Mubadalah.id – Surat Keputusan Bersama tiga menteri, yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 02/ KB/2021, Menteri Dalam Negeri nomor 025-199 tahun 2021 dan Menteri Agama Republik Indonesia nomor 219 tahun 2021 tentang Penggunaan Pakai Seragam bagi Peserta Didik, Penddik dan Tenaga Kependidikan di lingkungan lembaga pendidikan yang dikelola oleh negara, mendapat respons spontan yang beragam.
Konteks munculnya SKB ini adalah untuk mencegah terulangnya kejadian siswi non muslim diwajibkan berjilbab (yang pernah terjadi di wilayah masyoritas muslim), atau sebaliknya tidak terulang ada larangan berjilbab bagi siswa muslim (yang pernah terjadi di wilayah-wilayah di mana muslim sebagai minoritas).
SKB ini sesungguhnya menegaskan sesuatu yang biasa saja saja, terkait bagaimana mengelola keragaman di ruang publik sekolah dengan prinsip kesalingan universal. Dalam SKB ini disebutkan bahwa sekolah tidak diperkenankan membuat aturan yang mewajibkan seragam dengan bercorak keagamaan tertentu, dalam hal ini jilbab, baik mewajibkan atau melarang.
Siswa muslim yang berjilbab hendaknya merupakan keputusan pribadi dan keluarga. Sebaliknya bila siswa muslim memilih tidak berjilbab, hal itu dilakukan juga bukan karena larangan dari sekolah, melainkan keputusan pribadi dan keluarganya. Mencegah pemaksaan, adalah perwujudan prinsip yang ada dalam golden rule, ajaran yang ditemukan dalam banyak agama, “Perlakukan orang lain sebagaimana kamu ingin orang lain melakukan demikian padamu”.
Namun demikian ada juga pihak yang menyoroti sinkronisasi SKB ini dengan capaian kurikulum terkait salah satu kompetensi dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI), yaitu kompetensi spriritual yang dalam kurikulum itu ditunjukan dalam bentuk penggunaan pakaian sesuai syariat Islam, yaitu berjilbab untuk siswi muslim.
Anak ingin mendapat nilai bagus, maka kompetensi ini tentu akan dengan sadar atau terpaksa coba dipenuhi. Hal ini tampaknya disorot sebagai celah dalam SKB tersebut yang belum sinkron dengan kurikulum PAI. Celah ini pula yang mengundang keberatan dari Majelis Ulama Indonesia dengan mengusulkan agar SKB ini direvisi, sebagai mana pernah disinggung salah satu ketua MUI KH Cholil Nafis dalam sebuah talk show di TV One.
Di beberapa kalangan muslim ternyata cukup banyak yang berpendapat bahwa “Di lingkup internal muslim, untuk keperluan pendidikan, memaksa itu tidak apa-apa, bila nanti terbiasa maka anak akan memahami mengapa mereka perlu belajar dan melakukan ketentuan agama”. Pandangan terkait metode mendidik ini tentu masih perlu diperiksa kembali.
Mengacu pada prinsip-prinsip pendidikan yang menempatkan peserta didik sebagai subyek, mengajak peserta didik belajar dengan cara memaksa, menciptakan kondisi yang membebani dan dapat menimbulkan ketidakjujuran dalam bersikap. Akan lebih bijaksana memberi kesempatan peserta didik untuk berproses dengan dirinya sendiri dan belajar dengan metode yang memberi ruang diskusi lebih luas, dalam hal ini misalnya mendiskusikan cara pandang yang lebih inklusif tentang jilbab.
Tema ini penting untuk memenuhi rasa ingin tahu sesuai alam pikir generasi saat ini yang tentu berbeda dengan alam pikir generasi sebelumnya. Tema-tema yang mungkin menarik misalnya, jilbab sebagai tradisi agama-agama Ibrahimi, bahwa dalam agama Yahudi, Kristiani dan Islam terdapat tradisi menggunakan jilbab. Mengapa agama-agama ini memelihara tradisi menutup kepala dan berbaju panjang? Dilanjutkan dengan tema dari aspek antropologi, makna apa yang hendak disampaikan dengan simbol pakaian seperti ini?
Dengan tema yang didiskusikan ini, pembelajaran tidak sekedar berkutat tentang nash yang biasa dijadikan dasar ajaran penggunaan jilbab. Peserta didik juga dapat meluaskan wawasan tentang kebhinekaan global. Dari pembahasan aspek antropologis, peserta didik juga mendapat pengayaan wawasan, bahwa menutup sebagian tubuh itu juga bagian dari cara berkomunikasi pada khalayak.
Busana juga mengandung makna, misalnya dalam dalam hal ini hendak menjelaskan kemanusiaan, baik perempuan maupun laki-laki yang tidak sekedar pada aspek ketubuhan. Kemanusiaan perempuan mengandung seluruh postensi ruhaniah, intelektual, kecakapan membangun komunikasi dan relasi maupun dalam ekspresi seni sebagaimana ada pada laki-laki.
Dari aspek antropologis, peserta didik juga makin diperkaya dengan kajian perbandingan madzhab tentang menutup aurat, sekaligus perbandingan budaya. Dengan wawasan yang inklusif dan melibatkan banyak aspek pembahasan juga sebagai cara mencegah cara pandang yang menjadikan tubuh perempuan sebagai obyek.
Metode pembelajaran agama tanpa paksaan justru lebih memperkaya cara pandang dan intinya diharapkan sampai pada tujuan pemahaman kain penutup itu bagi perempuan sebagai sarana mengajak khalayak untuk lebih fokus pada hal yang lebih substansial pada martabat kemanusiaan perempuan. Perbedaan tubuh laki-laki dan perempuan terkait dengan fungsi reproduksi maupun fungsi sosial di mana semua pihak dalam kehidupan bersama perlu saling melengkapi.
Dengan metode pembelajar yang dialogis dan inklusif, pendidikan agama juga mendorong peserta didik untuk lebih reflektif, agar mereka tidak sekedar tahu dan hapal ajaran agama, namun mampu mewujudkan nilai dan spiritualitas keagamaan di tengah berbagai tantangan kehidupan. Diskusi semacam ini juga menjadi bagian dari penanaman nilai kesetaraan antar manusia.
Dalam konteks pemenuhan kompetensi spiritual dalam kurikulum PAI, jilbab masih berupa sarana. Bila kompetensi spiritual yang hendak dicapai, maka akan lebih tepat mengarah pada capaian yang lebih substantif, bukan pada aspek formalitas.
Misalnya adalah bagaimana peserta didik perempuan mampu melampau hambatan sosial kultural untuk menumbuhkembangkan semua potensi yang dimiliki sehingga mampu berperan lebih besar sebagaimana semua manusia mendapat amanah sebagai khalifatullah fil ardhi. Jilbab sebagai sarana pengingat yang tentu pada saat yang sama adalah pemenuhanan perintah ajaran agama. Sarana perlu ditempatkan sebagai sarana, bukan tujuan itu sendiri.
Dengan demikian, SKB ini meski pun memberi tantangan lebih bagi bagi guru-guru PAI, namun justru sebagai pintu masuk pembaharuan agar pengelolaan pendidikan agama tidak berhenti pada aspek formal keagamaan. Dengan metode refleksi ajaran yang berdialog dengan kehidupan, pembelajaran juga mengarah pada hal-hal subtansial, terkait nilai kesetaraan, perdamaian dan keadilan. []