• Login
  • Register
Sabtu, 5 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Mekanisme Penyelesaian Pelecehan Seksual di Indonesia

Kita seakan tak kehabisan cerita, jika membahas kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi di lingkup sekolah

Reka Kajaksana Reka Kajaksana
27/08/2021
in Publik
0
Pelecehan Seksual

Pelecehan Seksual

519
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Belakangan ini Indonesia kembali digegerkan oleh temuan kasus kekerasan seksual dan eksploitasi ekonomi yang dilakukan oleh pemilik sekolah terhadap murid-muridnya. Puluhan anak menjadi korban, Sekolah Menengah Atas Selamat Pagi Indonesia (SMA SPI) Kota Batu, dibalik gemerlap citra yang dibagikan pada publik, ia menyimpan banyak keburukan.

Banyaknya korban, menarik simpati dari pelbagai kalangan. Kasus ini, kemudian dikawal masyarakat dengan seksama, apalagi, korban-korban tersangka JE adalah anak-anak yatim piatu. Kisah sedih korban terus bergulir seiring berjalannya waktu. Meski telah mengajukan pelbagai pembelaan JE, tetap berada di ujung tanduk, dengan didampingi oleh Arist Merdeka Sirait secara langsung, kasus kekerasan seksual ini masih dalam tahap pemeriksaan.

Fenomena seperti ini sudah pernah terjadi sebelumnya, ingatan kita masih segar dengan apa yang menimpa puluhan santri di Kota Jombang, pelecehan seksual yang melibatkan pemuka agama di sebuah pondok pesantren itu juga menarik atensi publik. Meski kasusnya kini timbul tenggelam, namun pelaku masih berkeliaran di pondok pesantren tersebut.

Atau haruskah kita kembali pada pemberitaan media terhadap sekolah berskala internasional di Jakarta? JIS, kasus kekerasan seksual yang membuat siapapun bisa terkejut, jika membaca ulang apa yang telah terjadi pada anak-anak di sana.

Kita seakan tak kehabisan cerita, jika membahas kekerasan dan pelecehan seksual yang terjadi di lingkup sekolah. Miris, namun inilah kenyataannya, bahwa kita tak punya mekanisme penanganan kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang layak, yang bisa melindungi siapapun termasuk anak-anak.

Baca Juga:

Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

Tawa yang Menyakiti; Diskriminasi Gender Di Balik Humor Seksis

Kekerasan Seksual Bisa Dicegah Kalau Islam dan Freud Ngobrol Bareng

Kasus-kasus di atas, adalah cerminan, bahwa siapapun bisa jadi korban, tak peduli bagaimana penampilanmu, predator masih akan bisa memangsa. Harusnya, dari banyaknya kasus pelecehan seksual yang terjadi di lingkup sekolah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tak layak berkomentar “Sulit” dalam membahas isi, dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pelecehan dan Kekerasan Seksual (RUU PKS).

Kabar buruk lain adalah, seperti sebuah ritual hiatus yang akan selalu diulang walaupun tidak ada yang menginginkannya, sebuah kasus pelecehan seksual dan kekerasan seksual harus menjadi viral terlebih dahulu, agar bisa mengambil simpati khalayak, dan mendesak penegak hukum agar segera menuntaskan perkara.

Tidak viral maka tidak nyata, seringkali, dalam kasus kekerasan dan pelecehan seksual, kesaksian korban sering dipertanyakan oleh publik, bahkan penegak hukum. Meragukan keterangan korban pelecehan sama saja mengantarkan ia pada jurang kematian.

Dalam kasus pelecehan seksual misalnya, penegak hukum kita, masih belum memiliki sistem pendidikan yang ramah gender, dan berpihak pada korban. Pembuktian tindak pelecehan seksual juga sukar dilaksanakan, pasalnya jika hanya keterangan dan tak berbekas pada tubuh, kasus akan sulit dilanjutkan.

Meski belakangan ini, penyidik sudah menggunakan hasil tes psikologi korban untuk menjadi acuan, bahwa korban dirugikan, akan tetapi proses ini juga masih mengalami kekurangan. Pasalnya dalam praktik tes psikologi pasca tragedi, sangat sulit untuk dilakukan.

Rata-rata, korban masih sangat terpukul dan tidak bisa serta merta sadar atau bahkan ingat tentang prosedur yang harus ia lalui untuk melaporkan pelaku, karena guncangan mental yang tak main-main dampaknya. Jika korbannya laki-laki, korban justru diasumsikan menikmati tragedi, jika  perempuan, besar kemungkinan kesaksian korban diragukan, banyak faktor yang mempengaruhi.

Kondisi seperti ini tak lain karena dogma yang terjadi, dan terus diproduksi oleh media massa dan masyarakat. selain itu nilai tawar perempuan sangat lemah di tengah masyarakat kita, perempuan harus berkelompok, agar terdengar suaranya. Perempuan tidak dianggap seperti manusia, yang memiliki hak untuk didengar dan berbicara. Dalam institusi keagamaan, Perempuan adalah objek pelengkap kehidupan. bukan subjek.

Kenyataan ini sama getirnya, ketika media massa kita sebenarnya adalah mesin produksi misoginis, dimana perempuan hanya dipandang sebagai objek. Tubuh perempuan dengan mudah dieksploitasi, perempuan dihilangkan hasil pemikirannya, dan diragukan pengalamannya.

Serentak subordinasi terhadap perempuan ini kemudian diglorifikasi oleh tokoh-tokoh agama, yang menempatkan penilaian bahwa perempuan adalah sumber masalah. Ketika seorang perempuan dilecehkan atau diperkosa, itu dinilai karena perempuanlah yang menjadi sumber masalahnya.

Ritmenya selalu sama, dan pada akhirnya akan menyalahkan tindak tanduk perempuan, hingga bagaimana cara ia berjalan, atau bagaimana wangi tubuhnya. Padahal, pelecehan tak hanya terjadi pada tubuh perempuan. Dalam kasus SPI dan JIS, anak laki-laki juga menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual.

Minimnya literasi masyarakat tentang kesetaraan, mandulnya perlindungan hukum untuk korban, dan lingkup sosial dan agama yang masih menjadi mesin produksi misoginis, menambah penderitaan korban pelecehan seksual.

Namun ada beberapa hal yang bisa kita lakukan, yakni dengan berkoalisi, saling mendukung, untuk mengesahkan RUU PKS. Karena RUU PKS adalah pelindung bagi korban pelecehan seksual, terlepas dari apapun gendernya, atau latar belakangnya.  Kedua, mari perbanyak literasi masyarakat dan gerus pemikiran misogini yang ada di media massa, dengan memproduksi artikel yang berpihak pada kesetaraan. []

Tags: Cegah Kekerasan SeksualGenderkeadilanKekerasan seksualKesetaraanpelecehan seksualRUU PungkasSahkan RUU PKS
Reka Kajaksana

Reka Kajaksana

Penulis buku sastra yang gemar nonton film sambil makan popcorn. Sesekali bicara soal kesetaraan, banyak kali nyindir ketimpangan.

Terkait Posts

Tahun Hijriyah

Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat

4 Juli 2025
Rumah Tak

Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

4 Juli 2025
Kritik Tambang

Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

4 Juli 2025
Isu Iklim

Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

3 Juli 2025
KB sebagai

Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama

3 Juli 2025
Poligami atas

Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

3 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Rumah Tak

    Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Belajar Inklusi dari Sekolah Tumbuh: Semua Anak Berhak Untuk Tumbuh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Belajar Inklusi dari Sekolah Tumbuh: Semua Anak Berhak Untuk Tumbuh
  • Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat
  • Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
  • Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak
  • Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID