan kita posisikan sebagai subjek penuh hukum untuk menyampaikan apa yang terjadi di balik hubungan seksual tersebut.

Namun pengesahan KUHP beberapa hari lalu, mengaburkan perjuangan dalam melawan korban kekerasan seksual. Hal ini lantaran adanya satu klausul pasal yang memposisikan pelaku hubungan seksual di luar perkawinan sebagai pelaku perzinahan. Untuk diksi lengkapnya sebagai berikut ini:

“Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinahan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.”

Lebih lanjut, hubungan seksual di luar perkawinan mereka masukkan dalam tindak pidana di KUHP hanya jika ada aduan dari pihak suami dan istri yang terikat perkawinan. Dan orang tua bagi anak yang tidak terikat dalam perkawinan.

Artinya pasal KUHP tersebut juga mengatur hubungan seksual di luar perkawinan bagi pasangan yang belum menikah juga. Namun melihat klausul pasal dalam KUHP di atas, tentunya akan membuat para korban dalam hubungan seksual di luar perkawinan tidak berani speak up. Karena justru terbayangi hukuman pidana.

Regulasi-pun Berdasarkan pada Pandangan Laki-laki

Seperti halnya kasus pelecehan seksual yang melimpahkan kesalahan pada preferensi busana perempuan, begitu pula dalam kasus pemerkosaan. Ketidakberdayaan dan ketidakmampuan perempuan dalam melawan mereka anggap sebagai sebuah persetujuan.

Alih-alih bertanya dari segi apa yang perempuan rasakan, masyarakat patriarki langsung menimpakan kesalahan ke pihak perempuan. Tertuduh tak mampu menjaga kesucian, sebagai perempuan gampangan, perempuan yang tak bisa menjaga harga diri. Sedangkan pelaku mereka maklumi karena berkaitan dengan hasrat dan birahi yang mereka yakini akan terpancing hanya jika ada godaan dari perempuan. 

Stigma ini lahir dari pandangan masyarakat kita yang masih dominan pandangan laki-laki. Sehingga segala peristiwa juga mereka ukur dalam kacamata laki-laki. Naasnya, hal yang sama juga terjadi dalam birokrasi kita saat menyusun sebuah regulasi. Bagaimana pasal mereka susun dan formulasikan. Mereka ambil berdasarkan cara pandang laki-laki. Termasuk dalam pasal hubungan seksual di luar perkawinan dalam KUHP terbaru ini. 

Ancaman Hukuman Pidana

Tidak adanya peluang untuk membela diri dan mendapatkan keadilan, akan terus menempatkan korban sebagai makhluk terkutuk sepanjang hidupnya. Jangankan melawan untuk mendapatkan keadilan bagi diri sendiri sebagai korban. Ketika mereka melaporkan kasus hubungan seksual di luar perkawinan ini justru mereka berada dalam ancaman hukuman pidana.

Pembuktian sexsual consent dalam UU TPKS saja bukanlah hal yang mudah. Secara psikologi, korban mereka minta untuk menceritakan sebuah kasus yang mungkin saja kasus terhina dalam hidupnya. Namun setidaknya, UU TPKS masih memberikan perlindungan terhadap korban dan memberikan hak bagi korban untuk menyampaikan apa yang kita rasakan. 

Maka pengesahan KUHP berkaitan dengan hubungan seksual di luar perkawinan telah mengamputasi gerakan melawan predator kekerasan seksual. Dengan berlindung di bawah KUHP, para pelaku akan dengan mudah mengklaim bahwa hubungan seksual tersebut ia lakukan suka sama suka sehingga keduanya akan mendapatkan sanksi.

Dan di satu sisi, korban akan semakin takut mengungkapkan kejahatan seksual pelaku Dan dampaknya terburuknya, pemerkosaan pun akan dianggap sebagai hubungan seksual berdasarkan sexual consent. []

Tags: ConsenthamKekerasan seksualKUHPUU TPKS
Lutfiana Dwi Mayasari

Lutfiana Dwi Mayasari

Dosen IAIN Ponorogo. Berminat di Kajian Hukum, Gender dan Perdamaian

Terkait Posts

Tahun Hijriyah

Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat

4 Juli 2025
Rumah Tak

Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

4 Juli 2025
Kritik Tambang

Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

4 Juli 2025
Isu Iklim

Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

3 Juli 2025
KB sebagai

Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama

3 Juli 2025
Poligami atas

Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

3 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Rumah Tak

    Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Belajar Inklusi dari Sekolah Tumbuh: Semua Anak Berhak Untuk Tumbuh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Belajar Inklusi dari Sekolah Tumbuh: Semua Anak Berhak Untuk Tumbuh
  • Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat
  • Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
  • Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak
  • Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID