Mubadalah.id – Fiersa Besari mengawali bait lagu berjudul Cerita Rakyat (2020) dengan beberapa premis kritis ihwal kondisi bangsa Indonesia. Katanya negriku kaya raya/ Tapi banyak yang teraniaya/ Katanya sudah tidak dijajah/ Tapi masih masih banyak orang susah//.
KBBI mendefiniskan kemerdekaan sebagai keadaan (hal) berdiri sendiri (bebas, lepas, tidak terjajah lagi, dan sebagainya); kebebasan. Lantas apa yang sebenarnya kita peringati setiap tahun, setiap tanggal 17 Agustus, jika kemerdekaan masih terjajah oleh maknanya sendiri?
Memaknai kemerdekaan tak cukup sebatas lewat euforia sesaat dengan hura-hura perlombaan. Pemaknaannya mesti terpikirkan secara (agak) serius dan berkelanjutan. Betata pun negeri ini belum sempurna, arah-arah gelora perjuangan mesti tetap berjalan. Bagaimana mungkin selama setahun, pemaknaan kemerdekaan hanya terhimpun dalam sehari secara formalitas belaka, sementara 364 harinya sia-sia.
Kita tak ingin melihat perayaan HUT bangsa ini tiap tahun hanya berganti logo dan slogan semata. Perlu ada arah perubahan demi penentuan nasib dan kesejahteraan agar bangsa ini bermartabat. Pemerintah suka tak suka mesti berbenah secara habis-habisan. Menonjolkan integritas alih-alih gimik, apalagi popularitas. Kepakaran mengeksekusi kebijakan lebih diutamakan daripada unsur kedekatan.
Bukankah Bung Hatta pernah mengatakan bahwa kemerdekaan adalah alat untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Maksudnya mengisi kemerdekaan dengan membangun negara yang adil, makmur, dan berdaulat.Kiwari, amanat Bung Hatta seakan angin lalu tak tergubris dalam ruang-ruang berbangsa.
Membaca Permasalahan
Civitas kerakyatan bangsa Indonesia, utamanya, pemerintah junto partai politik lebih sering membawa hajat golongan dalam berlelaku mengisi kemerdekaan. Tak ada ketulusan jernih dalam kalbu. Menukar kinerja dengan imbalan. Bila ada kesempatan, bermisi kepentingan golongan, dengan culas mengambil bagian yang bukan haknya. Korupsi. Rasuah. Merajalela di mana-mana.
Di majalah Tempo edisi khusus Hari Kemerdekaan (23 Agustus 2009), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memasang iklan amat provokatif. Di bagian atas, sebagai judul tertulis: “Indonesia Sudah Merdeka?”. Lalu berlanjut keterangan di bawahnya: “Selama masih bercokol mental korup dan korupsi jangan anggap Indonesia sudah merdeka. Satukan Tekad. Lawan Korupsi. Merdekakan Indonesia dari belenggu korupsi!”.
Lantas apa gunanya kita merdeka jika belenggu bayang-bayang penjajahan—dalam pelbagai bentuk—masih kita rasakan. Fiersa melanjutkan liriknya: Kudengar kita bangsa yang ramah/ Tapi gemar sekali marah-marah/ Konon dipimpin orang-orang hebat/ Tapi hobi curi uang rakyat//. Persoalan ini, saya setuju dengan mendiang Gus Dur, bangsa kita ini penakut, takut menindak yang salah.
Belum soal kemakmuran dan kesejahteraan rakyat di bilangan daerah tertinggal, terdepan, dan terluar. Selama 80 tahun Indonesia merdeka, warga di sepuluh desa yang tersebar di empat kecamatan, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT) belum menikmati fasilitas penerangan listrik PLN. Selama delapan dekade warga terpaksa mengandalkan alternatif sumber penerangan. Lampu minyak dan genset, misalnya.
“Indonesia” yang Bermakna
Kita bisa membaca renungan Goenawan Mohamad bagaimana memandang Indonesia. Dalam rubrik Catatan Pinggir-nya itu, GM pernah menulis esai berjudul “Indonesia”. Betapa ia terus memikirkan peluru regu tembak menembus batok kepalanya karena tak (menyebut) “Indonesia”.
Bunyi “Indonesia” pada awal abad ke-20 barangkali sudah hadir dalam pikiran bagi generasi aktivis politik. Dengan begitu, ketika ia terucap seakan menjadi perlawanan bagi lema “Hindia Belanda”.
Dalam kisahnya itu, hidupnya amat memiliki pertautan dengan “Indonesia”. Musabab bapaknya, karena ibunya, dan saudara-saudara kandungnya, GM merumuskan dengan fasih apa arti “Indonesia” baginya. Lebih dari sekadar nama dan tanah air. Lebih-lebih dari geografis. Indonesia termaknai sebagai ingatan dan harapan. Bukan saja kita mendengar Indonesia Raya tapi memang Indonesia benar-benar kaya dari Sabang sampai Merauke.
Pada akhirnya, supaya tak terlalu mengenaskan, memaknai kemerdekaan Indonesia artinya menjalani sebagaimana baiknya menjadi warga negara. Tuntaskan kewajiban, lakoni keminatan, getok ketidakberesan.
Sisanya, kata Radhar Panca Dahana dalam Menjadi Manusia Indonesia (2019), disintegrasi dan kebangkrutan di segala bidang tinggal seperti kartu domino yang menunggu dijatuhkan. Itu artinya, senyatanya, tak ada kemerdekaan hari ini, yang ada hanyalah pengulangan hari ulang tahun picisan.
Lantas, harapan apa yang dapat kita ambil setiap Hari Kemerdekaan Indonesia selain menonton pejabat berpakaian modis dan elegan dalam upacara formalitas mewah yang ditayangkan televisi? Kalau selama 80 tahun bangsa ini begini-begini saja, kita sangat boleh menjadi warga negara yang pesimis. Setuju atau tak setuju, kata Radhar, ayo kita berkelahi saja, sampai mati. []