Mubadalah.id – Suatu hari saya pernah mendapatkan pertanyaan dari salah satu kerabat yang sedang saya bonceng untuk diantar pulang ke rumah dengan anaknya yang masih kecil. Ia bertanya berapa usia saya saat ini? Lalu saya jawab, saat ini usia saya dua puluh satu tahun.
Kemudian ia mengajukan pertanyaan yang membuat saya cukup risih mendengarnya, “Teh, apa tidak malu belum menikah di usia sekarang?” Dia bahkan menyinggung beberapa teman perempuan sekelas saya yang sudah punya anak, atau adik kelas yang baru saja melangsungkan pernikahan.
Tentu pertanyaan tadi tidak saya diamkan begitu saja, saya jawab dengan tegas bahwa sebagai perempuan saya tidak merasa malu karena belum menikah di usia sekarang. Lalu saya tambahkan bahwa lebih banyak teman seangkatan yang belum menikah daripada yang sudah menikah.
Memang kenapa jika perempuan belum menikah? tidak ada salahnya dengan pilihan untuk tidak segera menikah, selain karena memang belum waktunya, saya juga merasa belum siap dan masih ingin menikmati masa lajang saya yang sekarang.
Kemudian beberapa hari yang lalu, saat saya dan keponakan saya yang perempuan dan berusia dua tahun di bawah saya sedang mampir berteduh di rumah salah satu teman seangkatan saya yang kebetulan sudah menikah, kami bercerita beberapa hal hingga dia bertanya apakah saya dan keponakan saya masih bekerja ditempat yang sama? Kami jawab iya.
Dia cukup kaget mengetahui bahwa kami masih bekerja di tempat yang sama dalam kurun waktu hampir satu tahun. “Apa gak cape kerja di toko setiap hari?” Tanyanya, “Kenapa kalian gak nikah aja? Enak lho nikah itu, apa-apa minta suami. Semua dibiayai.” Saya dan keponakan saya langsung kompak menjawab “Tidak!” “Menikah justru akan membatasi kami saat ini, lebih enak kerja dan punya penghasilan sendiri. Mau apapun tinggal beli gak harus izin suami.” Karena menurut saya memang begitu. Yang hanya bisa ia jawab dengan kalimat “iya ya,”
Bukan sekali dua kali orang-orang yang saya temui membicarakan perihal pernikahan, ada yang bertanya mengapa belum menikah? Hingga menjelaskan kenikmatan pernikahan beserta keunggulannya. Mereka seolah mempromosikan pernikahan supaya segera saya rasakan. Yang sebetulnya cukup membuat saya tertawa dalam hati.
Memang kenapa dengan status perempuan lajang yang saat ini saya jalani? Saya bekerja, dan menurut saya cukup untuk jajan sehari-hari. Saya juga banyak belajar dari sekeliling saya bahwa pernikahan itu tidak cukup hanya dengan modal cinta dan mau. Dan satu lagi, usia dua puluh satu tahun memang sudah legal untuk melangsungkan pernikahan. Tapi bukan berarti semua perempuan yang berusia dua satu harus segera menikah secepatnya. Menjadi perempuan lajang bukanlah hal yang memalukan. Memang kenapa dengan perempuan yang belum menikah? Bukankah setiap perempuan bebas menentukan keinginan dan cita-citanya.
“Hush, kamu kalau ngomong hati-hati. Memangnya kamu mau menikah di usia tua? Perempuan menikah di atas usia dua lima itu tua lho? Hati-hati, nanti jadi perawan tua. Belum lagi kalau nikah sudah lewat batas usia nanti tenagamu gak kuat ngurus anak. Mending sekarang masih muda, tenaga masih banyak.” Nasihat yang pernah diucapkan oleh seorang teman yang sudah menikah.
Waduh?!
Konstruksi berpikir seperti itu mungkin sering kita temui, tentang beberapa stigma masyarakat terhadap perempuan lajang yang bahkan dilahirkan oleh sesama perempuan lainnya. Perawan tua adalah cap bagi mereka yang belum menikah di atas usia dua puluhan.
Belum lagi korelasi antara angka usia dengan kemampuan reproduksi perempuan, padahal salah satu alasan larangan menikah pada usia dini karena organ reproduksinya belum siap sempurna, dan membahayakan. Kemudian perempuan seolah diberi limit untuk segera punya keturunan di usia tertentu karena ketika melebihi limit tersebut maka akan kembali menempatkan posisi perempuan pada tempat yang membahayakan.
Lalu tambahan dengan usia muda sama dengan kondisi kesehatan, dan tenaga yang masih prima sehingga pas untuk dipergunakan mengasuh anak. Secara tidak langsung melanggengkan pemikiran patriarki bahwa pengasuhan anak seratus persen tanggung jawab perempuan. Padahal mengasuh anak adalah tanggung jawab bersama suami istri.
Tidak heran mengapa banyak perempuan memilih segera menikah karena memang mengikuti kebiasaan disekitarnya. Perempuan diberi batasan dan rambu-rambu. Hingga tanpa disadari membatasi ruang gerak dan mimpi perempuan itu sendiri. Tekanan yang diterima perempuan lajang lebih besar daripada yang diterima oleh kaum laki-laki. Seolah melajang di usia tertentu adalah terlarang bagi perempuan.
Padahal tidak ada salahnya menjadi perempuan lajang, tidak ada salahnya merayakan kesendiriannya sebagai perempuan. Belum menikah bukanlah sebuah beban, melainkan satu kesempatan yang harus dirayakan sebaik mungkin. Dipergunakan untuk mempersiapkan pernikahan itu sendiri. []