Mubadalah.id – Puasa sudah masuk minggu ke-2. Tubuh pun sudah mulai beradaptasi dan perlahan membiasakan diri dengan cuaca di musim pancaroba yang tiba-tiba panas tapi kadang-kadang hujan lebat hingga sekujur badan menggigil kedinginan. Ada yang mampu melewati tahapan ini dengan mulus tanpa halangan, namun ada pula yang harus merasakan sakit terlebih dahulu, seperti umumnya penyakit di musim peralihan.
Pada fase ini kita telah belajar menahan diri dari rasa lapar dan dahaga selama seharian penuh 12 jam, tanpa makan dan minum. Akan tetapi bagaimana dengan pembelajaran lainnya dari proses puasa yang sudah tertempuh selama ini? Yuk kita kulik lebih jauh.
Pertama, dengan proses puasa kita telah ditempa untuk menahan emosi agar tak lekas tersinggung, dan mengumbar amarah. Baik dalam kehidupan nyata, maupun etika di media sosial.
Sebelum Ramadhan tiba, bangsa ini dikejutkan dengan tragedi ledakan bom bunuh diri di beberapa kota besar di Indonesia, lalu terjadilah saling adu argumen tentang apa dan bagaimana peristiwa itu bisa terjadi.
Mungkin iya, kita sepakat bahwa aliran radikal dan tindakan terorisme adalah musuh bersama yang harus dilawan dengan bersamaan pula. Namun tidak dengan cara saling klaim dan hujat sana-sini.
Ramadhan ini menjadi ruang kita untuk instrospeksi diri; mengapa jalan kekerasan, terlebih yang mengatasnamakan agama, lebih banyak dipilih oleh orang di luar sana? Apa yang salah dengan ajaran agama yang kita anut?
Lalu apa yang harus kita benahi untuk menyampaikan pemahaman agama yang ramah, memanusiakan manusia, dan mengedepankan prinsip kesalingan?
Pembelajaran kedua, yakni menahan hawa nafsu dan sifat konsumtif selama menjalani ibadah puasa. Agar menyediakan menu buka puasa dan sahur sesuai dengan kemampuan diri, lantas tidak usah memaksakan diri untuk terlihat lebih di mata orang lain, apalagi kapasitas daya tampung tubuh manusia juga terbatas.
Ingat, sepertiga masing-masing untuk makanan, minuman dan udara.
Pembagian yang adil ini harus menjadi pertimbangan supaya kita tidak berlebihan ketika makan di saat berbuka, maupun santap sahur.
Artinya tidak aji mumpung, mentang-mentang puasa lalu bisa makan sepuasnya tanpa memedulikan daya kerja organ tubuh dalam mengolah makanan.
Selanjutnya menahan diri dari perilaku berlebihan menyambut datangnya Hari Raya. Seperti membeli aneka sandang yang baru untuk berlebaran. Dari mulai ujung kepala hingga kaki semua serba baru.
Jika tidak atau belum ada jangan memaksakan diri hingga melakukan perbuatan terlarang seperti mencuri. Sebab berdasarkan kenyataan di lapangan, setiap jelang lebaran, angka kriminalitas meningkat secara signifikan karena dikaitkan dengan sikap masyarakat yang berlomba-lomba untuk menampilkan style terbaik.
Ketika godaan belanja itu mulai datang, ada baiknya kita mengingat usaha keras kita yang telah menahan lapar dan haus sehari-semalam selama satu bulan penuh itu, dan mengisinya dengan kegiatan positif seperti tadarusan dan mengikuti pengajian puasa-an, agar nilai ibadah kita tidak sia-sia dan hampa makna.
Ya, bulan puasa telah mengajarkan kita banyak hal untuk menahan diri, baik dari hal yang nampak secara fisik, maupun mental spiritual kita.
Apa yang sudah dijalani selama Ramadhan itu, seiring waktu berjalan semoga tidak luntur seketika dan terus menjadi perilaku baik yang dilestarikan.
Sedangkan Hari Raya adalah tentang kesenangan, bagaimana kita menyambutnya dengan riang gembira tanpa mengurangi makna puasa.
Tetap sukacita, dengan berbagi kebahagiaan bersama orang-orang yang lebih membutuhkan.
Menyampingkan ego kita yang ingin mengenakan baju lebaran dengan serba branded, bermerek, hingga kadang dengan harga yang tak masuk akal.
Sehingga yang perlu diingat mungkin saat berencana belanja kebutuhan lebaran, ada hak anak-anak yatim, orang-orang miskin dan kaum dhuafa atas sebagian harta kita.
Memenuhi terlebih dahulu kewajiban kita dalam berbagi melalui zakat, infaq dan shodaqoh, baru kemudian memanfaatkannya sesuai dengan hak yang kita miliki.
Yang perlu diingat pula bagi yang masih punya orang tua dan keluarga di kampung halaman. Terutama yang merencanakan mudik agar mengingati mereka, orang-orang tersayang, itu dengan memberikannya hadiah yang pantas, menarik dan layak untuk dikenakan.
Akhir kata, selamat melanjutkan ibadah puasa sebelum hari kemenangan tiba.[]