Judul: Perang Tubuh
Penulis: Ryan Sugiarto
Penerbit: Pustaka Insan Madani
Tahun Terbit: 2013 (cetakan kesepuluh)
Mubadalah.id – Perang Tubuh: Ketika Kecacatan Tidak lagi Menjadi Hambatan berkisah tentang memoar diri Ryan Sugiarto. Buku ini menuturkan perjalanan hidup Ryan dan kedisabilitasannya. Melalui kisahnya, Ryan ingin menunjukkan bahwa tubuh yang berbalut disabilitas tidak selalu nampak muram. Tidak selalu menjadi objek pertolongan (belas kasihan), dan tidak pantas dianggap pasif.
Keterbatasan dalam tubuh justru menguatkan mereka seribu kali lipat untuk menjalani kehidupan di tengah stigmatisasi lingkungan.
“Perang Tubuh” bukan hanya perang pada saraf motoriknya, melainkan perang psikologis dalam jiwanya. Menganggap dirinya tidak berguna. Keputusasaan menghadapi dunia. Lalu, pelan-pelan mulai ada penerimaan diri atas keadaannya.
Diksi “cacat” yang tertulis dalam buku ini mencerminkan konteks zamannya. Istilah tersebut masih muncul karena buku ini diterbitkan sebelum Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 resmi menggantikan diksi itu dengan “disabilitas”. Lewat buku ini, Salingers dapat memahami psikologis disabilitas dalam menghadapi kenyataan hidup: menerima dan menghargai dirinya sendiri.
Ryan Sugiarto dan Awal Disabilitas
Ryan Sugiarto lahir dari keluarga sederhana yang tinggal di pelosok desa Yogyakarta, Watubonang namanya. Desa yang masih belum tersentuh listrik kala itu.
Ryan kecil adalah bertubuh gemuk, pipi tembem, nan aktif. Orang-orang pun menjulukinya Bagong. Dia banyak bergerak kesana kemari. Ibunya mau tidak mau harus menapaki langkahnya sambil menyuapinya dengan cinta dan kasih.
Namun sekitar umur 5 tahun, mendadak demam. Hari demi hari demam tak kunjung turun. Keluarga hanya mengompres dan memeriksanya ke mantri.
Ternyata, usaha tidak membuahkan hasil positif. Kedua orang tuanya membawa ke puskesmas. Di fasilitas pelayanan kesehatan ini, penyakit Ryan baru ketahuan. Dia terserang virus polio menyebabkan kaki kanannya lumpuh.
Hati ayah ibunya hancur berkeping-keping. Mereka berharap anaknya bisa berjalan kembali. Mereka kesana kemari mencari pengobatan supaya anak laki-lakinya sembuh dan berjalan kembali. Harta terkuras habis. Kaki Ryan tidak bisa berfungsi seperti sedia kala.
Meskipun begitu, hati orang tuanya tetap membara untuk memberikan kehidupan anak-anaknya lebih baik. Bapanya pun bertekad untuk menyekolahkan kedua anaknya dan Ryan sampai perguruan tinggi.
“Hanya pendidikan yang Bapak bisa wariskan kepada kalian semua. Tidak tanah berhektar-hektar. Bukan pula tumpukan harta karena Bapak takkan mampu mewariskan itu semua”, pesan Bapak Ryan terhadap anak-anaknya.
Lanjutnya, Bapaknya berkata kepada Ryan, “anakku yang satu ini, walaupun tumbuh dengan berbagai kekurangan, tidak boleh melewatkan pendidikan.”
Psikologis Disabilitas
“Ma, kaki om itu kenapa? Kok jalannya memakai tongkat?” Reaksi seorang anak ketika melihat Ryan. Beberapa bahkan ada yang mengolok-oloknya. “Orang pincang, orang pincang”. Ryan hanya tersenyum. Hati nya teriris-iris. Dia hanya pasrah dengan keadaannya. Emang begitu toh bentuk fisiknya. Mau gimana lagi?
Setiap fase usia mempunyai cara berbeda menghadapi disabilitasnya. Secara Psikologis, mereka yang sejak lahir tidak mempunyai pengalaman hidup seperti non disabilitas. Menikmati pemandangan dengan indra yang berfungsi, berjalan tanpa tongkat, mendengar tanpa alat bantu.
Sementara itu, orang yang mengalami disabilitas di tengah perjalanan kehidupan seringkali mengalami guncangan mental-emosional mendalam.
Pada masa kanak-kanak, kegoncangan psikologis nya bagaikan ombak kecil. Merasa iri tidak bisa bermain, berlari, bersepeda, serta naik pohon. Dalam hati, mungkin terbersit pertanyaan, “Mengapa aku tidak bisa bergerak bebas seperti teman lainnya?”
Luka psikologis lebih mendalam ketika orang yang mengalami disabilitas pada remaja dan dewasa. Merasa dunia tidak adil. Serasa hidup sudah berakhir. Seolah-olah terperangkap dalam sangkar yang menghalangi untuk terbang bebas.
Sementara pada masa usia lanjut, emosinya sudah cenderung stabil. Mereka lebih kuat menerima keadaan dan berdamai dengan kondisi tubuhnya.
Teori Kebutuhan Psikologis Disabilitas
Ryan menciptakan teori kebutuhan psikologis disabilitas mengadopsi dari Abraham Maslow tentang teori hierarchy of needs. Dia membuat piramida terbalik di mana semakin ke atas maka pengaruh kebutuhan semakin besar.
Penerimaan diri. Kebutuhan dasar manusia ini adalah fondasi untuk kekokohan hati dalam menjalani kehidupan. Keadaan psikologis ini mengarah pada sejauh mana disabilitas menentukan sikap atas dirinya sendiri. Apakah disabilitas akan terus bangkit atau justru terpuruk lalu membuat dunianya sendiri?
Penghargaan diri. Jika proses penerimaan diri selesai maka langkah selanjutnya adalah menghargai dirinya sendiri. Ini adalah kekuatan untuk pengembangan kepribadian lebih baik dan kehidupannya berkembang.
Psikologi Penerimaan Sosial. Pada tahap ini psikologi penerimaan sosial membantu disabilitas berinteraksi pada lingkungan tanpa rasa enggan dan malu. Tidak membutuhkan rasa belas kasihan karena dia merupakan bagian dari kehidupan sosial.
Self development. Bersenjata tiga proses di atas, disabilitas dapat mengembangkan dirinya menjadi lebih baik. Mereka tidak putus asa dengan kekurangan yang melekat pada tubuhnya akan tetapi memberdayakan potensinya dengan optimal.
Ryan, contohnya, selalu merasa malu dan minder berjalan dengan tongkat. Namun, dia mampu melawan rasa malu ketika menjadi wartawan junior Gema Bernas. Dia memaksimalkan kemampuannya menjadi seorang wartawan dan penulis. Novel pertamanya berjudul Perang Tubuh.
Inspire to Another People. Disabilitas yang mampu berdiri lagi atas kondisinya, menemukan bakatnya, lalu melatih kemampuannya itu akan menemukan berlian dalam dirinya. Dia bisa menjadi sumber inspirasi orang lain dalam memperjuangkan kehidupannya.
Kekuatan Pikiran adalah Hidup Kita
Pikiran adalah pelita dalam perjalanan kehidupan. Seseorang berpikir jernih akan menemukan harapan dan solusi, sedangkan berpikir kusut dapat menyesatkan arah dan melahirkan perilaku negatif.
Begitu pula dengan seseorang yang sedang menghadapi kedisabilitasan. Dia berpikir bahwa keterbatasannya akan mempersempit ruang geraknya. Bahkan dia merasa hidup dalam sangkar. Hidup namun terkurung. Mindset ini justru menghambat potensi dalam diri sendiri.
Dalam situasi ini, “perang tubuh” : menerima dan menolak dirinya berkecamuk. Apabila dia mampu berpikir jernih dia akan menerima keadaan. Lalu, Memusatkan perhatian pada kekuatan dalam dirinya.
Sebaliknya penolakan terhadap kondisinya, hanya membuat terus meratapi kekurangan dan ketidaksempurnaan sehingga menghambat proses perkembangan diri.
Karena itu, bebaskan pikiran dari keterpurukan. Fokuslah melakukan aktivitas sesuai kemampuannya meskipun terbatas. Sebab kebebasan tidak tertumpu pada tubuh yang sempurna, melainkan pada pikiran yang mampu melihat harapan di tengah keterbatasan. []