Mubadalah.id – Dalam rangka memperjuangkan akses kesehatan seksual reproduksi dan aborsi aman di Indonesia, Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) bersama Safe All Women and Girl (SAWG) mengadakan diskusi refleksi bersama stakeholder. Yakni terkait pemenuhan hak kesehatan seksual dan reproduksi anak dengan tema Antara Ada dan Tiada: Akses Kesehatan Seksual Reproduksi dan Aborsi Aman di Indonesia yang terlaksana di Hotel Ashley Tanah Abang (6/2/24).
Diskusi kali ini membahas hal-hal seputar perkawinan anak, kesehatan ibu dan anak, sunat perempuan, hingga aborsi aman. Seperti yang kita ketahui bersama, meski terdapat perubahan dalam aturan terbaru dalam KUHP pada tahun 2023 yang memuat peningkatan batas maksimal usia kehamilan bagi korban kekerasan seksual untuk mengakses layanan aborsi. Namun dalam praktiknya, untuk mengakses layanan ini banyak sekali tantangan di lapangan.
Nunik Widiantoro dalam sambutannya menyampaikan bahwa hak seksual dan kesehatan reproduksi serta aborsi aman sangat lah penting untuk kita perjuangkan. Sehingga YKP sejak tahun 2001 berkomitmen untuk memperjuangkan hal ini dan berupaya untuk menggandeng stakeholder terkait.
Membincang Regulasi
Saat panel diskusi berlangsung, Ratna Batara Munti selaku Direktur LBH APIK Jawa Barat menyampaikan banyak hal yang harus kita perbaiki dalam regulasi akses aborsi aman bagi korban kekerasan seksual. Yakni dengan situasi legal administratif maupun prosedur yang terjadi di lapangan.
Ratna menyampaikan dalam pelaksanaannya, untuk mendapatkan keadilan, banyak hal sulit yang harus korban kekerasan seksual alami. Mulai dari penderitaan dan kerugian sosial, adanya dua alat bukti, pemeriksaan digital forensik.
Tidak sampai di sana, bahkan laporan korban tidak selalu aparat penegak hukum terima. Apalagi jika korban mengalami lebih dari satu kali kekerasan seksual. Hal ini anggapannya oleh aparat penegak hukum perbuatan tersebut adalah perbuatan yang korban kehendaki jika lebih dari satu kali. Padahal ada faktor relasi kuasa dan faktor-faktor lainnya yang harus dipertimbangkan sebelum memberikan penilaian hingga penolakan laporan.
Selain cara pandang aparat penegak hukum yang belum memiliki perspektif keadilan untuk korban kekerasan seksual, prosedur administratif juga sangat menyulitkan korban. Korban kerap sulit mendapatkan surat pengantar dari aparat penegak hukum sehingga dana layanan yang sudah teranggarkan oleh pemerintah tidak dapat korban gunakan.
Belum lagi proses mengurus surat pengantar pun tidak semudah membuat surat administrasi pada umumnya. Di mana mana surat pengantar untuk korban kekerasan seksual seringkali sulit keluar. Padahal surat tersebut korban butuhkan untuk mendapatkan layanan pembuktian agar pro justisia.
Kendala Mendapatkan Akses
Dari fasilitas kesehatan pun korban kekerasan seksual mengalami kendala untuk mendapatkan layanan aborsi aman dengan belum ada penunjukan rumah sakit atau fasilitas kesehatan oleh pemerintah. Sehingga surat pengantar dari aparat penegak hukum pun dapat tenaga medis terimana. Terutama bagi mereka yang berwenang.
Ika Ayu perwakilan dari SAWG menyampaikan bahwa alur layanan aborsi aman bagi penyintas sangatlah panjang. Sehingga sulit bagi korban mengaksesnya karena pada akhirnya usia kehamilan korban melebihi batas yang telah ditetapkan.
Berikut adalah alur layanan aborsi bagi penyintas: Korban melapor kepada aparat penegak hukum. Kemudian korban melakukan tes kehamilan di fasilitas layanan kesehatan. Jika terbukti adanya kehamilan akibat perkosaan, korban melakukan konseling pra tindakan yang diketahui oleh tenaga medis terlatih yang akan melakukan tindakan.
Jika memenuhi persyaratan, maka korban dapat memilih melakukan aborsi aman. Belum selesai proses persyaratan, korban juga harus melalui tahapan dari tim kelayakan aborsi untuk mendapatkan layanan kesehatan aborsi aman. Jika sudah melalui ini dan terjadi proses aborsi aman, pasca tindakan, korban kembali melakukan konseling.
Pemenuhan Kesehatan Ibu dan Anak
Selanjutnya Nanda Dwinta Sari selaku Direktur YKP memaparkan Laporan Pemantauan Pelaksanaan International Conference on Development & Population (ICPD). Yakni terkait Pemenuhan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Indonesia.
Dalam pelaporan tersebut, masih kita temukan kesulitan mengakses layanan KIA bagi perempuan dan anak berkebutuhan khusus. Selain itu, mengenai sosialisasi kesehatan mengenai ANC 6 kali termasuk USG pada trimester pertama dan ketiga masih sulit dinilai oleh ibu berkebutuhan khusus termasuk untuk menilai pelayanan persalinan dan nifas.
Temuan selanjutnya terkait pemberian makanan tambahan bagi ibu dengan BMI rendah merupakan prioritas nasional. Namun tidak kita lakukan secara berkala. Padahal hal ini merupakan salah satu faktor terjadinya berat bayi lahir rendah yang dapat mengakibatkan stunting.
Pelayanan kesehatan reproduksi untuk remaja pun masih memerlukan sosialisasi yang giat. Karena pelaksanaannya di bawah standar dan pedoman kesehatan reproduksi ramah remaja nasional 2018 yang telah ditetapkan. Hal ini penyebabnya tidak ada dukungan dari peraturan daerah, pendanaan yang tidak memadai, hingga kurangnya tenaga kesehatan di tingkat masyarakat maupun sekolah.
Terakhir, menutup agenda diskusi, Nanda menyampaikan bahwa pasca melahirkan dan nifas, seharusnya ada kunjungan sebanyak empat kali bagi ibu yang melahirkan di klinik atau rumah sakit swasta. Namun praktiknya tidak ada kunjungan rumah pasca melahirkan. Pasien atau ibu yang baru melahirkan justru yang harus pergi ke fasilitas kesehatan terkait dan mengatur jadwalnya secara mandiri.
Semoga setelah pemilu 2024 dan terpilihnya pemimpin baru, akses kesehatan seksual reproduksi dan aborsi aman di Indonesia mendapatkan prioritas keberlanjutan implementasinya. Yakni untuk kesehatan seksual dan reproduksi yang lebih komprehensif terutama bagi korban kekerasan seksual. []