Mubadalah.id – Dalam Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu Dr. Wahbah Az-Zuhaili kembali menegaskan asumsi-asumsi misoginis yang tidak jauh berbeda dengan kecenderungan fikih konvensional. Ia, misalnya, mengatakan bahwa kesaksian dua orang perempuan yang sebanding dengan kesaksian seorang laki-laki disebabkan kurang akuratnya perempuan karena banyak lupa.
Demikianlah, asumsi-asumsi misoginis itu telah secara apriori dijadikan alasan rendahnya nilai kesaksian perempuan. Kita sebut apriori karena dalam kenyataan label kurang akal, emosional, atau tidak akurat yang dijadikan alat pembatasan kesaksian itu tidak sepenuhnya bisa dibuktikan.
Kenyataannya, label-label yang menjadi alasan itu tidak melekat pada setiap perempuan. Banyak perempuan yang lebih berakal dan kuat ingatan daripada laki-laki. Sebaliknya banyak pula laki-laki yang lebih emosional dan pelupa daripada perempuan.
Dengan demikian alasan kurang akal, emosional dan sebagainya yang dilabelkan pada perempuan tanpa kecuali itu secara de facto tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Dengan kata lain alasan-alasan yang selama ini begitu dibakukan itu hanya didasarkan pada asumsi yang bersifat apriori dan tidak mencerminkan kondisi seluruh perempuan yang sesungguhnya.
Meski demikian tidak seluruh bangunan fikih kesaksian perempuan hanya berdasarkan atas asumsi-asumsi misoginis yang apriori. Ada pula fuqaha yang melihat kesaksian perempuan tidak dengan sebelah mata.
Pendapat Abu Hanifah
Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi, tidak memberikan batasan mana masalah yang boleh menghadirkan perempuan sebagai saksi dan mana yang mana yang tidak. Perempuan boleh memberikan kesaksiannya dalam seluruh persoalan baik yang berkaitan dengan harta maupuan tidak.
Termasuk, perempuan boleh menjadi saksi dalan nikah, talak, iddah, hawalah (pengalian hutang piutang) dan waqaf. Bahkan saksi dalam shulh (kesepakatan berdamai), wakalah, wasiat, hibah, iqrar, persalinan, dan nasab. Kesaksian perempuan bisa kita terima jika kualifikasi untuk menjadi saksi terpenuhi dalam diri perempuan.
Artinya jika seorang perempuan telah memenuhi syarat untuk menjadi saksi maka kesaksiannya bisa kita terima. Syarat kesaksian itu adalah: berakal, baligh, merdeka, Islam, bisa melihat dan berbicara, adil dan tidak memiliki tendensi-tendensi tertentu. Bahkan bisa memberikan kesaksian secara akurat, dan bisa hadir untuk memberikan kesaksian.
Dengan pemikiran fikih seperti itu, dapat kita katakan bahwa Abu Hanifah tidak mendasarkan ruang kesaksiannya pada jenis kelamin. Melainkan pada kualitas pribadi. Sebagai konsekuensi dari pendiriannya itu, Abu Hanifah, berbeda dengan ulama Malikiyah dan Syafi’iyah, menerima kesaksian seorang perempuan yang adil.
Lebih dari itu Abu Hanifah juga memberikan ruang kesaksian bagi perempuan untuk peristiwa yang hampir seluruh ulama mengatakan perempuan tidak boleh menjadi saksi, yakni nikah dan ruju’. []