“Mau ditaruh di mana muka bapak, hah, mau disembunyikan di mana aib keluarga besar kita ini?”
Ayah berlalu dengan geram. Mukanya merah padam, Otot-otot lehernya hendak keluar. Lalu masuk kamar, Daun pintu dibantingnya. Brak! Ibu kudengar sesunggukan di dapur sejak tadi. Darma menunduk, membatu, tak bergeming. Mati kutu. Menyesali semuanya, mesti hanya sia-sia belaka.
“Sudahlah, jika Ayah tak mau biarlah aku yang mewakili keluarga ini.” Ucapku sembari menepuk bahu Darma, mencoba membesarkan hatinya.
“Tapi, Mas.”
“Kau seperti tidak tahu ayah saja, sekali bilang tidak ya tidak. Tidak ada kamus baginya meralat keputusan. Yang pasti, kau harus nikahi dia secepatnya.” Darma masih linglung.
“Biarlah aku yang mengatur semuanya.”
Beberapa hari kemudian, saya berembug dengan keluarga Siti_calon istri Darma. Meskipun agak kecewa tanpa kehadiran keluarga besar, keluarga Siti menerima lamaran Darma. Namun demi mengurangi rasa malu, kami sepakat untuk menggelar hajat sesederhana mungkin. Tak ada panggung pengantin, dan berbagai ritual tradisi pada umumnya di kampungku.
Tak ada riuh ramai perempuan yang masak dua hari dua malam untuk pesta. Tak ada njagong para laki-laki dengan berteman kopi dan permaianan kartu semalam suntuk. Tak ada gelegar soundsystem dengan musik dangdut atau shalawat campur sari, sebagai tanda bahwa ada hajatan besar dari sebuah keluarga. Undangan juga hanya sebatas kerabat terdekat saja.
Di hari yang dinantikan, Darma terlihat grogi saat memasuki rumah Siti. Aku benar-benar sendirian mewakili keluarga, karena kerabat lain sudah dilarang Ayah, tanpa ada satupun yang berani melanggarnya. Saksi semua dari keluarga Siti. Ketika sedang berbasa basi dengan keluarga mempelai perempuan, salah seorang kerabat mendekatiku sembari berbisik.
“Kita masih menunggu penghulunya. Menurut rencana sih jam 10 akad nikah dimulai.”
Saya mengangguk, sembari melihat jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 10.15. Saya mencoba menenangkan Darma yang mulain gusar. Beberapa kerabat siti juga mulai menyembulkan muka panik. Ada yang mencoba menelpon. Saya tebak, sedang menghubungi si penghulu. Samar-samar saya menangkap pembicaraan di antara kerabat.
“Coba telpon sekali lagi”
“Sudah tapi tidak diangkat, duh”
“Atau kita jemput saja”
“Sapto sedang menjemputnya ke KUA”
“Ini kan hari minggu, KUA tutup”
“Masyaallah”
Si kerabat kembali mengahampiri saya. Aku berusaha tersenyum mencairkan kebekuan. Aku tahu apa yang hendak ia sampaikan. Aku serobot duluan untuk menenangkan dan lebih bersabar.
Darma yang duduk berdekatan denganku nampak pasrah. Begitu juga kerabat Siti. Sudah 4 jam kami menunda akad nikah ini, tanpa kejelasan datangnya penghulu.
“Penghulunya tidak jadi datang. Dia meminta maaf tidak bisa menikahkan mempelai” bisik kerabat Siti.
‘Mengapa bisa begitu?” tanyaku heran.
“Hmm….katanya dia tidak diperkenankan menikahkan mempelai yang kecelakaan.”
“Kok?”
Si kerabat hanya menggeleng-gelengkan kepala. Terdengar suara kerabat yang lain meraung. Rumah menjadi ratapan. Harapan seketika rontok. Sepertinya takdir tidak berpihak pada kami. Aku bergegas menuju ruang tamu untuk berembug dengan keluarga Siti di tengah situasi yang mirip kemarau panjang. Saya mengusulkan agar pernikahan tetap berlangsung hari ini juga.
“Kalau tidak ada penghulunya terus bagaiamana?”
“Iya, apa nikah siri dulu saja?”
‘Tidak” sahutku. “kita harus menikahkan mereka sebagai warga negara”.
“Tapi penghulunya bagaimana? Kita sudah terlanjur malu, masa mau ditunda?”
Sejenak hening. Semua dahi berkerut.
“Saya akan berusaha mencari penghulu yang mau menikahkan mereka, hari ini juga bagamanapun caranya” kataku meyakinkan.
Kerabat hanya saling pandang, terlihat pasrah, sebagaimana Darma. Sejengkal kemudian melalui ponsel saya menghubungi semua kawan, menanyakan perihal kemungkinan berkenalan baik dengan penghulu. Lalu berharap bisa menolong masalah ini. Hasilnya nihil.
Malam mulai merayap. Kami masih bertahan di ruang tamu. Darma diminta untuk menginap di rumah salah satu kerabat Siti. Terakhir matanya terlihat berkaca-kaca.
“Besok kan senin, kita bagi tugas untuk mencari penghulu ke kota.” Ucap salah seorang kerabat memulai rembug malam.
“Saya khawatir mereka berfikir hal yang sama dengan penghulu-penghulu di wilayah ini yang tidak berkenan menikahkan Darma dan Siti. Aku tidak tahu apa mereka bersedia mencatat pernikahan layaknya pasangan pengantin lainnya,” timpal kerabat yang lain.
“Yakinlah, masih ada jalan. Anak-anak kita kan sudah menyesali perbuatannya. Rencana pernikahan adalah bukti penyesalan, sekaligus niat untuk memperbaikinya”, Sahut kerabat lainnya.
Aku dan kerabat sepakat untuk saling berbagi tugas mencari penghulu ke kota besok pagi. Paginya, kami yang diberi tugas berkumpul di ruang tamu. Tiba-tiba kami dikejutkan suara salam dari luar. Kami tak menduga, tamu di pagi buta itu adalah Pak Usman, penghulu yang kemaren membatalkan kedatangannya. kami terkaget, hanya saling pandang.
“Maafkan sikap saya kemaren. Jika berkenan, saya hendak menikahkan mempelai sekarang.”
Tanpa menungu, kami bergegas menyiapkan prosesinya. Dalam prosesi akad nikah, Darma terlihat gemetar. Ia harus mengulang sampai dua kali dalam ijab qabul. Tangis haru pecah. Darma memelukku erat. Setelah akad nikah, kami melakukan syukuran dengan do’a bersama dan santap makanan bersama kerabat yang diundang.
Ponsel saya berdering, ada sebuah pesan dari Ayah “sampaikan salamku pada Darma, semoga bahagia”. Alhamdulillah, pekikku dalam hati.
Beberapa hari kemudian kuketahui bahwa Ayah lah yang melarang juga sekaligus yang membujuk dan memberikan pengertian kepada Pak Usman agar mau menjadi penghulu perkawinan Darma dan Siti. []