Mubadalah.id – Selain cerdas, Fatimah As-Samarqandi adalah perempuan dengan keelokan rupa yang menawan banyak orang. Namanya bagai “bunga desa”, bahkan lebih dari itu “bunga bangsa” yang berarti perempuan paling cantik di negara itu.
Dikisahkan bahwa raja-raja di wilayah Turki dan Arabia silih berganti datang menemui ayahnya untuk meminang putrinya bagi para putra mahkota mereka. Akan tetapi, tidak satu pun yang diterima.
Syekh Alauddin Muhammad bin Ahmad, ayah Fatimah, kemudian menawarkan putrinya kepada Alauddin al-Kasani, santrinya yang cerdas dan rajin ibadah.
Namun, di satu sisi, Alauddin justru merasa bahwa ia tidaklah pantas menikahi putri gurunya yang sangat banyak orang hormati. Apalagi, ia hanya santri yang miskin. Di sisi lain, ia merasa tidak etis menolak permintaan guru.
Akhirnya, Syekh Alauddin Muhammad mengambil keputusan bahwa ia hanya mau menikahkan putrinya jika Alauddin al-Kasani telah rampung menulis syarh (komentar) atas kitab At-Tuhfah al-Fuqaha.
Alauddin al-Kasani menyanggupinya, bukan hanya karena gurunya yang meminta. Melainkan karena, lebih dari segalanya, kecantikan dan kecerdasan As-Samarqandi. Maka, ia segera menulisnya.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Alauddin al-Kasani mampu menyelesaikan karyanya yang ia beri judul Badai’ ash-Shanai’ fi Tartib asy-Syarai’ dan terdiri atas tujuh jilid, masing-masing 450 halaman.
Dan, kitab inilah yang kemudian menjadi mahar atau maskawin si santri miskin untuk menyunting putri cantik-cerdas gurunya itu.
Para ulama sezamannya mengatakan bahwa Alauddin al-Kasani adalah santri yang sangat beruntung karena mendapat dua permata nan elok: Fatimah dan Syarh Kitab Tuhfah.
Fatimah as-Samarqandi wafat di Kota Aleppo, Suriah, pada tahun 581 H/1185 M. Dan, ia dimakamkan di pemakaman orang-orang shalih. Kuburannya kita kenal dengan sebutan “Kuburan Perempuan dan Suaminya”. []