Mubadalah.id – Perbedaan mendasar manusia dengan makhluk lainnya adalah dikaruniai akal untuk berpikir dan hati untuk merasa. Pertimbangan akal budi dalam setiap tindakan menjadi penentu kualitas tiap manusia. Begitu juga dengan Perkawinan. Perkawinan sebagaimana aspek hidup lainnya mesti dijalankan sesuai dengan landasan spiritual dan jati diri manusia.
Perkawinan bukanlah semata-mata menyatukan dua tubuh dalam ikatan biologis, melainkan juga dua jiwa. Karenanya, tujuan perkawinan adalah ketenangan jiwa (sakinah). Landasan relasi suami-istri pun adalah cinta-kasih (mawaddah wa rahmah). Seperti dalam al-Qur’an:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya. Dan dijadikannya diantaramu rasa kasih dan saying. Seusungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (QS. Ar-Rum ayat 21)
Suami dan istri mesti mempertimbangkan tiga level etika dalam bertindak. Pertama, boleh atau tidak menurut agama, maka harus halal.
Kedua, baik atau tidak, maka harus thayyib. Ketiga, pantas atau tidak, maka harus ma’ruf. Jadi, suami dan istri mesti terus ikhtiar untuk selalu bisa melakukan tindakan yang halal, thayyib, dan ma’ruf sebagai makhluk yang berakal budi.
Perkawinan dengan demikian, tidak hanya menjadi urusan suami dan istri dengan pasangan masing-masing, tetapi juga urusan keduanya dengan Allah Swt.
Semoga kita bisa mengupayakan sakinah dalam perkawinan kita selama di dunia, supaya bisa meraih sakinah hakiki kelak di akhirat. []