Mubadalah.id – Fenomena makanan seksis berbentuk alat kelamin atau mengandung unsur seksualitas telah menjadi tren yang mengkhawatirkan dalam industri kuliner Indonesia. Seperti terlihat pada produk es krim, kue, dan makanan ringan yang secara eksplisit menampilkan bentuk-bentuk vulgar.
Komodifikasi seksualitas dalam produk makanan ini mencerminkan bagaimana masyarakat konsumtif modern mengeksploitasi tubuh dan seksualitas sebagai ‘alat pemasaran’.
Tren Makanan Seksis
Kendati Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah mengatur hak-hak konsumen, namun belum ada regulasi spesifik yang mengatur tentang konten seksis dalam produk makanan. Kekosongan regulasi ini diperparah dengan tidak adanya standar atau kode etik industri makanan. Di mana yang secara eksplisit melarang atau mengatur bentuk representasi seksual dalam produk makanan.
Mengkaji konteks perlindungan konsumen, BPOM sebagai lembaga pengawas lebih berfokus pada keamanan dan kualitas produk daripada aspek moralitas atau kesusilaan. Celah hukum tersebut mengakibatkan produsen makanan seksis dapat beroperasi tanpa menghadapi risiko hukum yang signifikan. Terutama di bawah regulasi perdagangan atau industri.
Fenomena ini semakin memprihatinkan ketika produk-produk tersebut dengan mudah terakses oleh berbagai kalangan usia. Yakni melalui platform digital dan media sosial. Tinjauan perspektif sosiologis, fenomena ini mencerminkan degradasi nilai-nilai moral dan sosial dalam masyarakat modern.
Lebih jauh lagi, praktik ini menunjukkan bagaimana industri kuliner telah menjadi arena baru dalam melanggengkan budaya patriarki dan objektifikasi. Tanpa adanya regulasi yang tegas dan komprehensif, fenomena makanan seksis berpotensi terus berkembang dan menciptakan dampak sosial yang lebih luas.
Telaah Perspektif Gender
Teori objek seksualisasi Laura Mulvey tentang “male gaze” menunjukkan bagaimana representasi seksualitas dalam produk makanan mencerminkan pandangan dan selera laki-laki yang dominan dalam masyarakat patriarkal. Dalam konteks makanan berbentuk alat kelamin pria, fenomena ini tidak hanya memperkuat stereotip gender tetapi juga menormalisasi eksploitasi seksualitas sebagai alat pemasaran komersial.
Teori simulakra Baudrillard memperkuat analisis ini dengan menunjukkan bagaimana seksualitas menjadi objek yang diproduksi dan direproduksi secara massal. Tujuannya untuk kesenangan visual atau simbolik dalam masyarakat konsumtif. Objektifikasi seksual dalam produk makanan ini menciptakan dampak yang lebih luas pada persepsi generasi muda. Terutama Generasi Z yang terpapar konten seksis melalui media sosial dan platform digital.
Studi empiris menunjukkan bahwa sikap terhadap iklan yang mengandung unsur seksis memiliki pengaruh langsung dan positif terhadap niat pembelian. Terutama dalam iklan yang menampilkan seksisme bermusuhan. Fenomena ini semakin mengkhawatirkan ketika kita lihat dari perspektif teori perubahan sosial yang menunjukkan degradasi nilai-nilai moral dalam masyarakat modern.
Berbicara konteks budaya misoginis, produk makanan seksis memperkuat normalisasi representasi seksual yang merendahkan martabat manusia. Kendati sejumlah riset menunjukkan adanya pergeseran dalam perilaku konsumen dan kesadaran gender. Namun dampak patriarki dalam industri makanan masih sangat kuat.
Teori konsumerisme Ritzer mengelaborasi bahwa proses rasionalisasi dan konsumsi massal yang penikmat produk ini lakukan, telah menciptakan budaya yang berorientasi pada kepuasan cepat dan hiburan instan. Termasuk dalam bentuk makanan seksis.
Fenomena ini produsen manfaatkan agar lebih fokus pada berapa banyak produk bisa terjual dan seberapa viral produk tersebut di media sosial, dibanding memperhatikan nilai gizi atau manfaat bagi konsumen.
Kepuasan pelanggan mereka ukur dari matriks yang bisa terhitung seperti jumlah pembelian berulang atau kampanye produk di media sosial. Analisis gender dalam konteks ini menunjukkan bahwa kita memerlukan transformasi struktural dalam cara industri kuliner merepresentasikan dan memasarkan produknya.
Tinjauan Kaidah Fikih Islam
Fenomena makanan seksis bertentangan dengan beberapa kaidah fundamental dalam perspektif fikih Islam. Terutama kaidah “dar’ul mafāsid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih.” Di mana kaidah ini menegaskan bahwa mencegah kerusakan harus kita dahulukan daripada mengambil manfaat.
Prinsip perlindungan martabat manusia (hifdz al-‘irdh) dalam maqashid syariah menjadi landasan kuat untuk menolak segala bentuk eksploitasi tubuh manusia, termasuk dalam produk makanan. Islam secara tegas melindungi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang Allah muliakan. Sebagaimana tersebutkan dalam berbagai ayat Al-Quran dan hadis yang menekankan pentingnya menjaga kehormatan manusia.
Kaidah “lā dharar wa lā dhirār” (tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain) juga menjadi dasar untuk menolak produk-produk yang dapat merusak moral dan etika sosial. Fatwa-fatwa kontemporer dari berbagai ulama dan lembaga fatwa telah menegaskan bahwa produk yang mengeksploitasi seksualitas untuk kepentingan komersial termasuk dalam kategori munkar yang harus kita cegah.
Menyoal konteks perlindungan konsumen muslim, produk makanan tidak hanya harus halal secara zat tetapi juga thayyib (baik) dalam segala aspeknya. Termasuk dalam hal bentuk dan penampilannya. Para ulama kontemporer seperti Yusuf Al-Qaradhawi menekankan bahwa konsep halal-haram dalam Islam mencakup pula aspek etika dan moral dalam produksi dan pemasaran produk.
Implementasi hukum Islam dalam konteks ini menuntut adanya regulasi yang tegas untuk melindungi konsumen muslim dari produk-produk yang bertentangan dengan syariah. Perspektif fikih juga menekankan peran penting otoritas (wilayatul hisbah) dalam mengawasi dan mencegah kemungkaran di ruang publik, termasuk dalam hal produk makanan yang tidak sesuai dengan norma Islam. Hal ini sejalan dengan prinsip “amar ma’ruf nahi munkar” yang menjadi kewajiban kolektif umat Islam untuk menjaga moralitas publik.
Transformasi Sosial dan Reformasi Pengaturan
Transformasi sosial untuk mengatasi fenomena makanan seksis membutuhkan pendekatan komprehensif yang melibatkan reformasi regulasi dan penguatan kesadaran publik. Satjipto Rahardjo menekankan pentingnya hukum progresif yang responsif terhadap kebutuhan sosial, termasuk dalam melindungi masyarakat dari degradasi moral melalui produk konsumsi.
Kekosongan regulasi di tingkat kementerian perdagangan dan industri menuntut revisi UU Perlindungan Konsumen agar secara eksplisit melarang produk makanan berbau pornografi atau melanggar norma kesusilaan.
Standar etika industri yang lebih ketat dan mekanisme sanksi yang efektif perlu kita lakukan guna mendorong penguatan peran BPOM dan Kementerian Perdagangan dalam pengawasan produk makanan. Kolaborasi antara pemerintah, ulama, dan aktivis gender dapat menciptakan sistem pengawasan yang lebih komprehensif terhadap produk-produk yang merendahkan martabat manusia.
Gerakan sosial berbasis komunitas juga berperan penting dalam menciptakan tekanan publik yang dapat mendorong perubahan kebijakan dan perilaku produsen. Penguatan literasi konsumen dan kesadaran gender perlu menjadi bagian integral dari upaya transformasi sosial ini. Pembentukan dewan etika industri makanan yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan dapat membantu mengawasi dan mengevaluasi produk-produk yang beredar di pasaran.
Degradasi Moral dalam Masyarakat Konsumtif
Dukungan terhadap reformasi regulasi tersebut dapat kita lakukan melalui kampanye publik yang masif untuk mengubah persepsi masyarakat tentang eksploitasi seksualitas dalam produk konsumsi. Transformasi sosial yang kita harapkan adalah terciptanya masyarakat yang lebih kritis dan beretika. Terutama dalam mengonsumsi produk makanan sekaligus mendorong industri untuk lebih bertanggung jawab secara moral dan sosial.
Fenomena makanan seksis mencerminkan degradasi moral dalam masyarakat konsumtif yang membutuhkan respons komprehensif. Baik dari aspek regulasi maupun kesadaran sosial-religius.
Kendati UU Pornografi dan berbagai regulasi terkait belum memberikan kontrol langsung terhadap produk makanan berbau seksis, warga sipil khususnya umat Islam dapat berperan aktif dalam melakukan pengawasan sosial dan penolakan terhadap produk-produk yang merendahkan martabat manusia.
Melalui panggilan moral tersebut, kita perlu memahami bahwa mengonsumsi produk makanan tidak hanya tentang status halal-haram. Tetapi juga mencakup aspek thayyib (baik) yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan dan akhlak.
Gerakan penolakan terhadap produk makanan seksis dapat kita mulai dari kesadaran individu hingga tekanan kolektif. Yakni melalui organisasi masyarakat dan lembaga keagamaan yang berkomitmen menjaga moralitas publik.
Kita memerlukan sinergi antara kesadaran konsumen muslim, peran ulama dalam memberikan fatwa dan panduan etis. Selain itu advokasi untuk mendorong regulasi yang lebih tegas dalam melindungi masyarakat dari produk-produk yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan kemanusiaan. []