Mubadalah.id – Masjid Istiqlal Jakarta sejak awal Oktober 2025 tak hanya menjadi pusat ibadah, tetapi juga ruang perjumpaan lintas budaya dan agama. Selama sepekan, 1–7 Oktober, yayasan Bani Abdurrahman Wahid bersama Soka Gakkai Indonesia menghadirkan pameran “Gus Dur dan Daisaku Ikeda untuk Kemanusiaan: Dialog Peradaban untuk Toleransi dan Perdamaian”. Pameran ini menampilkan jejak pemikiran dua tokoh besar yang sejak lama menyerukan pentingnya toleransi dan perdamaian dunia.
Ketua Pelaksana, Inayah Wulandari Wahid, menegaskan bahwa kegiatan ini bukan sekadar peringatan rutin. Pameran yang berlangsung 1–7 Oktober 2025 itu didedikasikan untuk menandai 15 tahun lahirnya buku Dialog Peradaban, hasil percakapan Gus Dur dan Ikeda yang kala itu sama-sama dikenal sebagai tokoh perdamaian lintas agama.
“Ini sebenarnya salah satu wasiat Gus Dur dan Ikeda. Buku ini harus terus disebarkan karena berbicara soal kondisi dunia, dan relevansinya justru semakin terasa hari ini,” ujar Inayah dalam keterangannya di Jakarta.
Pertemuan Gus Dur dan Ikeda terjadi 15 tahun silam. Dua sosok yang datang dari latar belakang agama berbeda itu bertemu bukan untuk mencari perbedaan, melainkan membangun kesepahaman. Dari dialog intensif itulah lahir buku Dialog Peradaban yang menjadi fondasi gerakan toleransi dan perdamaian hingga kini.
Menurut Inayah, isi buku tersebut tidak sekadar catatan historis, melainkan refleksi abadi tentang bagaimana umat manusia bisa menjaga keberagaman dalam bingkai harmoni.
“Banyak isu yang mereka bahas tetap relevan dengan persoalan hari ini. Mulai dari sulitnya mendirikan rumah ibadah, konflik yang berulang, hingga penyakit sosial yang saling berkelindan,” jelasnya.
Pameran dengan Tiga Wajah
Pameran ini tidak berhenti di Istiqlal. Setelah rangkaian pertama, kegiatan akan berlanjut ke Makara Art Center Universitas Indonesia dan Pusat Kebudayaan Soka Gakkai Indonesia. Pemilihan lokasi, kata Inayah, bukan tanpa makna.
“Kalau dihubungkan dengan isi buku, ketiganya mewakili berbagai aspek. Istiqlal melambangkan interfaith, UI melambangkan peran akademik dan ilmiah, sementara Pusat Kebudayaan Soka Gakkai merepresentasikan pertukaran budaya lintas bangsa,” ujarnya.
Rangkaian kegiatan mencakup pameran visual tentang kehidupan Gus Dur dan Ikeda, talkshow serta bedah buku, hingga pertunjukan seni yang mempertemukan budaya Jepang dan Indonesia. Audiobook Dialog Peradaban juga resmi diluncurkan, menjangkau publik yang lebih luas, termasuk generasi muda yang akrab dengan medium digital.
Lebih dari sekadar menonjolkan sosok Gus Dur dan Ikeda sebagai pemimpin besar, Inayah berharap publik bisa melihat keduanya sebagai manusia biasa.
“Mereka bukan superhuman yang tidak tersentuh. Justru sebaliknya, mereka bagian dari kita semua. Kalau mereka bisa mengambil keputusan yang memunculkan perdamaian, berarti kita pun bisa,” tuturnya.
Narasi ini diperkuat dalam pameran melalui potongan kisah keseharian, dokumentasi, dan kutipan-kutipan yang menunjukkan sisi humanis kedua tokoh. Keduanya ditampilkan tidak hanya sebagai pemimpin agama dan pemikir global, melainkan sebagai manusia yang dekat dengan kehidupan nyata masyarakat.
Konteks Indonesia saat ini membuat pesan buku Dialog Peradaban terasa lebih mendesak. Inayah menyebut problem pendirian rumah ibadah, diskriminasi berbasis keyakinan, hingga polarisasi politik berbaju agama masih menjadi isu aktual.
“Buku itu bicara semua itu. Jadi ketika kita lihat kondisi sekarang, seolah-olah percakapan 15 tahun lalu itu kita buat untuk hari ini,” tambahnya.
Kehadiran pameran di ruang publik seperti Istiqlal juga menjadi simbol penting. Istiqlal, sebagai masjid nasional, kami pilih bukan hanya karena kapasitasnya. Tetapi karena makna simboliknya sebagai ruang perjumpaan umat lintas agama.
Ruang Bagi Generasi Muda
Selain menampilkan jejak Gus Dur dan Ikeda, kegiatan ini memberi ruang bagi generasi muda untuk mengenal nilai toleransi lewat jalur kreatif. Pertunjukan seni, diskusi interaktif, dan pameran visual dikemas dengan sentuhan yang dekat dengan gaya hidup anak muda.
Di antara pengunjung, tampak banyak pelajar, mahasiswa, hingga aktivis komunitas yang antusias mengikuti acara. “Inilah generasi yang kita harapkan bisa melanjutkan warisan pemikiran Gus Dur dan Ikeda. Karena pada akhirnya, toleransi bukan soal masa lalu, tapi bekal masa depan,” ucap Inayah.
Pameran Dialog Peradaban menjadi semacam panggilan untuk kembali ke nilai-nilai dasar yang pernah Gus Dur dan Ikeda perjuangkan: kemanusiaan, toleransi, dan perdamaian lintas batas. Di tengah situasi dunia yang semakin sarat konflik, pameran ini mengingatkan bahwa perbedaan tidak seharusnya melahirkan permusuhan. Melainkan peluang untuk memperkaya kemanusiaan bersama.
“Kalau Gus Dur dan Ikeda bisa bertemu, berdialog, dan melahirkan gagasan besar dari perbedaan mereka, bukankah kita juga bisa melakukannya?” pungkas Inayah. []