• Login
  • Register
Rabu, 21 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Menautkan Titik Temu, dan Titik Tengah dalam Beragama

Pada akhirnya berislam atau beragama secara umum adalah proses tak berkesudahan, untuk membuktikan iman (keyakinan/kepercayaan) pada-Nya dengan berbuat baik pada makhluk-Nya

Nur Rofiah Nur Rofiah
14/02/2022
in Publik, Rekomendasi
0
Urgensi UU TPKS, dan Misi Kerasulan

Titik Tengah

232
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Titik tengah kerap dipakai sebagai kata koentjie untuk menjelaskan maksud kata moderat, tawassuth, dan tawazun. Karenanya, makna ketiga kata ini kerap dicari dengan menemukan titik terkanan dan terkiri dulu. Barulah ketemu titik tengahnya.

Titik tengah garis lurus apalagi penggaris jelas mudah ditemukan. Begitupun titik tengah lingkaran dan bola. Tapi menemukan titik tengah sebuah benda dengan panjang, lebar, dan tinggi berbeda apalagi tak beraturan jelas lebih sulit.

Bayangkan betapa menantangnya menemukan titik tengah sebuah pemikiran apalagi keyakinan dalam beragama. Ia diwarnai dengan perbedaan, keragaman, perkembangan, dan perubahan terus menerus. Bukan agamanya loh yaaa tapi keyakinan dan pemahaman atasnya!

Seseorang bisa lahir sampai mati dengan agama yang sama tapi bisa berubah cara pandang dan perspektif dalam memahami agama. Bayangkan jika seseorang ini adalah sesekeluarga, sesemasyarakat, sesenegara, seseumat beragama.

Tidak Temu

Baca Juga:

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

Kontekstualisasi Ajaran Islam terhadap Hari Raya Waisak

Pesan Toleransi dari Perjalanan Suci Para Biksu Thudong di Cirebon

Temu Keberagaman 2025: Harmoni dalam Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Titik tengah pemikiran dan keyakinan dalam beragama  punya persamaan dengan titik tengah sebuah benda kongrit yang mudah diukur, seperti garis dan bola tadi, yaitu tidak ekstrim, baik kanan dan kiri pada garis, maupun juga atas dan bawah pada bola.

Ekstrim adalah berlebih-lebihan atau sebaliknya berkurang-kurangan. Bukan sekedar lebih atau kurang, tapi lebih yang berlebihan atau kurang yang banget. Jadi lebih-lebih dikit atau kurang-kurang dikit masih tidak dipandang ekstrim.

Sayangnya, menentukan titik ekstrim dalam hal yang abstrak seperti keyakinan beragama tidak semudah menentukan titik ekstrim dalam sesuatu yang kongkrit. Untungnya, buah keyakinan beragama adalah kongkrit, yaitu tindakan yang sesungguhnya mudah diukur. Misalnya apakah tindakan tersebut sesuai dengan cita-cita agama yang diyakininya atau justru bertentangan dengannya. Alias tidak konsisten!

Titik temu yang sekaligus menjadi Titik tengah semua agama dan kepercayaan keagamaan adalah:

  1. Keyakinan atas keberadaan DIA Yang Maha Segala-galanya; dan
  2. DIA memerintahkan manusia berbuat baik pada sesama manusia, bahkan pada sesama makhluk/ ciptaan-Nya.

Karena itu, ciri beragama yang moderat/ tawassuth/tawazun/titik tengah adalah mendatangkan kebaikan tidak hanya secara eksklusif pada sesama penganutnya, tapi juga secara inklusif pada sesama manusia, lintas agama, iman/ kepercayaan, bahkan lintas perbedaan dan keragaman sesama makhluk/ ciptaan-Nya.

Beragama yang moderat/tawassuth/tawazun adalah beragama yang setia pada cita-cita agama untuk mendatangkan kebaikan di muka bumi. Sebaliknya, beragama yang ekstrim adalah beragama yang justru mendatangkan kerusakan (mafsadat), apalagi bahaya (mudlarat), baik bagi pihak lain secara eksternal, maupun pihak sendiri secara internal.

Beragama secara ekstrim adalah beragama yang justru mendatangkan musibah, bukan anugerah, atau beragama yang mendorong umatmya berbuat kezaliman pada pihak lain, baik secara personal maupun sosial, dan baik secara individual maupun sistemik.

Sistem

Beragama yang moderat atau berpijak pada titik tengah meniscayakan cara pandang atas agama sebagai sebuah sistem dan proses. Sebagai sistem, setidaknya agama mengandung 3 jenis petunjuk yang tersusun secara hierarkhis:

1) Visi atau Cita-cita agama. Misi Islam misalnya adalah menjadi anugerah bagi semesta (rahmatan lil alamin). Berislam secara moderat adalah berislam dengan cara yang mendorong Muslim/Muslimah menjadi bagian dari anugerah bagi semesta;

2) Fondasi Moral agama: seperangkat nilai dan prinsip dasar dalam beragama. Di Islam, seperangkat nilai dan prinsip dasar ini bermuara pada penyempurnaan akhlak mulia manusia (liutammima makarimal akhlaq). Berislam secara moderat sama dengan berislam yang mendorong Muslim/ Muslimah berakhlak mulia;

3) Cara, yaitu petunjuk praktis agama untuk mewujudkan seperangkat nilai dan prinsip dasar agama di kehidupan kongkrit agar mendekat sedekat mungkin dengan sistem kehidupan yang sesuai dengan cita-cita agama.

Cara beragama mesti sesuai dengan Fondasi Moral dan  Fondasi Moral mesti sesuai dengan Visi atau Cita-cita Agama. Petunjuk agama tentang Visi dan Fondasi Moral bersifat universal sehingga tidak bisa dinegosiasikan. Artinya, mesti diterapkan secara tekstual sekali pun di setiap waktu dan tempat.

Sementara, petunjuk agama tentang cara, kadang tidak hanya boleh tapi bahkan harus dinegosiasikan.

Kapan?

Kapan saja petunjuk agama tentang cara ini jika dipahami secara tekstual di waktu atau tempat berbeda justru berdampak menjauh dari cita-cita agama, atau bertentangan dengan fondasi moral agama.

Bagaimana cara negosiasinya?

Petunjuk agama tentang cara ini dipahami secara kontekstual, bukan dengan menghapus teksnya, melainkan hanya menerapkannya secara tekstual saat menjumpai kembali konteks kehidupan serupa dengan konteks kehidupan yang melatari petunjuk agama tentang cara ini dulu muncul.

Berislam sesuai dengan cita-citanya adalah berislam yang mendatangkan anugerah pada semesta. Tunduk mutlak (ber-islam) hanya pada Allah (tauhid) adalah hanya tunduk mutlak pada nilai kebaikan bersama, sesama suami atau istri sebagai pasangan (zauj/zaujah), sesama anggota keluarga, anggota masyarakat, warga negara, umat manusia, bahkan sesama makhluk.

Tentu tantangan beragama seperti ini sangat  besar:

1) Secara eksternal, seperti kepentingan apapun secara kolektif, baik sebagai pasutri, keluarga, masyarakat/komunitas/etnis, umat beragama, dan bangsa yang bertentangan dengan cita-cita agama dan hanya bisa dipenuhi dengan melanggar fondasi moral agama;

2) Secara internal yaitu keinginan diri sendiri/ pribadi dalam kapasitas sebagai apapun, sebagai individu hingga sebagai pemimpin/tokoh/pemuka yang bertentangan dengan cita-cita agama dan hanya bisa ditempuh dengan cara yang melanggar fondasi moral agama.

Proses

Pada akhirnya berislam atau beragama secara umum adalah proses tak berkesudahan, untuk membuktikan iman (keyakinan/kepercayaan) pada-Nya dengan berbuat baik pada makhluk-Nya. Moderasi Beragama adalah proses tak berkesudahan untuk menjadikan agama sebagai kekuatan spiritual atau panggilan iman untuk mewujudkan kemaslahatan bersama siapa saja, apa saja, kapan saja, di mana saja, dengan cara apa saja yang baik.

Dalam konteks bernegara, Moderasi Beragama adalah proses tak berkesudahan yang dilakukan oleh segenap komponen bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia untuk membuktikan iman mereka pada Ketuhanan Yang Maha Esa dengan bekerjasama bahu membahu untuk:

1). Mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab;

2). Menjaga persatuan Indonesia;

3). Mengelola negara dengan prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksaaan dalam permusyawaratan perwakilan; dan

4). Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa kecuali!

Tanpa kecuali bermakna seluruh rakyat dengan segenap perbedaan dan keragaman mereka, baik secara etnis, agama, usia, kondisi fisik/pun lainnya yang dimiliki oleh bangsa ini.

Beragama di titik tengah dalam bernegara, adalah beragama yang terus  ikhtiyar mewujudkan 4 hal di atas sebagai panggilan iman.

Semoga kita semua mampu mendekati dan bertahan di titik tengah atau jantung agama dengan mampu mewujudkan kemaslahatan bagi diri sendiri sekaligus pihak lain dan mencegah keburukan dari diri sendiri sekaligus pihak lain, sebagai panggilan iman. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin. []

Tags: keberagamanModerasi BeragamaPerdamaianTitik Temutoleransi
Nur Rofiah

Nur Rofiah

Nur Rofi'ah adalah alumni Pesantren Seblak Jombang dan Krapyak Yogyakarta, mengikuti pendidikan tinggi jenjang S1 di UIN Suka Yogyakarta, S2 dan S3 dari Universitas Ankara-Turki. Saat ini, sehari-hari sebagai dosen Tafsir al-Qur'an di Program Paskasarjana Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur'an (PTIQ) Jakarta, di samping sebagai narasumber, fasilitator, dan penceramah isu-isu keislaman secara umum, dan isu keadilan relasi laki-laki serta perempuan secara khusus.

Terkait Posts

Peran Aisyiyah

Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan

20 Mei 2025
Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas

Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama

20 Mei 2025
Bangga Punya Ulama Perempuan

Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

20 Mei 2025
Nyai Nur Channah

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

19 Mei 2025
Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Bangga Punya Ulama Perempuan

    Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB dalam Pandangan Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman
  • Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version