Senin, 20 Oktober 2025
  • Login
  • Register
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
    Disabilitas

    PSGAD UIN SSC Dorong Kolaborasi Akademisi, Komunitas, dan Pesantren untuk Advokasi Disabilitas melalui Tulisan

    Isu Disabilitas

    Zahra Amin: Mari Menulis dan Membumikan Isu Disabilitas

    Keadilan Gender

    SIKON CILEM UIN SSC Cirebon Angkat KUPI sebagai Gerakan Global Keadilan Gender Islam

    Metodologi KUPI

    Menelusuri Metodologi KUPI: Dari Nalar Teks hingga Gerakan Sosial Perempuan

    Trans7

    Pesantren di Persimpangan Media: Kritik atas Representasi dan Kekeliruan Narasi Trans7

    Gus Dur dan Daisaku Ikeda

    Belajar dari Gus Dur dan Daisaku Ikeda, Persahabatan adalah Awal Perdamaian

    Jurnalis Santri

    Sambut Hari Santri Nasional 2025, Majlis Ta’lim Alhidayah Gelar Pelatihan Jurnalistik Dasar untuk Para Santri

    Thufan al-Aqsha

    Dua Tahun Thufan al-Aqsha: Gema Perlawanan dari Jantung Luka Kemanusiaan

    Daisaku Ikeda

    Dialog Kemanusiaan Gus Dur & Daisaku Ikeda, Inaya Wahid Tekankan Relasi Lintas Batas

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Ekofeminisme di Indonesia

    Kajian Ekofeminisme di Indonesia: Pendekatan Dekolonisasi

    Trans7

    Merespon Trans7 dengan Elegan

    Banjir informasi

    Antara Banjir Informasi, Boikot Stasiun Televisi, dan Refleksi Hari Santri

    Refleksi Hari Santri

    Refleksi Hari Santri: Memoar Santri Putri “Nyantri” di California

    Feodalisme di Pesantren

    Membaca Ulang Narasi Feodalisme di Pesantren: Pesan untuk Trans7

    Membaca Buku

    Joglo Baca: Merawat Tradisi Membaca Buku di Tengah Budaya Scrolling

    Suhu Panas yang Tinggi

    Ketika Bumi Tak Lagi Sejuk: Seruan Iman di Tengah Suhu Panas yang Tinggi

    Sopan Santun

    Sikap Tubuh Merunduk Di Hadapan Kiai: Etika Sopan Santun atau Feodal?

    Aksi Demonstrasi

    Dari Stigma Nakal hingga Doxing: Kerentanan Berlapis yang Dihadapi Perempuan Saat Aksi Demonstrasi

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    Perempuan Lebih Rendah

    Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

    Keterbukaan Rumah Tangga

    Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

    Keterbukaan

    Pentingnya Sikap Saling Keterbukaan dalam Rumah Tangga

    Rumah Tangga dalam

    Mencegah Konflik Kecil Rumah Tangga dengan Sikap Saling Terbuka dan Komunikasi

    Fitrah Anak

    Memahami Fitrah Anak

    Pengasuhan Anak

    5 Pilar Pengasuhan Anak

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
    Disabilitas

    PSGAD UIN SSC Dorong Kolaborasi Akademisi, Komunitas, dan Pesantren untuk Advokasi Disabilitas melalui Tulisan

    Isu Disabilitas

    Zahra Amin: Mari Menulis dan Membumikan Isu Disabilitas

    Keadilan Gender

    SIKON CILEM UIN SSC Cirebon Angkat KUPI sebagai Gerakan Global Keadilan Gender Islam

    Metodologi KUPI

    Menelusuri Metodologi KUPI: Dari Nalar Teks hingga Gerakan Sosial Perempuan

    Trans7

    Pesantren di Persimpangan Media: Kritik atas Representasi dan Kekeliruan Narasi Trans7

    Gus Dur dan Daisaku Ikeda

    Belajar dari Gus Dur dan Daisaku Ikeda, Persahabatan adalah Awal Perdamaian

    Jurnalis Santri

    Sambut Hari Santri Nasional 2025, Majlis Ta’lim Alhidayah Gelar Pelatihan Jurnalistik Dasar untuk Para Santri

    Thufan al-Aqsha

    Dua Tahun Thufan al-Aqsha: Gema Perlawanan dari Jantung Luka Kemanusiaan

    Daisaku Ikeda

    Dialog Kemanusiaan Gus Dur & Daisaku Ikeda, Inaya Wahid Tekankan Relasi Lintas Batas

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Ekofeminisme di Indonesia

    Kajian Ekofeminisme di Indonesia: Pendekatan Dekolonisasi

    Trans7

    Merespon Trans7 dengan Elegan

    Banjir informasi

    Antara Banjir Informasi, Boikot Stasiun Televisi, dan Refleksi Hari Santri

    Refleksi Hari Santri

    Refleksi Hari Santri: Memoar Santri Putri “Nyantri” di California

    Feodalisme di Pesantren

    Membaca Ulang Narasi Feodalisme di Pesantren: Pesan untuk Trans7

    Membaca Buku

    Joglo Baca: Merawat Tradisi Membaca Buku di Tengah Budaya Scrolling

    Suhu Panas yang Tinggi

    Ketika Bumi Tak Lagi Sejuk: Seruan Iman di Tengah Suhu Panas yang Tinggi

    Sopan Santun

    Sikap Tubuh Merunduk Di Hadapan Kiai: Etika Sopan Santun atau Feodal?

    Aksi Demonstrasi

    Dari Stigma Nakal hingga Doxing: Kerentanan Berlapis yang Dihadapi Perempuan Saat Aksi Demonstrasi

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    Perempuan Lebih Rendah

    Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

    Keterbukaan Rumah Tangga

    Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

    Keterbukaan

    Pentingnya Sikap Saling Keterbukaan dalam Rumah Tangga

    Rumah Tangga dalam

    Mencegah Konflik Kecil Rumah Tangga dengan Sikap Saling Terbuka dan Komunikasi

    Fitrah Anak

    Memahami Fitrah Anak

    Pengasuhan Anak

    5 Pilar Pengasuhan Anak

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Liberal-Sufism: Paradigma KUPI sebagai Pewaris Nabi

Di sinilah posisi KUPI, yang menggunakan beragam kacamata untuk menghasilkan fatwa yang berkeadilan

Aspiyah Kasdini RA Aspiyah Kasdini RA
23 Februari 2023
in Pernak-pernik, Rekomendasi
0
Pewaris Nabi

Pewaris Nabi

742
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Sebelum mengulas tentang liberal-sufism: paradigma KUPI sebagai pewaris Nabi, saya merefleksikan kegiatan DKUP lanjutan pada awal bulan ini di Cirebon. Di hari terakhir ada satu pernyataan yang benar-benar membekas dan saya bold dalam hati saya. Yakni pernyataan Kiai Marzuki Wahid saat ia merasa tidak ambil pusing ketika menerima label sebagai orang liberal. Beliau mengatakan, “Kita akan selalu menjadi orang kanan bagi orang yang berada di sebelah kiri kita, dan kita akan selalu menjadi orang kiri bagi orang yang berada di sebelah kanan kita.”

Entah mengapa ketika beliau menyampaikan hal tersebut, yang berputar-putar dalam kepala saya adalah nasihat Guru Agung Abah Anom. “Jangan menyalahkan pengajaran orang lain.” Ya, sikap tidak reaktif Dr Marzuki yang akrab disapa Kiai Zeki tersebut sungguh-sungguh menunjukkan bahwa pelabelan tidak harus kita balas dengan pelabelan. Keberagaman berpikir dan bertindak itu rahmat, bukan sumber laknat.

Jika salingers mau merasakan, apa sih yang membuat kita takut untuk berani berpikir, menyampaikan aspirasi, berani berbeda? Ya, kita kerap dihinggapi ketakutan akan label radikal, sesat, atau bahkan liberal. Maka menjadi sesuatu yang men-dag-dig-dug-kan ketika tulisan kita dibuat konten dalam media sosial IG Mubadalah. Hingga kemudian menyulut kemarahan, caci-maki, juga pelabelan oleh netizen yang membuat kita menciut dan merasa jatuh.

Jangan Takut Berpikir

Namun, Kiai Zeki memberikan jawaban agar para pemikir tidak takut untuk terus berpikir, menulis, dan bersikap. Hal tersebut beliau tunjukkan dari sikapnya saat menyampaikan ilmu, dan mendengarkan pendapat yang beragam. Berjam-jam dengan khidmat beliau mampu mendengarkan semua presentasi murid-muridnya dengan baik. Beliau buat catatan-catatan untuk diri sendiri, tidak membenarkan atau juga menyalahkan hasil-hasil musyawarah para muridnya. Beliau dengan keluasan ilmunya mampu menghargai murid-muridnya dalam berproses. Tidak ada pemaksaan atau bahkan marah-marah jika ada aspirasi yang berbeda. Semua sikap yang beliau tampakkan adalah kemakrufan bersosial.

Apa yang Kiai Zeki merupakan pengejawantahan dari “Ulah nyalahkeun kana pangajaran batur.” Bagaimana seseorang yang kerap kita cap “liberal” justru menjadi penafsiran atas nasihat Guru Tarekat? Itulah titik temu yang menjadi inspirasi tulisan ini. Sikap Kiai Zeki yang menunjukkan bahwa manusia tidak akan lepas dari pelabelan. Namun kita bisa melepas diri untuk tidak melabeli orang lain yang berbeda. Sebagaimana wasiat tarekat Abah Anom di atas. Saya sendiri tidak tahu, mengapa semakin dekat saya dengan atribut-atribut yang katanya “liberal,” justru saya semakin merasa dekat dengan maksud nasihat-nasihat Guru saya.

Almarhum Ayah mendukung saya untuk melanjutkan pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang terkenal dengan keliberalannya. Prof. Harun Nasution adalah salah satu murid TQN Suryalaya dengan Mursyid Pangersa Abah Anom. Saat diberi tugas oleh Prof. Atho’ Mudzhar untuk menyelami buku Peter Connolly (Approaches to The Study of Religion) dan buku Noeng Muhadjir (Metodologi Pendekatan Kualitatif), yang dapat saya simpulkan, buku-buku ini adalah buku Tasawuf.

Belajar Tasawuf

Walaupun sebagian teman mengatakan bahwa buku tersebut adalah buku yang dapat membuat pembacanya menjadi liberal. Lagi-lagi bagi saya buku tersebut adalah buku Tasawuf. Mengapa? Karena buku tersebut mengajarkan saya untuk berlatih berhenti melabeli orang lain. Mengajarkan saya untuk menyadari bahwa kebenaran yang kita ketahui bukanlah satu-satunya kebenaran mutlak. Lalu dalam melihat suatu hal, semua manusia memiliki perspektif atau kacamata yang berbeda-beda, sehingga sikap menghargai dan toleran akan tumbuh di hati kita. Inilah pesan-pesan sufistik yang saya temukan dalam buku “liberal” tersebut.

Tentunya semua hal yang tertulis di atas juga memberikan insight/futuh kepada kita yang berbunyi: “Kita akan disemati label kaum radikal, liberal, fundamental, klasik, modern dan sebagainya itu tergantung dari posisi atau perspektif orang yang memberikan label tersebut. Jadi biarkan saja, tetaplah maju untuk terus bertumbuh.” Coba kita ingat-ingat kembali, pernahkah kita memberikan label liberal kepada seseorang yang tingkat keilmuan dan pengalamannya di atas kita? Wow, ternyata sering ya.

Atau pernahkah kita memberikan label radikal pada kawan-kawan yang cara berpikir dan beragamanya yang terkesan ‘kaku’? Waaah, ternyata sering banget. Bahkan dari cara seseorang berpakaian, berpikir, dan mengemukakan pendapatnya, dengan mudah kita menyematkan label-label tersebut dengan sangat ringan.

Posisi KUPI

Di sinilah posisi KUPI, yang menggunakan beragam kacamata untuk menghasilkan fatwa yang berkeadilan. Banyak pihak yang memandang sebelah mata hasil-hasil musyawarah KUPI. Hingga kemudian menjadi rekomendasi dengan menyemati para tokohnya sebagai kaum liberal, keblablasan dalam bersyariat, dan sejenisnya. Namun jika melihat respon para tokoh tersebut yang tetap santun dan fokus pada kemaslahatan umat membuat saya menyimpulkan, mereka memang kaum liberal dalam ranah memikirkan umat,  sehingga membentuk kepribadian mereka yang begitu lembut dan toleran seperti halnya para kaum sufi.

Apa yang salah dengan berpikiran liberal? Term liberal sendiri tidak memiliki ta’rif yang sungguh-sungguh spesifik. Sehingga jika term tersebut kita sandingkan dengan tujuan ‘kemaslahatan umat yang berkeadilan,’maka term tersebut adalah sebuah jalan yang harus tertempuh oleh semua umat manusia.

Jika dengan berpikiran liberal menjadikanmu menjadi lebih humanis, maka liberal tersebut adalah liberal hasanah, bukan qabihah. Jika yang tercipta adalah kondisi tersebut, maka liberal-sufism bukanlah suatu kesesatan. Melainkan suatu paradigma atau pendekatan untuk menyelami teks-teks Ilahi dan Rasuli dengan mempertimbangkan kondisi zaman yang sedang kita jalani. Paradigma inilah yang juga para wali gunakan dalam mendakwahkan Islam di Nusantara.

Sejauhmana dekatnya antara liberal dan Sufism? Spektrum antar keduanya mungkin sangat tipis, atau bahkan menyatu. Apakah saat kita membaca teks-teks Kanjeng Nabi yang dapat seserawungan dengan baik terhadap umat yang berbeda agama, lantas kita melabeli beliau adalah kafir? Tentu tidak ‘kan?

Apakah saat kita melihat teks sikap Kanjeng Nabi yang begitu menghargai perempuan sebagai subjek dan tokoh utama, lantas kita melabeli beliau liberal? Tentu tidak ‘kan? Apakah saat kita membaca teks-teks Kanjeng Nabi yang begitu mengayomi dan melindungi kaum mustadl’afin, lantas kita melabelinya sedang pencitraan atau munafik? Tentu tidak ‘kan?

Ulama Pewaris Nabi

Lihatlah bagaimana Kanjeng Nabi yang sangat menghargai beragam perbedaan keyakinan, gender, status sosial, status ekonomi, tingkat keilmuan, dan lain sebagainya. Lihatlah betapa santunnya beliau, betapa humanis dan tolerannya beliau. Liberal-sufism yang Nabi contohkan juga diikuti oleh para penerusnya. Khususnya para tokoh sufi dengan beragam ajarannya, para pewaris Nabi yang mengedepankan akhlakul karimah kepada sesama manusia apapun latar belakangnya.

Lantas mengapa kita begitu membenci orang-orang yang memperjuangkan sifat-sifat tersebut? Padahal kita belum benar-benar memahami apa yang mereka pikirkan dan maksudkan. Kita hanya memberikan penilaian atas keterbatasan yang kita miliki. Mereka adalah pewaris Nabi warasatul anbiya’ yang selalu memperjuangkan tentang bagaimana kehidupan sesama manusia di muka bumi ini selalu aman, damai, dan tanpa diskriminasi. Sebut saja Buya Hussein, Kiai Faqih, Kiai  Zeki, Bu Nyai Badriyah, Bu Nyai Nur Rofiah, atau juga Kiai Nadirsyah Hosen yang sampai terkena boikot saat akan menyampaikan kuliah umum di sebuah Universitas atau pengajian karena dianggap membahayakan dan menyesatkan.

Semua orang memiliki perspektif kebenarannya masing-masing, dan itu adalah rahmat. Kita semua sangat mustahil berada dalam satu perspektif yang sama. Oleh karena itu, bukan perbedaan yang kita larang. Melainkan merasa bahwa keyakinan diri adalah yang paling benar ‘dibandingkan’ keyakinan orang lain itulah yang tidak tepat.

Karena sikap tesebut pada akhirnya akan memberikan kemudahan bagi orang tersebut untuk melabeli sesuka hati apapun di luar pemahaman dan keyakinannya. Sehingga, memberikan label adalah hal yang tidak kita anjurkan, mengapa? Karena bisa jadi pemahaman kita belum sampai pada pemahaman orang tersebut. Atau justru pemahaman kita sudah jauh melampaui dari pemahaman orang tersebut pula (Al-Hujurat: 11). Sehingga memahami dan menghargai adalah suatu keharusan, karena sebagaimana pernyataan Mbak Nyai Fetra Nur Hikmah, ilmu itu dinamis asalkan tetap logis.

Terus Berproses dan Belajar

Teori ini juga dialami sendiri oleh Mbak Nyai Najhatiy Mu’tabiroh, dimana cara berpikirnya 10-15 tahun yang lalu sungguh sangat berbeda dengan cara berpikir dan pandangnya saat ini. Pernyataan Mbak Nyai Hatiy ini mengingatkan saya pada sosok Ibnu Taimiyah. Di mana bagi sebagian orang beliau dikenal sebagai tokoh yang sangat anti terhadap Tasawuf. Akan tetapi di masa-masa akhir hayatnya, beliau mengikuti ajaran yarekat yang disanadkan pada Sykeh Abdul Qadir Al-Jaylani.

Perbedaan latar belakang kehidupan dan pengalaman sangat mempengaruhi perspektif seseorang dalam melihat suatu hal. Sehingga, ada orang yang memiliki banyak kacamata, ada yang hanya punya sedikit. Bahkan ada yang tidak punya sama sekali, dan ini adalah keniscayaan. Yang tidak diperkenankan adalah ketika ketermilikan atas jumlah kacamata ini kita jadikan standar untuk menilai kacamata orang lain, sungguh tidak elegan. Lagi-lagi, perbedaan adalah sebuah keniscayaan, Sejauh mana perbedaan tersebut diperbolehkan? Prof. Alwi Shihab menyampaikan, selama tidak menimbulkan perpecahan dan kemudaratan bagi kehidupan sesama manusia dari berbagai aspek kehidupan manusia.

Akhirnya, tugas kita sesama pemakai kacamata adalah saling memahami dan menghargai, bukan memaksakan agar orang lain mau memakai kacamata yang kita gunakan. Dan kita juga harus memiliki kesadaran yang tinggi atas keterbatasan kacamata yang kita miliki, sehingga kita tidak mudah menyalahkan seseorang yang jelas memiliki banyak kacamata atas keilmuan dan pengalaman yang dimiliki.

Tugas manusia adalah terus berproses dan belajar agar mampu saling memahami dan menebar manfaat bagi sesama. Sebagaimana kata Buya Husein, belajar itu sepanjang hayat. Apabila kita selalu mengusahakan proses belajar tersebut, maka kita juga akan melihat bahwa orang lain juga sedang menjalankan proses hidupnya masing-masing. Hingga pada akhirnya, kita akan sibuk dengan pemikiran serta amal perbuatan diri sendiri (gathekke kafire dewe) tanpa memandang rendah orang lain. []

 

Tags: DKUPJaringan KUPIParadigma KUPIPerspektif KUPIulama perempuanYayasan Fahmina
Aspiyah Kasdini RA

Aspiyah Kasdini RA

Alumni Women Writers Conference Mubadalah tahun 2019

Terkait Posts

Siti Ambariyah
Figur

Menelaah Biografi Nyai Siti Ambariyah; Antara Cinta dan Perjuangan

18 Oktober 2025
Pembangunan Pesantren
Publik

Arsitek Sunyi Pembangunan Pesantren

17 Oktober 2025
Ibu Mahmudah
Figur

Ibu Mahmudah, Ulama Perempuan dari Negeri Sai Bumi Ruwa Jurai itu Telah Pergi

9 Oktober 2025
Prof. Dr. Shinta
Figur

Prof. Dr. Shinta UIN Gus Dur: Inovasi dan Kecerdasan Multidimensi sebagai Jalan Sukses

4 Oktober 2025
Fasilitas Ramah Disabilitas
Aktual

Teguhkan Komitmen Inklusif, Yayasan Fahmina Bangun Fasilitas Ramah Disabilitas

30 September 2025
UIN Satu
Personal

Asa yang Menyatu di Kampus UIN Satu

28 September 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Antara Banjir Informasi, Boikot Stasiun Televisi, dan Refleksi Hari Santri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Zahra Amin: Mari Menulis dan Membumikan Isu Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Merespon Trans7 dengan Elegan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah
  • Kajian Ekofeminisme di Indonesia: Pendekatan Dekolonisasi
  • Mbah War Sudah Kaya Sebelum Santri Belajar
  • PSGAD UIN SSC Dorong Kolaborasi Akademisi, Komunitas, dan Pesantren untuk Advokasi Disabilitas melalui Tulisan
  • Zahra Amin: Mari Menulis dan Membumikan Isu Disabilitas

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2025 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2025 MUBADALAH.ID