“Kasih sayang adalah ruang untuk pulang, tapi juga keberanian untuk melepas. Karena cinta yang sejati adalah yang membebaskan.”
Mubadalah.id – Ada satu adegan di drama Korea Beyond the Bar episode 3 yang menancap di kepala saya. Seorang ibu, yang hidupnya jauh dari keluarga dan terpisah jarak dengan suaminya (LDM). Dia membesarkan putranya seorang diri. Kesepian membuatnya menutup diri dari pertemanan, dan anaknya menjadi satu-satunya pusat kehidupannya. Ia menumpahkan seluruh kasih sayang, waktu, bahkan impian pribadinya kepada sang anak.
Sekilas, ini terdengar indah—seorang ibu yang sepenuh hati untuk anaknya. Namun semakin cerita bergulir, kita melihat sisi lain. Anak yang sudah memasuki usia taman kanak-kanak, tidak memiliki kemandirian dalam hal apapun. Ia mengalami kesulitan beradaptasi dan tidak bisa jauh dari ibunya.
Lantas Ia mendengarkan dan mengikuti semua perkataan ibunya. Bukan karena hormat semata, tetapi karena ia tidak punya ruang untuk membentuk pendapat atau keputusan sendiri. Kata ibu adalah kata dia. Dan di balik semua itu, ada kesepian yang menjerat: seorang perempuan yang kehilangan dirinya karena peran ibu telah menyerap seluruh eksistensinya.
Fatherless yang Tidak Terlihat
Kondisi ini, dalam kajian keluarga, sering kita sebut functional fatherlessness—ayah secara hukum ada, tapi absen secara fungsi. Tidak hadir dalam percakapan, keputusan, maupun dukungan emosional sehari-hari. Dalam kasus di drama tersebut, jarak geografis membuat ayah hampir tidak punya ruang membangun relasi dengan anaknya.
Ketika satu peran hilang, peran yang tersisa sering kali berusaha “mengisi kekosongan” itu. Ibu akhirnya memikul beban ganda: menjadi pengasuh utama sekaligus figur pengarah utama. Namun, tanpa pendampingan yang seimbang, kasih sayang ini bisa berubah menjadi kontrol penuh.
Hubungan ibu-anak pun masuk ke dalam pola yang dalam psikologi kita sebut enmeshment. Kedekatan yang melampaui batas sehat, di mana identitas anak dan ibu bercampur. Anak kehilangan kemandirian, ibu kehilangan dirinya. Anak sulit belajar mengambil keputusan, sementara ibu merasa hampa jika tidak mengatur anak.
Dampak Nyata untuk Anak dan Ibu
Beberapa penelitian tentang overparenting menunjukkan bahwa pola asuh yang terlalu mengatur dapat membuat anak merasa rendah diri, bergantung secara emosional, sulit mengambil keputusan mandiri, dan rRentan mengalami kecemasan dan masalah hubungan saat dewasa.
Dampaknya bagi ibu tidak kalah berat. Dalam konsep role engulfment, perempuan bisa kehilangan identitas pribadi karena seluruh hidupnya dihabiskan untuk satu peran, dalam hal ini sebagai ibu. Kesepian dan isolasi sosial memperkuat beban ini, membuat sang ibu merasa dunianya hanya berputar di sekitar anak.
Pelajaran dari Surah Luqman
Al-Qur’an memberikan panduan mendidik anak yang seimbang—penuh kasih sayang, tapi juga memberi ruang untuk tumbuh. Dalam Surah Luqman ayat 13–14, Allah mengingatkan tentang jasa besar seorang ibu, perjuangan mengandung, melahirkan, dan menyusui. Namun di ayat 15, ada pesan penting:
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah engkau mengikuti keduanya…”
Artinya, bahkan dalam hubungan orang tua dan anak, Al-Qur’an mengakui adanya batas ketaatan. Orang tua membimbing, namun anak tetap memiliki ruang untuk mengambil keputusan berdasarkan kebenaran. Ini adalah prinsip autonomy within guidance—kemandirian dalam bimbingan.
Ayat-ayat berikutnya (16–19) juga menekankan pembentukan karakter yang mandiri: menegakkan salat, berbuat baik, sabar menghadapi cobaan, tidak sombong, dan merendahkan suara. Semua ini adalah nilai yang harus kita tanamkan melalui teladan dan dialog, bukan melalui kontrol yang meniadakan pilihan anak.
Kesalingan dalam Keluarga: Perspektif Mubadalah
Prinsip mubadalah mengajarkan bahwa relasi dalam keluarga terbangun atas dasar kesalingan (mu’asyarah bil ma’ruf). Peran ibu dan ayah sama-sama penting dalam membentuk kemandirian anak. Ketika ayah tidak hadir, peran itu harus diupayakan hadir melalui jaringan sosial: kakek-nenek, paman-bibi, guru, atau komunitas.
Kasih sayang yang sehat adalah yang memerdekakan. Ibu tetap memberikan pelukan, bimbingan, dan teladan, namun juga memberikan kesempatan anak mencoba, gagal, dan belajar. Dengan begitu, anak tumbuh menjadi pribadi yang tahu ia dicintai, sekaligus tahu ia mampu berdiri di atas kakinya sendiri.
Refleksi: Melepas sebagai Bentuk Cinta
Kisah di Beyond the Bar episode 3 adalah pengingat bahwa niat baik melindungi anak bisa berubah menjadi jerat jika tidak dibarengi kesadaran diri. Dalam Islam, orang tua adalah penjaga amanah, bukan pemilik mutlak anak.
Melepaskan anak untuk mandiri bukan berarti mengurangi cinta, tetapi justru memurnikannya. Sebab cinta yang sehat tidak menahan, tapi mengantarkan. Seperti yang diajarkan Luqman kepada anaknya: berjalanlah di bumi dengan rendah hati, bersuara lembut, dan berbuat baik. Itu adalah tanda bahwa pendidikan orang tua berhasil—anak bisa berjalan sendiri, tapi nilai yang diajarkan tetap tinggal dalam dirinya.
Bagi para ibu yang mungkin merasa “dunia ini hanya aku dan anakku”, ingatlah bahwa diri Anda juga berharga di luar peran sebagai ibu. Mengisi kembali hidup dengan hobi, persahabatan, belajar, atau pekerjaan bukanlah egois—itu adalah bagian dari menjaga kesehatan diri agar kasih sayang yang diberikan tetap sehat.
Dan bagi para ayah, kehadiran Anda bukan hanya soal mencari nafkah, tetapi juga hadir secara emosional, menjadi rekan pengasuhan, dan penjaga keseimbangan. Keluarga yang adil adalah keluarga yang berjalan dengan dua sayap—ibu dan ayah—agar anak bisa terbang dengan sayapnya sendiri. []