Mubadalah.id – Di tengah dunia yang semakin kompleks, relasi antarumat beragama menjadi salah satu isu paling mendesak untuk terus dibicarakan. Karena tak dapat dipungkiri, politik identitas, klaim kebenaran tunggal, hingga konflik atas nama agama masih kerap banyak terjadi di ruang publik kita.
Di Indonesia, meskipun secara konstitusional setiap warga dijamin kebebasan beragama, praktik diskriminasi dan intoleransi masih saja terjadi, baik dalam bentuk perundungan, penolakan pembangunan rumah ibadah, maupun ujaran kebencian yang disebarkan melalui media sosial.
Pertanyaan mendasarnya: bagaimana umat Islam, yang merupakan mayoritas di negeri ini, bisa mengambil peran lebih konstruktif dalam membangun relasi damai dengan pemeluk agama lain?
Jawaban yang Dr. Faqihuddin Abdul Kodir tawarkan dalam bukunya Relasi Mubadalah Muslim dengan Umat Berbeda Agama (2022) sangat relevan. Melalui pendekatan mubadalah, beliau mengajak umat Islam untuk tidak memandang relasi antaragama sebagai relasi hierarkis. Melainkan sebagai hubungan kemitraan yang berlandaskan keadilan, kesetaraan, dan kasih sayang.
Islam dan Prinsip Kesalingan
Salah satu hal mendasar yang Kiai Faqih tekankan adalah bahwa teks-teks Islam, baik Al-Qur’an maupun Hadis, pada dasarnya membuka ruang besar bagi relasi kesalingan ini.
Misalnya, dalam QS. Al-Hujurat (49):13, Allah menegaskan bahwa manusia Tuhan ciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku (lita’arafu) agar saling mengenal, bukan saling meniadakan. Relasi saling mengenal inilah yang oleh pendekatan mubadalah, kita pahami sebagai prinsip keterbukaan, penghormatan, dan kerja sama.
Buku ini juga menyoroti bahwa Islam sejak awal tidak hadir dalam ruang hampa. Nabi Muhammad SAW hidup berdampingan dengan komunitas Yahudi, Nasrani, dan bahkan kaum musyrik di Mekkah dan Madinah.
Piagam Madinah menjadi bukti bahwa Nabi membangun konsensus politik yang mengakui keberagaman agama sebagai realitas sosial. Prinsipnya sederhana: semua warga Madinah, apapun agamanya, memiliki hak dan tanggung jawab yang sama untuk menjaga perdamaian.
Sayangnya, perkembangan sosial-keagamaan saat ini justru kerap dikuasai oleh pola pikir eksklusif. Agama dijadikan identitas politik yang menutup ruang dialog. Kebenaran hanya dimonopoli oleh satu kelompok, sementara yang lain dipandang sesat atau kafir.
Di titik inilah gagasan mubadalah menjadi penting. Kiai Faqih mengingatkan bahwa Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk memutuskan relasi dengan yang berbeda iman.
Justru, dalam banyak ayat, al-Qur’an memerintahkan untuk berlaku adil dan berbuat baik kepada siapa pun, selama mereka tidak memerangi atau menindas. QS. al-Mumtahanah (60) : 8, misalnya, dengan tegas menyatakan bahwa Allah tidak melarang umat Islam berbuat baik dan berlaku adil kepada non-Muslim yang hidup damai.
Lebih jauh, pendekatan mubadalah menolak pemahaman relasi agama sebagai “kita vs mereka”. Dalam perspektif kesalingan, setiap umat beragama bisa menjadi mitra dalam menciptakan kebaikan bersama.
Itulah mengapa Kiai Faqih menyebut bahwa relasi antaragama harus kita tempatkan dalam kerangka ukhuwah insaniyah (persaudaraan kemanusiaan). Bukan ukhuwah Islamiyah. []