Mubadalah.id – Jika merujuk pendapat para ulama Madzab Hanafi tentang masturbasi atau onani. Maka beliau berpendapat sama, bahwa masturbasi atau onani pada dasarnya adalah haram.
Akan tetapi, perbedaannya dengan pendapat pertama, mereka membolehkan, bahkan bisa wajib, untuk melakukan masturbasi atau onani dalam keadaan tertentu di mana ia bisa terjerumus dalam tindakan keharaman yang lebih besar.
Dengan demikian, hukum masturbasi atau onani menurut pendapat kedua ini haram dalam sebagian keadaan dan mubah atau wajib dalam sebagian keadaan yang lain.
Dihukumi haram tentu saja jika perbuatan ini hanya untuk membangkitkan syahwat semata (istijlâb al-syahwat wa itsarâratihâ). Dan hukumnya bisa menjadi wajib, jika tidak melakukannya, ia merasa kuatir akan berbuat zina (wuqû’ fiy al-zinâ).
Untuk hukum yang terakhir ini, mereka mengikuti suatu kaidah fiqh bahwa, idzâ ta’âradla mafsadatâni rû’iya a’dhamuhumâ dlirâran bi irtikâbi akhaffihimâ
إذ ا تعارض مفسدتان روعي أعظمهما ضرارا بارتكاب أخفهما
Artinya: “Jika bertentangan dua bahaya, maka dipinggirkan bahaya yang lebih besar dengan melaksanakan bahaya yang lebih ringan.”
Kaidah ini secara umum mengajarkan bahwa jalan keluar terbaik adalah solusi yang berisiko terkecil. Kaidah ini dapat kita gunakan ketika kita berhadapan dengan dua macam keadaan yang sama-sama bahaya dan merugikan.
Tindakan yang harus ia pilih adalah menghindari bahaya yang lebih besar dengan menempuh bahaya yang lebih kecil di antara dua keadaan tersebut (irtikâb akhaff al-dlararayn).
Itulah sebabnya dalam keadaan tertentu hukum masturbasi bisa harâm sebagaimana asalnya, bisa juga mubah dan wajib dalam keadaan yang lain.
Contohnya, jika nafsu syahwat bangkit, padahal tidak mempunyai istri yang dapat menjadi tempat penyaluran seksual yang sah. Tetapi tidak sampai kuatir akan berbuat zina. Maka hukumnya mubah melakukan masturbasi atau onani, dengan tujuan untuk meredakan libido atau syahwat tadi. []