Mubadalah.id – Seorang mahasiswa menghadap bimbingan skripsi, sekilas saya baca hasil bab empat yang berisi olah data lapangan dan analisa. Hanya sekilas saya baca dan langsung paham kalau ini dibantu mesin secara lugu.
“Kamu pakai AI apa? Perintah apa yang kamu gunakan? Bagaimana AI kamu gunakan dalam membantu proses olah data lapangan? Temuannya apa, kenapa analisamu nggak mengikuti rencana yang kamu tulis di proposal?”
Lalu saya lanjutkan: “Kalau kamu pakai bantuan AI, tidak polosan begini, tapi ajak diskusi dan mendiskusikan temuanmu di lapangan.” Kalau instruksi kamu umum -generating- (akan dibahas) pasti dia akan beri data random.
Pada lain kesempatan saya berinteraksi dengan AI. Setelah saya mendapatkan responsnya, lalu saya memberikan umpan balik dengan perintah berikut “Jelaskan mekanisme pemodelan respons jawaban anda dari pertanyaan saya.” Lalu dia merespons kembali dan menjelaskan detil prosesnya. (Teman-teman mungkin bisa mencoba prompt di atas).
Dalam beberapa tahun terakhir, teknologi kecerdasan buatan (AI) semakin akrab dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu bentuk paling populer adalah Large Language Model (LLM), seperti ChatGPT, Deepseek, Gemini dan banyak lagi.
Aplikasi ini mampu menjawab pertanyaan, menulis artikel, merangkum bacaan, hingga menerjemahkan teks. Namun, pernahkah kita bertanya: bagaimana cara AI ini memproses permintaan kita? Apa yang sebenarnya terjadi ketika kita mengetik sebuah pertanyaan dan mendapatkan jawaban dalam hitungan detik?
Logika Dasar AI
Agar lebih bijak dalam menggunakan dan memahami AI, penting bagi kita untuk memahami logika dasar yang menjadi cara kerjanya. Secara umum, LLM merespons prompt atau perintah kita melalui tiga pendekatan pemodelan LLM ini. Yaitu: generating, extracting, dan transforming. Ketiganya bekerja secara berbeda tergantung dari jenis dan kerumitan instruksi yang kita berikan.
Generating
Kemampuan AI untuk menciptakan teks baru berdasarkan permintaan. Ketika kita menulis perintah seperti “buatkan cerita,” “jelaskan konsep ini,” atau “berikan saran ide konten,” AI akan menghasilkan respons teks dari nol, seperti seorang penulis yang mengembangkan ide menjadi narasi utuh. Walaupun tetap merujuk pada data yang telah dipelajarinya sebelumnya.
Model ini sangat membantu untuk keperluan menulis kreatif, menjawab pertanyaan terbuka, hingga membuat draft awal dari sebuah gagasan. Namun jika dalam gagasan awal ini ada terselip data, tentunya perlu jeli untuk melakukan verifikasi dari beragam sumber, karena model ini rentan terjerumus pada halusinasi AI.
Extracing
Sementara itu, jika kita bertanya “Siapa tokoh utama dalam cerita ini?” atau “Apa saja poin penting dari artikel ini?” AI tidak lagi mencipta dari awal, melainkan mengekstrak informasi dari data yang ada. Inilah yang disebut sebagai extracting, di mana AI bertugas layaknya detektif data. Yaitu, menyaring, mengutip, dan menyusun kembali informasi secara spesifik.
Proses ini sangat bergantung pada kejelasan data mentah yang kita berikan, karena AI hanya bisa mengungkapkan apa yang ia temukan dari sumber tersebut. Jadi untuk model ini, tentunya kita mesti jeli dengan data yang kita minta untuk mengekstraksikan, salah satunya bisa dengan cara memberikan batasan kategorisasi yang jelas.
Transforming
AI mengubah bentuk teks tanpa mengubah makna isinya. Permintaan seperti “Ringkas paragraf ini,” “Ubah jadi bahasa yang lebih santai,” atau “Terjemahkan ke dalam Bahasa Inggris” merupakan contoh transformasi.
Dalam mode ini, AI bekerja seperti editor atau penerjemah yang menyunting gaya, format, atau bahasa dari teks yang sudah ada. Fungsi ini sangat berguna bagi siapa pun yang ingin mempercepat proses penyuntingan, menyederhanakan bahasa, atau menyusun ulang teks dengan gaya tertentu.
Semoga dengan memahami ketiga cara kerja ini, kita bisa lebih cermat dalam merancang pertanyaan, menyusun data pendukung, dan mengevaluasi hasil yang diberikan AI. Perlu kita ingat bahwa AI tidak bekerja secara ajaib; ia sangat bergantung pada kualitas dan kejelasan instruksi yang kita berikan. Barangkali poin ini yang perlu teman-teman catat baik-baik ya.
AI Menjadi Alat Bantu
Karena itu, penting bagi kita untuk membangun relasi yang etis dengan teknologi ini. AI seharusnya kita gunakan sebagai alat bantu. Bukan sebagai pengganti tanggung jawab intelektual kita. Hindari menggunakan AI untuk hal-hal yang merugikan, seperti menjiplak karya, menyebar hoaks, atau menghindari proses belajar.
Sebaliknya, manfaatkan AI untuk memperluas wawasan, meningkatkan produktivitas, dan mendorong kreativitas. Dengan teknologi AI saat ini meniscayakan kebutuhan AI annotator yang berfungsi menggiring/ ngemong AI supaya tidak melenceng, annotator ini melibatkan sentuhan manusia dari seluruh penjuru dunia.
Menutup catatan ini, dengan memahami logika dasar AI bukan hanya membuat kita lebih mahir menggunakannya, tetapi juga membantu kita menjadi pengguna teknologi yang cerdas dan bertanggung jawab di era Gen AI. Dan bagi generasi digital imigrant macam saya, fenomena ini sungguh di luar nalar kecuali kita terus belajar dan beradaptasi tanpa harus kehilangan makna. []