Mubadalah.id – Satu minggu sebelum perhelatan KUPI II di Semarang, aku berkomunikasi intens dengan Mas Sarjoko Gusdurian. Selain Mas Joko adalah koordinator Tim Media KUPI II, ia juga banyak membantu redaksi Mubadalah.id terutama mengedit, mendesain dan melayout buku modul panduan pendakwah ramah lingkungan.
Dalam salah satu obrolan kami via telpon itu, Mas Joko memberi bocoran jika dia sedang diminta suhu Mubadalah, yang dia sapa Kang Faqih untuk mendesain kalender KUPI II dengan memasang foto-foto ulama perempuan. “Sampean masuk lho mbak.” Tuturnya.
Usai telpon di sore itu. Kebetulan aku masih di kantor redaksi, aku terdiam agak lama. Apa iya pantas? Tak banyak yang kami lakukan untuk gerakan KUPI. Menyadari sebagai golongan muda, kami lebih banyak nderekke, manut, dan belajar dari beliau-beliau. Nunutke pengetahuan, dan menempa pribadi-pribadi kami menjadi lebih baik. Terutama dalam soal mengelola emosi.
Lalu hari itu tiba. Saat berjalan menuju lokasi panggung utama, banner dengan 150an wajah dalam foto terpasang di dinding pintu masuk. Aku berhenti. Berdoa dan mengirimkan Alfatihah untuk beliau-beliau yang sudah wafat. Para ulama perempuan dan penggerak perempuan nusantara. Aku menangis. Rasanya beban terasa berat sekali untuk melangkah.
Betapa banyak sekali PR untuk perjalanan ini, menyusuri jalan kesetaraan untuk kemanusiaan, kebangsaan dan kesemestaan. Karena seperti yang tertulis dalam Ikrar Kebon Jambu, “Kehadiran ulama perempuan dengan peran dan tanggung jawab keulamaannya di sepanjang masa, pada hakikatnya adalah keterpanggilan iman dan keniscayaan sejarah.”
Bekerja dalam Kejaran Deadline
Setiap kali jelang event besar, pastilah banyak tekanan pekerjaan mengejar deadline. Tak terkecuali di tim kami redaksi Mubadalah.id. Selain masing-masing personal masuk dalam kepanitiaan besar, kami punya side event program yang juga harus jalan selama di Semarang dan Jepara. Berasa sekali moment KUPI II ini membuat kami menjadi lebih baik, terutama dalam mengelola emosi.
Pertama, side event Semarang. Waktu tinggal menghitung hari buku yang mau kami launching belum jadi. Atau kalaupun sudah ada, masih bongkar sana-sini. Aku sampai gak bisa mikir saat diminta menulis kata pengantar untuk buku “Yang Muda Merawat Bangsa.” Itu baru satu buku, ada buku lain modul panduan daiyah ramah lingkungan yang juga melibatkan banyak penulis. Mengkomunikasikan banyak hal antara penulis, editor, dan percetakan buku. Semua kami kerjakan dalam waktu satu minggu.
Kedua, soal komunikasi. Terutama perwakilan pemerintah pusat yang kami undang, sekaligus pengawasan program. Ini yang paling menguras energi. Bagaimana agar kami mampu mengelola anggaran, dan kehadiran mereka tanpa mengurangi makna kegiatan. Sampai jam 22.00 wib, tiga hari jelang acara aku masih negosiasi perwakilan pemerintah pusat siapa yang bisa hadir.
Alhamdulillah, begitu konfirmasi kehadiran oke, dengan syarat Ketua Yayasan Fahmina hadir, malam itu juga aku menghubungi Buya Husein yang beruntung beliau belum tidur. Buya pun bilang oke bisa. Setelah selesai, baru aku mengkondisikan panitia lokal. Dalam hal ini aku berterimakasih dengan teramat sangat pada Mbak Iin, dosen UIN Walisongo dan mahasiswa dari HMJ Ilmu Alqur’an dan Tafsir yang luar biasa dedikasinya.
Lega, akhirnya semua acara berjalan lancar. Kuncinya adalah komunikasi, dan kerjasama. Lalu pembagian tugas yang jelas sejak awal, sehingga semua bisa berjalan sesuai rencana. Kedua, harus tekun dan gigih. Sebelum ada keputusan atau kesepakatan kejar terus jangan kasih kendor. Lagi-lagi, kepemimpinan kolektif menjadi niscaya. Dan kami telah belajar banyak hal dari proses ini.
Pergulatan Isu dan Wacana
Sementara itu dalam pergulatan wacana tentang isu apa yang akan masuk dalam pembahasan di kongres, telah bergulir sekitar tiga tahunan. Itu yang aku pahami setelah masuk menjadi bagian dari Jaringan KUPI. Tak mudah memang untuk langsung sepaham.
Seperti isu Pelukaan dan Pemotongan Alat Genetalia Perempuan atau disingkat P2GM, kita harus bersentuhan dulu dengan ragam pengalaman perempuan dari berbagai daerah untuk memotret betapa bahayanya tradisi ini bagi anak perempuan, dan masa depan perempuan.
Dalam hal ini, aku berterimakasih yang tiada tara pada Mbak Sari Narulita Alimat, di mana pada akhir 2021 telah mengajakku terlibat dalam proses penulisan isu P2GP dengan mengambil sudut pandang pengalaman perempuan. Beberapa simpul ulama perempuan aku wawancarai. Bahkan, aku juga memasukkan pengalaman pribadi ketika menuliskan ini.
Sementara isu yang lain seperti Perlindungan Jiwa Perempuan dari Bahaya Kehamilan tidak diinginkan Akibat Pemerkosaan, Perlindungan Jiwa Perempuan Akibat Perkawinan Paksa, dan Pengelolaan Sampah selintas lalu aku baca, dan ikuti dari diskusi ke diskusi. Beda halnya dengan isu Peminggiran Peran Perempuan dalam Menjaga NKRI dari Ancaman Kekerasan berbasis Agama, aku juga terlibat diskusi intens sejak Pra Halaqah pertama di Cirebon.
Aku tahu bagaimana detailnya para peserta musyawarah keagamaan itu menyusun materi fatwa. Menggunakan seluruh kemampuan berpikir, membuka seluruh referensi data, penelitian, kitab kuning, ayat, hadits, aqwamul ulama, dan konstitusi negara. Dari mulai tashawur, adillah, istidlal, dan rekomendasi.
Semua berkumpul sesuai dengan kapasitas kemampuannya. Aku memilih di tim tashawwur atau deskripsi sehingga melahirkan pertanyaan, yang harus dijawab dengan pengambilan keputusan atau sikap pandangan keagamaan. Bahasa lainnya adalah fatwa. Antara Tashawur, Adillah, Istidlal dan Rekomendasi harus satu nafas.
Dari mulai pra halaqah Cirebon, Semarang, Jogja, Medan, dan Makassar entah berapa kali perubahan materi musyawarah keagamaan 5 isu krusial ini. Teman-teman tim perumus fatwa, dan mengawalnya hingga akhir pasti lebih paham dinamika itu. Dan kini, ketika sikap dan pandangan keagamaan KUPI II telah digemakan, tanggung jawab kita untuk mengawal dan mengimplementasikannya. Baik dalam ranah personal, keluarga, masyarakat maupun negara.
KUPI II Menjadi Ruang Bergembira
Selanjutnya karena terbiasa bekerja bersama dalam kepanitiaan, dan kerja-kerja sosial, aku dan teman-teman di tim redaksi jadi lebih dinamis menghadapi perubahan. Bahkan aku yang kerap menjadi penentu akhir kebijakan di internal redaksi, terbiasa juga berpikir dan bergerak cepat. Yang penting kegiatan jalan, dan substansi acara juga dapat.
Ya, moment launching buku modul panduan daiyah ramah lingkungan, yang menurutku paling menarik. Satu hari sebelum hari H, kami belum dapat konsep yang pas. Mulanya hanya kami dengan panitia lokal dari PD Aisiyah dan PC Muslimat NU Kabupaten Jepara. Tiba-tiba Afkaruna dan Gusdurian ingin bergabung dan launching buku bersama. Baiklah, pikirku biar lebih ramai. Karena KUPI II bagi kami adalah ruang bergembira untuk berbagi pengetahuan serta pengalaman.
Kedua, pas sekali di saat dalam tekanan pra kegiatan itu, aku menstruasi dengan kram perut parah. 4 butir bodr*x ekstra harus aku minum demi meredakan nyeri haid yang tanpa ampun. Ditambah jalan kaki dari rumah singgah menuju lokasi acara sekitar 350-an meter. Hari itu ingin menangis rasanya. Saat harus rapat dengan panitia lokal, sakit perutku tak tertahankan lagi.
Ketiga, beruntung fasilitas toilet di rumah singgah kami, dan seluruh area Ponpes Hasyim Asy’ari Bangsri Jepara bersih plus nyaman. Ini satu hal yang bikin aku bahagia selama acara. Kadang setiap mendatangi tempat baru, yang pertama kali aku cek adalah kamar mandi. Kalau bau, jorok dan airnya tak cukup mengalir, maka aku balik kanan. Ini nggak, semua bersih dan wangi. Bahkan tersedia plastik untuk membungkus pembalut menstruasi sekali pakai. Keren pokoknya. Kesan pesantren yang kumuh itu benar-benar nggak ada sama sekali.
Keempat, selama kegiatan, mulai dari pra sampai paska kegiatan biasa dong kena marah orang-orang hahaha.. Aku woles saja, membaca pesan-pesan bernada keras, mengancam dan nyinyir dengan santai. Strateginya, tetap kita tanggapi dengan baik. Setelah itu abaikan, atau tinggalkan.
Menurutku setiap orang pastilah punya masalah ya. Besar kecilnya tergantung bagaimana kita mensikapi. Kalau aku, jujur dibawa happy meski ada satu tempat yang aku hindari selama perhelatan. Sekretariat tim media KUPI II. Nggak tahu ya kenapa di situ yang terbayang adalah deadline tulisan. Hahaha..
Tentang Jaringan Muda KUPI
Berikutnya soal KUPI Muda. Kebetulan aku terlibat sebagai tim refleksi KUPI pada awal 2022. Kami merumuskan 5 hal terkait bagaimana membaca proyeksi KUPI di masa depan, yang melingkupi Gerakan, Komunitas, Keluarga, Negara, dan Alam. Aku masuk di kelompok gerakan, bersama Ibu Nyai Badriyah Fayumi, Kiai Faqihuddin Abdul Kodir, Ibu Ninik Rahayu dan Kalis Mardiasih. Sampai sesi terakhir, aku yang ditugaskan panitia untuk menuliskan dan merangkum proses itu.
Karena tahu alur sejak sesi refleksi, pada saat perhelatan KUPI II aku jadi intens melihat pola gerakan KUPI Muda. Selain setiap hari aku bekerja di media, di mana dalam tim redaksi dan para kontributor adalah anak-anak muda.
Sasaran pembaca atau salingers juga diwarnai anak muda. Lalu aku menemukan moment untuk memetakan gerakan itu setelah mengikuti Workshop Jurnalistik bersama Konde.co yang memang sengaja dipersiapkan untuk menyambut KUPI II. Hadir dalam kesempatan itu sebagai narasumber Ibu Nur Rofiah.
Ada satu kalimat Ibu Nur Rofiah yang aku garis bawahi tentang strategi struktural dan ikhtiar kultural, bagaimana kita melakukan perubahan untuk mewujudkan peradaban yang berkeadilan. Dalam konteks KUPI Muda, strategi struktural dilakukan dengan mengawal 8 rekomendasi hasil KUPI II, untuk memastikan kebijakan negara yang ramah perempuan, tidak diskriminatif, tidak meminggirkan dan membatasi peran perempuan. Serta memastikan ruang aman bagi perempuan dan kelompok rentan.
Sedangkan ikhtiar kultural, bagaimana jaringan KUPI ketika kembali ke ranah masing-masing mensosialisasikan hasil KUPI II (Ikrar Joglo Bangsri, Ikrar Joglo Bangsri Jaringan Muda KUPI, 5 pandangan keagamaan, 8 rekomendasi) sesuai dengan skill, kapasitas pengetahuan dan pengalaman yang kita miliki. Baik secara digital maupun non digital. Peran ini akan kembali pada definisi dan makna ulama perempuan yang lebih luas. Sehingga gerakan KUPI bisa kita lakukan secara simultan dan terus berkelanjutan. []