Mubadalah.id – Ketika kita memutuskan untuk membangun rumah tangga, tentunya terlebih dahulu harus memahami tujuan dari pernikahan. Pertama, atta’abu (beribadah); kedua, taqorrub (mendekatkan diri pada Allah); ketiga, ittiba’u sunnati Rasul (mengikuti sunnah Rasul); keempat, tahsilul wa annadi (menghasilkan keturunan).
Menuju pernikahan tentu tidaklah instan. Terdapat beberapa tahapan, salah satunya yang harus dilalui yakni aqdun nikah. aqdun berarti perjanjian dan an-nikahu artinya perkawinan. Akad nikah merupakan suatu hal yang wajib dilalui terlebih dahulu. Karena akad nikah merupakan suatu bagian dari rukun dalam pernikahan.
Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang menunjukkan bahwa harus adanya suatu perjanjian yang dilakukan dalam suatu pernikahan sebagai suatu ikatan dalam perkawinan antara kedua belah pihak, laki-laki dan perempuan. perjanjian inilah yang disebut dengan aqdun nikah atau mitsaqan ghalizan.
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُۥ وَقَدْ أَفْضَىٰ بَعْضُكُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَٰقًا غَلِيظًا
Sebagian fuqaha mengatakan bahwa akad nikah adalah bittamlik, baik secara tamlikul ‘ain (kepemilikan barang), bi tamliki manfaah atau bahkan tamliki intifa’. Tetapi, menurut qaul yang paling masyhur dikatakan bahwasanya akad nikah adalah ibahah, bahwa pernikahan merupakan pemberian izin, bukan merupakan kepemilikan. Dalam I’anatu Ath-Tholibin, As-Sayyid Al-Bakri mengatakan bahwasanya nikah adalah kebolehan untuk melakukan hubungan seksual, bukan kepemilikan dan juga bukan kepemilikan manfaatnya. Maka dari itu kebolehan untuk “bersenang-senang” tidak terfokus pada alat kelamin ataupun pada fungsi alat kelamin tersebut itu saja.
Dalam konsep fiqh, kepemilikan terbagi menjadi tiga, tamlikul aini, tamlikul manfaat, tamlikul imtifak. Tamlikul ain, berarti pemilik boleh menjual, memberikan, mewariskan dan meminjamkannya kepada orang lain. Sementara tamlikul manfaat, itu berarti pemilik mempunyai hak untuk memakai atau mengambil manfaat dengan segala akibatnya seperti menyewakan dan meminjamkannya kepada orang lain. Sedangkan tamlikul imtifak, pemilik mempunyai hak dari suatu benda hanya untuk dirinya sendiri, tidak diperbolehkan menjual, menyewakan ataupun meminjamkannya kepada orang lain.
An-nikahu ‘aqdu ibahatin laa ‘aqdu tamlikin. Pernikahan adalah akad ibahah (pemberian izin) bukan akad tamlik (hak milik). Dalam ibahah sama sekali tidak mengandung hak milik. Ibahah hanyalah sebatas pemberian izin. Sementara wujud dan manfaatnya tetap dimiliki oleh pemiliknya, bukan milik orang yang diberi izin. Karena itu dalam ibahah tidak diperkenankan menjual, menyewakan bahkan meminjamkan ataupun diwariskan.
Setelah kita memposisikan pernikahan sebagai akad ibahah, itu berarti tidak pada kepemilikan wujud (farji ataupun bagian tubuh yang lain) dan juga bukan pula kepemilikan atas hak memanfaatkan ataupun hal-hal yang bersifat menguasai lainnya.
Maka dimaknai dalam pernikahan hanya pemberian izin termasuk untuk melakukan hubungan seksual. Disinilah letak bahwa rumah tangga merupakan suatu bentuk kerjasama bukan atas dasar tukar menukar. Andaikata sudah pada titik sepakat, maka berikutnya ialah pemberian izin.
Pemberian izin tidak berarti hanya dimiliki oleh satu orang. Tetapi dimiliki oleh keduanya. Tidak pula berarti satu orang lebih berhak atas lainnya. Pun hak bersenang-senang dalam pernikahan tidak bisa dimaknai dengan eksploitasi, penguasaan, penjarahan ataupun sejenisnya. Hal tersebut tidak bisa dilakukan sesuka hati sesuai halusinasi salah satu pihak, akan tetapi perlu adanya persetujuan antar kedua belah pihak. []