Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu, saya melihat unggahan seorang perempuan di Facebook—menampilkan perubahan tubuhnya yang sangat kontras sebelum dan setelah melahirkan. Dalam foto terbaru, Ia berdiri dengan tubuh yang tidak lagi sesuai dengan iklan produk pelangsing.
Wajahnya lelah, seperti habis bertarung dengan tiga naga emosional—ASI, begadang, dan popok. Tapi damai. Seperti purnama yang tahu ia tidak akan pernah jadi matahari, tapi tetap bersinar karena Tuhan memberinya tugas bercahaya. Sebelumnya, ia adalah perempuan dengan tubuh seperti mitos Yunani. Ramping, menawan, dan selalu tampil on point dalam setiap foto yang ia sajikan.
Komentar-komentar penuh semangatpun berdatangan: “Masya Allah, strong mama!” “Keren banget tetap semangat!” Tapi di tengah parade cinta itu, datanglah satu komentar dari makhluk astral yang mungkin terlalu sering mandi bunga ego: “Makanya perempuan jangan malas. Alasannya KB, padahal malas saja merawat diri.”
Satu komentar yang cukup menohok dan mewariskan luka bagi banyak perempuan yang pernah atau sedang berada di fase serupa. Luka yang terwariskan dari budaya –terbiasa menilai perempuan dari penampilannya. Luka yang cukup saya pahami karena saya pun pernah dan sedang berada di fase yang sama. Tubuh yang terlupakan, berubah, ritme hidup berubah, cinta dan lelah bertumpang-tindih.
Tentu saja bukan itu yang ingin panjang lebar saya keluhkan di sini. Namun objektifikasi tubuh perempuan yang melahirkan banyak standar dan stigmatisasi menjadi beban tradisi yang kita tumpukan di atas pundak perempuan. Mengapa tubuh perempuan, setelah segala pengorbanan, justru kita adili?
Makna Tubuh Perempuan
Tulisan ini ingin menggeser makna tubuh perempuan agar tidak terus menjadi halaman belakang dalam kitab peradaban yang hanya tertulis oleh suara standar dan kontrol patriarkhi.
Kita akui atau tidak, tubuh perempuan dalam banyak kebudayaan selalu menjadi objek: terkontrol, dinilai, dikomentari. Sejak remaja, perempuan diajarkan untuk tampil cantik, langsing dan pandai merawat diri.
Setelah menikah dan menjadi ibu, standar itu tidak turun—justru bertambah. Harus tetap memesona, meski tubuh sudah melalui kehamilan, persalinan, dan menyusui. Dalam banyak kasus, kelelahan perempuan dianggap sebagai kegagalan pribadi. Bukan sebagai konsekuensi struktural dari beban ganda yang terus-menerus.
Bandingkan dengan laki-laki. Perubahan tubuh mereka jarang dikomentari dengan cara yang merendahkan. Bahkan, perut buncit atau rambut menipis bisa jadi bahan candaan yang tidak melukai. Sebab, tubuh laki-laki tidak pernah menjadi komoditas publik seperti halnya tubuh perempuan.
Feminisme Spiritual
Salah satu yang saya gunakan dalam melihat fenomena tubuh yang terlupakan ini adalah dengan menggunakan pendekatan feminisme spiritual. Yakni sebagai lensa alternatif dalam memaknai tubuh perempuan. Dalam pandangan ini, tubuh perempuan dianggap sebagai sumber kebijaksanaan, kekuatan kreatif, dan bahkan perjumpaan spiritual dengan Tuhan.
Carol Christ menyatakan bahwa pengalaman tubuh perempuan—terutama dalam melahirkan, menyusui, dan merawat—adalah bentuk paling mendalam dari pengalaman religius.(1) Saya bahkan merasa seperti utusan suci di ruang menyusui, menggenggam kehidupan sambil bergulat dengan nyeri punggung dan popok bocor. Ketubuhan bukanlah aib yang harus kita sembunyikan, melainkan bagian yang menyatu dengan pengalaman ilahi yang layak kita hormati.
Pendekatan ini juga sejalan dengan pemikiran Asma Lamrabet yang menyerukan pembacaan spiritual atas pengalaman perempuan. Ia menekankan bahwa tubuh perempuan tak seharusnya menjadi objek moral semata, tetapi harus dimuliakan sebagai bagian dari pengalaman penghambaan dan eksistensi insani yang setara.(2)
Dalam Islam sendiri, tubuh bukan sekadar bentuk fisik, melainkan amanah dari Allah. Ia bukan untuk terpamerkan apalagi kita hakimi, tetapi untuk kita jaga dan kita hargai, karena fungsinya dalam mengabdi kepada kehidupan. Tubuh adalah wadah rahmat, bukan sekadar barang keramat yang harus kita audit.
Salah satu yang dapat kita jadikan rujukan sebagai ladang spiritual kita adalah Sayyidah Maryam, di mana tubuhnya memikul kehamilan yang penuh stigma dan kesendirian. Dalam QS Maryam ayat 23–26, disebutkan bagaimana rasa sakit yang dideritanya membuatnya berkata, “Alangkah baiknya aku mati sebelum ini.”
Namun Allah menyuruhnya mengguncang pohon kurma dan menjanjikan air di bawah kakinya. Kisah ini bukan hanya tentang mukjizat, tetapi juga tentang tubuh perempuan yang bekerja dalam senyap—dan justru di sanalah letak kehormatannya.
Saksi Kekuatan dan Pertahanan
Tubuh perempuan adalah saksi kekuatan dan pertahanan. Ia menyimpan luka-luka kecil yang tidak tampak di mata, tapi nyata dalam kerja harian: menyusui di malam hari, menenangkan anak yang demam, mengurus rumah sambil tetap bekerja dan mengajar. Stretch mark, rambut rontok— alih-alih sebagai sarat lalai, mari kita maknai ulang sebagai ikhlas dan kasih yang tak menuntut pamrih.
Karena itu, narasi tentang tubuh perempuan harus kita ubah. Tubuh perempuan tidak gagal hanya karena tidak kembali “seperti dulu.” Tubuh perempuan layak kita hormati justru karena ia telah berubah demi kehidupan. Kita harus berhenti memuja standar kecantikan yang tak manusiawi, dan mulai merayakan tubuh sebagai rumah kasih yang penuh ketangguhan.
Kepada setiap perempuan yang sedang bergulat dengan tubuhnya sendiri, mari dengarkan; tubuhmu tidak rusak. Ia sedang bekerja dan menjalnkan pengabdiannya.
Dan kepada masyarakat: mari kita jaga lisan kita. Jangan lagi menghakimi tubuh yang tak kita pahami perjuangannya. Sebab penghormatan spiritual bukan soal siapa yang tampil paling cantik, tapi siapa yang paling setia mencintai, memberi, dan bertahan.
Karena pada akhirnya, seperti sabda Nabi ﷺ: “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupa dan harta kalian, tetapi melihat pada hati dan amal kalian.”(3)
Perempuan; Rumah yang Menyimpan Kehidupan
Tentu tulisan ini tidak lahir dari ruang aman penuh afirmasi harian. Ia lahir dari reruntuhan jam tidur, dari puing-puing waktu mandi yang dicuri, dari secangkir kopi yang belum diganti sejak kemarin pagi.
Tulisan ini saya tujukan sebagai pengingat—untuk diri sendiri dan siapa pun yang pernah merasa kurang karena tubuh yang belum kembali seperti dulu, atau wajah yang memancar kelelahan. Kita tidak kurang karena kita sedang menjelma menjadi rumah yang menyimpan kehidupan.
Jika lelah. Duduklah sebentar. Bersandar. Ambil waktu untuk meregangkan punggung dan hati. Bahkan rumah pun butuh jeda—untuk tertiup angin, disinari matahari, atau sekadar menonton langit tanpa harus menampung hujan. Wallahu a’lam. []
Catatan Kaki:
- Carol P. Christ, Rebirth of the Goddess: Finding Meaning in Feminist Spirituality (New York: Routledge, 1997), 161–175.
- Asma Lamrabet, Women and Men in the Qur’an: An Alternative Reading (Herndon, VA: IIIT, 2016), 12–17.
- HR Muslim, No. 2564.