Mubadalah.id – Hari-hari terakhir ini, media begitu ramai dengan pemberitaan tentang kasus kekerasan seksual yang terjadi di salah pesantren di Jombang Jawa Timur. Banyak korban di antaranya adalah anak-anak perempuan, dan sudah terjadi bertahun-tahun, bahkan sebelum pelaku menikah. Proses hukum yang berjalan lamban, pengepungan pesantren oleh aparat keamanan untuk menangkap pelaku, hingga pelaku akhirnya menyerahkan diri, menjadi rangkaian berita yang berseliweran di laman media sosial.
Kabar terakhir, Kementerian Agama telah mencabut ijin operasional pesantren tersebut, dan memastikan keberlanjutan pendidikan dari para santri yang masih mukim di sana. Apa yang terjadi di Jombang, bahkan susul menyusul belum lama kasus serupa juga terjadi di Bandung. Di mana para pengelola lembaga pendidikan, pengasuh dan pimpinan pesantren sebagai pengganti orang tua dalam melindungi anak-anak malah menjadi predator seksual.
Para pelaku kekerasan seksual tidak hanya telah merenggut masa depan anak-anak malang tersebut, namun juga marwah pondok pesantren. Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan tertua di Indonesia itu memudar, seiring makin banyaknya kasus kekerasan seksual yang terungkap. Hingga di laman Facebook, ramai pula warganet membincang tentang mana yang lebih baik memasukkan anak ke sekolah berasrama (pesantren), atau sekolah di sekitar rumah saja.
Kami tetap Percaya pada Sistem Pembelajaran di Pesantren
Kami yang belum lama ini memasukkan anak perempuan ke pesantren, tetap percaya dengan lembaga tersebut seratus persen. Karena menilik profil pengelola serta bagaimana keluarga besar kami, baik dari pihak saya atau suami, sama-sama pernah menimba ilmu di sana. Sehingga secara ikatan emosional dengan pengasuh pesantren telah terbentuk lama. Kepercayaan inilah menurut saya menjadi salah satu alasan penting mengapa kami memasukkan anak ke pesantren.
Alasan kedua, di usia belasan tahun atau remaja, anak-anak dalam proses mencari jati diri, mengeksplorasi hal baru dalam kehidupannya. Selain itu, anak juga sedang membutuhkan pengakuan atas eksistensi dirinya. Kami ingin segala potensi yang anak miliki itu bisa berkembang lebih baik lagi dalam komunitas yang lebih besar.
Ada tantangan bagi anak untuk menaklukkan diri sendiri, menghadapi semua ketakutan menjalani hidup lepas dari orang tua. Dalam kondisi ini, ia akan belajar dan menemukenali emosi diri, baik yang positif maupun negatif. Jika rindu, biarkan anak untuk menangis. Pun sebaliknya, bila sedang bahagia biarkan ia mengekspresikannya dengan sesuka hati.
Alasan berikutnya, anak juga akan belajar membangun pelekatan dan kedekatan emosi selain pada orang tua serta keluarga. Ada figur pengasuh pesantren, Kiai dan Ibu Nyai yang harus ia hormati. Ustadz dan ustadzah yang mendampingi. Teman sebaya sesama santri, yang setiap hari bersama dari bangun tidur hingga tidur lagi.
Selain itu, alasan lainnya anak juga akan belajar manajemen konflik, bagaimana ia mengatasi segala kesulitan-kesulitan dalam kehidupannya. Membangun komunikasi dengan teman sebaya, dan pengasuh pesantren yang tentu akan berbeda caranya. Bagaimana ia harus memperlakukan dan menghormati orang lain. Bagaimana ia mengatasi kemarahan, atau kesedihan saat tinggal jauh dari orang tua. Karena kecerdasan emosional ini, menurut kami sangat penting sebagai bekal anak di masa depan.
Terakhir, alasan yang paling penting bagi kami adalah mengurangi pemakaian gawai, internet, media sosial dan segala pernak-perniknya. Meski ketika memegang ponsel tak melulu harus kita tanggapi negatif, namun dengan aturan anak tidak boleh membawa gawai di pesantren membuat kami semakin tenang agar anak lebih fokus untuk belajar dan mengaji.
Meski ada aturan melarang santri membawa ponsel, kami masih tetap bisa berkomunikasi dan mengetahui kegiatan apa saja yang sedang ananda jalani. Karena seluruh orang tua dan wali santri baru tergabung dalam Whatshap Grup, sehingga setiap kali ada informasi dari pengurus kami langsung mengetahuinya. Bahkan para pengurus membagikan dokumentasi foto dan video, kegiatan apa saja bagi santri baru yang sedang berjalan di pesantren.
Alasan Boleh Beda, Kepentingan Anak yang Utama
Alasan-alasan mengapa kami memasukkan anak ke pesantren, tentu setiap orang tua berbeda berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya masing-masing. Tetapi saya percaya, keputusan apapun yang orang tua ambil untuk anaknya, itu adalah yang terbaik.
Dengan catatan, orang tua mendengarkan pendapatnya, dan tidak mengabaikan hak anak yang tetap membutuhkan cinta, kasih sayang dan perhatian. Maka ketika memasukkan anak ke pesantren bukan lantas menyerahkannya begitu saja, dan selesai tugas kita sebagai orang tua. Tidak begitu ferguso! Meski terpisah jauh, anak-anak masih tetap harus dalam pengawasan orang tua.
Sebagai penutup, untuk lebih meyakinkan diri sendiri, dan tentu anda para orang tua yang masih galau dengan keputusan nanti, apakah memasukkan anak ke pesantren atau mendidik sendiri di rumah, saya kutip firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 9 dan At-Tahrim ayat 6:
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An-Nisa:9)
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman. Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka, dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At-Tahrim : 6) []