Aku sedang mendaras hafalanku sambil duduk bersandar di pintu lemari saat mbak Sinta, salah satu abdi dalem menyapaku.
“Mbak Rahmi dipanggil Bu Nyai!”
“Oh nggih!” Jawabku singkat. Aku segera menyimpan mushafku di dalam lemari, kemudian membubuhkan bedak tabur secukupnya di wajahku lalu menyemprotkan parfum di baju dan jilbabku. Terakhir, mematut diri di depan cermin sambil sedikit merapikan jilbab yang agak berantakan.
Aku berjalan dengan lutut sejak memasuki pintu ndalem hingga sampai di depan pintu kamar Bu Nyai. Lalu aku bertanya kepada mbak-mbak yang sedang membersihkan ndalem apakah Bu Nyai ada di kamar. “Nggih mba, beliau di kamar.” Jawab salah satu dari mereka. Lalu kuketuk pintu kamar Bu Nyai perlahan.
“Punten.” Lirihku.
“Iya, masuk!” Beliau mempersilahkan.
Kubuka pintu yang dibingkai dengan gorden abu-abu itu perlahan dan tetap berjalan dengan lutut hingga sampai di depan beliau yang sedang duduk di sofa sambil membaca kitab wirid. Aku meminta tangan beliau untuk kucium, lalu beliau menjulurkan tangan kanannya. Sekitar lima menit aku menunggu beliau menyelesaikan wirid sambil menerka-nerka perihal masalah apa yang hendak beliau bicarakan denganku.
“Rahmi, berapa usiamu sekarang?”
“21 Bu.”
Aku masih terus menerka-nerka, terlebih beliau menanyakan berapa usiaku.
“Hafalan Qur’anmu sampun rampung nggih?”
“Alhamdulillah sampun bu.”
“Terus apa rencana kamu selanjutnya?”
Aku bingung, sejujurnya aku belum merencanakan apapun ke depannya selain mengulang setoran hafalanku dari awal kepada Yu Alya, menantu Bu Nyai yang telah sepuluh tahun memangku program tahfidzul Qura’an di pesantren.
“Inginnya sih tabarrukan ke pesantren tahfid yang lain setelah Haflah Akhirussanah bu.”
Haflah Akhirussanah adalah perayaan akhir tahun ajaran pesantren yang diadakan setiap bulan sya’ban. Di dalamnya ada beberapa rangkaian acara khataman, mulai dari khataman kitab, khataman nadzam, khataman Al-Qur’an dan Juz ‘Amma, juga ada acara-acara wisuda sekolah formal dan madrasah pesantren. Tahun ini aku menjadi salah satu peserta Khatmil Qur’an bil ghaib bersama lima belas kawanku yang lain yang juga sedang berjuang untuk mengkhatamkan hafalan Qur’an.
“Haflah Akhirussanah itu tiga bulan lagi yah?”
“Nggih bu.”
Bu Nyai meletakkan kitab wirid yang sedari tadi ia pegang di atas meja. Kemudian beranjak berjalan ke depan jendela kamar yang terbuka dan menampakkan pemandangan taman samping ndalem yang dihiasi dengan bunga-bunga beraneka warna.
“Kemarin ada kang-kang santri yang matur ke ibu untuk melamarmu.”
Sontak aku kaget mendengar pernyataan Bu Nyai. Aku pikir aku salah dengar. Tapi kalimatnya sangat jelas kutangkap dan langsung kumengerti. Aku tak memberikan tanggapan apapun soal pernyataan itu. Aku masih menata hati yang terkejut dan menerka-nerka siapa gerangan laki-laki yang matur ke hadapan Bu Nyai dan memintaku tanpa berbicara denganku dahulu. Aku semakin tertunduk demi menyembunyikan rasa penasaran yang semakin memenuhi benakku.
“Kamu tau siapa dia, Nok?” tanya Bu Nyai.
“Mboten Bu.”
Aku tak berani menebak meski sesungguhnya aku ingin sekali menyebutkan sebuah nama. Nama laki-laki yang selama ini aku idamkan dalam diam. Nama laki-laki yang selama ini aku pendam dalam lubuk hati terdalam. Nama laki-laki yang tak pernah kusebut di hadapan setiap orang. Nama laki-laki yang membuatku selalu terdiam saat orang-orang membicarakan.
Namun aku tak pernah berpikir bahwa dia akan matur kepada Bu Nyai dan memintaku. Aku tak pernah punya hubungan apapun dengannya. Kami memang saling kenal. Beberapa kali aku berurusan dengannya mengenai persoalan pesantren. Namun dia tak pernah menaruh hati padaku. Dia tidak pernah tertarik padaku meski aku adalah santriwati yang paling cepat menyelesaikan hafalan Qur’an dibandingkan teman-temanku yang lain.
Tapi siapa yang tahu jika di dalam hantinya diam-diam dia juga menyimpan namaku, diam-diam dia juga memperhatikanku, diam-diam dia juga mengharapkanku, hingga diam-diam dia matur ke ndalem dan memintaku kepada Bu Nyai. Ah, khayalanku semakin tinggi. Aku segera tersadar bahwa yang kuhadapi sekarang adalah realita, bukan khayalan.
Setelah hening beberapa saat, bu nyai kemudian menyebutkan sebuah nama.
“Zulkifli Latif.”
Jangtungku seakan berhenti. Segaris petir seperti menyambar dadaku bersamaan dengan nama yang Bu Nyai sebutkan. Aku semakin menunduk demi mengetahui bahwa laki-laki itu bukanlah dia. Bu Nyai masih memandang taman di luar sana. Belau berdiri membelakangiku yang semakin resah mengetahui bahwa Kang Zul, salah satu abdi dalem beliaulah yang ternyata diam-diam mengharapkanku entah sejak kapan.
“Nok, semua santri tahu bahwa dia sangat baik. Akhlaknya bagus, orangnya alim, sederhana dan pekerja keras.”
Aku masih menunduk. Aku tak pernah menyangka bahwa kang Zul akan memintaku kepada Bu Nyai. Padahal masih banyak perempuan yang lebih pantas untuknya, yang lebih pintar, yang lebih alim dan lebih solihah.
“Bagaimana menurutmu, Nok?” Bu Nyai berbalik badan lalu bertanya padaku sambil tersenyum.
Aku tentu ingin bilang kalau aku tak mau. Aku tentu ingin menolak. Namun harus dengan kalimat seperti apa aku mengungkapkan penolakanku jika yang sekarang aku hadapi adalah Bu Nyaiku, guru besarku, orang yang sangat kuhormati dan sangat peduli kepadaku. Selama ini aku tak pernah menolak pendapat atau tawaran Bu Nyai karena aku yakin bahwa setiap apa yang beliau katakan adalah baik untukku.
Sejak awal mondok kedua orang tuaku telah menyerahkanku sepenuhnya kepada Bu Nyai. Bahkan beliaulah yang mengusulkan agar aku mengikuti program Tahfidzul Qur’an setelah aku mengkhatamkan muhafadzah nadzam Alfiyah. Beliau jugalah yang membuatku selalu semangat dalam menghafal hingga kini aku menjadi penghafal Al-Qur’an tercepat dibanding teman-teman seangkatanku yang lain dan siap diwisuda pada haflah ikhtitam tiga bulan mendatang.
Aku masih diam saat bu nyai kembali duduk di sofanya.
“Nok. Sebetulnya ibu sudah lama merencanakan kamu dan Zul. Tapi ibu tunda untuk menyampaikannya kepadamu atau kepada Zul sebab kamu masih ngafalin. Gak taunya ternyata Zul duluan yang matur ke ibu buat minta kamu sebab dia tahu kalau hafalanmu sudah selesai. Mungkin dia diam-diam memperhatikan kamu, dan wajar saja untuk Zul yang memang sudah waktunya untuk cari calon.”
Aku semakin tersudut. Entah mengapa selama ini aku tak tahu bahwa ternyata kang Zul diam-diam memperhatikanku. Atau mungkin saking diam-diamnya sampai aku tidak tahu. Atau juga mungkin karena selama ini aku tak pernah peduli dengan kang Zul. Dia memang ustad dan abdi dalem panutan. Semua orang mengakui kehebatannya, namun dia selalu tenggelam dalam tawadhu’ dan kesederhanaannya. Dia tak pernah sekalipun terlihat gumede. Dia selalu ramah dan sopan kepada siapapun.
Banyak mbak-mbak santri yang sering membicarakannya, juga menerka-nerka siapakah kira-kira perempuan yang akan Bu Nyai jodohkan dengan kang Zul. Namun mereka tak pernah berani untuk bermimpi bersanding dengan kang Zul karena kharismanya begitu tinggi. Jauh bumi dari langit, begitu menurut mereka.
Aku sendiri tak pernah nimbrung mbak-mbak yang suka ngomongin kang Zul. Aku hanya menguping. Aku memang mengakui semua kelebihannya namun aku tak pernah bermimpi untuk menjadi pendamping kang Zul. Salah satu alasanku sama seperti mbak-mbak yang lain. Jauh langit dari bumi. Kang Zul terlalu tinggi, meski tak ada salahnya jika memiliki pendamping seperti dia.
Bahkan bagus sekali bukan? Tapi aku memiliki alasan lain. Hatiku terlanjur menyimpan sebuah nama. Nama yang dapat mengalihakan perhatianku dari seratus orang macam kang Zul sekalipun. Nama yang jarang sekali diperbincangkan oleh orang-orang padahal ia pun memiliki kelebihan meski tidak semasyhur kang Zul. Nama yang tak pernah kusebut di depan orang lain namun sangat lantang kusebut dalam doa.
Aku baru diizinkan keluar setelah bu nyai menasehatiku panjang lebar soal kebaikan, kerja keras, doa dan etos kerja. Sebelumnya aku sempat berkata bahwa aku butuh waktu untuk memikirkan dan mempertimbangkan tawaran Bu Nyai matang-matang karena bagaimana pun itu akan menyangkut banyak hal, menyangkut orang tuaku dan keluarga besarku.
Sebetulnya itu bukan masalah besar. Aku yakin orang tuaku pasti setuju dengan siapapun yang Bu Nyai pilihkan. Terlebih jika orangtuaku menyaksikan langsung seperti apa sesungguhnya sosok kang Zul. Hatikulah yang sebetulnya membutuhkan waktu untuk mempertimbangkan. Aku terlanjur jatuh hati kepadanya. Kepada laki-laki yang sebetulnya mungkin hampir dapat kuraih. Perasanku kepadanya telah lama berkembang dan tak pernah layu. (bersambung).