Mubadalah.id – Tidak ada orang tua yang memilih untuk melahirkan anak dengan disabilitas. Namun, seringkali kehidupan membawa orang tua pada sebuah perjalanan yang mengajarkan mereka makna baru tentang cinta, kesabaran, dan keadilan.
Salah satunya adalah tetangga saya, yang memiliki seorang anak dengan kebutuhan khusus. Setiap hari, anaknya terisolasi di dalam rumah. Pola asuhnya membatasi interaksi sang anak dengan lingkungan sekitar, karena bagi sang ibu, membiarkan anaknya keluar rumah berarti memberi beban tambahan. Baik pada orang lain maupun pada anak itu sendiri.
Kehadiran anak dengan kebutuhan khusus seringkali mengajak orang tua untuk menyesuaikan kembali harapan. Hingga akhirnya mengubah cara pandang, bahkan berdamai dengan rasa malu atau stigma yang kerap dilekatkan oleh lingkungan sekitar.
Tetapi sesungguhnya di titik-titik itulah, pelajaran penting terungkap. Anak-anak dengan disabilitas bukan semata-mata amanah biologis. Mereka adalah guru kehidupan, yang tanpa suara lantang mengajarkan kita mencintai dengan lebih lembut. Melihat dengan cinta kasih, dan menjadi manusia dengan cara yang lebih utuh.
Realitas Sosial yang Menghimpit
Bagi banyak keluarga, disabilitas bukan hanya soal keterbatasan fisik atau mental anak, tetapi juga soal stigma yang menjerat. Tidak sedikit orang tua memilih mengisolasikan anak mereka karena takut dianggap aib.
Anak difabel sering mendapat perlakuan sebagai tuntutan beban. Bukan sebagai pribadi yang utuh dengan hak-hak yang sama. Di desa maupun kota, masih mudah kita jumpai keluarga yang membatasi ruang gerak anaknya, bahkan tidak menyekolahkan mereka dengan alasan “percuma.”
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mencatat bahwa dari sekitar 8,3 juta penyandang disabilitas di Indonesia, banyak yang masih menghadapi keterbatasan akses pendidikan, layanan kesehatan, dan dukungan keluarga (KPPPA, 2021).
Artinya, orang tua bukan hanya teruji oleh kondisi anak, tetapi juga oleh sistem sosial yang belum sepenuhnya ramah disabilitas. Tantangan ini menjadikan perjalanan orang tua merawat anak difabel bukan sekadar urusan pribadi, melainkan pergulatan sosial yang nyata.
Lebih menyedihkan lagi, beban pengasuhan hampir selalu kita tumpukan pada ibu seorang diri, sementara ayah absen atau sekadar hadir lewat nafkah. Akibatnya, anak difabel kehilangan kesempatan untuk tumbuh dalam penerimaan ruang domestik, sementara ibu kehilangan ruang untuk bernapas. Inilah lingkaran realitas yang kerap lebih menyakitkan daripada disabilitas itu sendiri.
Orang Tua Memberikan Sepenuh Hati dan Tanpa Syarat
Menjadi orang tua dari anak dengan disabilitas bukanlah peran yang mudah, juga bukanlah beban yang harus terpikul sendirian. Semua orang harus sadar melihat anak disabilitas bukan sebagai objek, melainkan subyek manusia yang utuh.
Selain itu harus ada perhatian khusus dari ruang pubik, lingkungan sekitar haruslah ramah dan bisa membantu segala kebutuhan disabilitas. Karena mereka adalah amanah sekaligus jalan pengabdian—yang tak hanya menguji batas fisik dan mental, tetapi juga memperluas ruang cinta dan makna dalam diri seseorang.
Termasuk juga yang paling krusial ialah hadirnya sosok ayah yang turut andil dalam pengasuhan sang anak. Tugas utama orang tua bukanlah “memperbaiki” anak agar seperti kebanyakan, melainkan memberikan dengan sepenuh hati dan tanpa syarat.
Mereka perlu memperjuangkan akses pendidikan, layanan kesehatan, dan hak-hak dasar anak—yang mungkin tidak mudah didapatkan tanpa perjuangan ekstra. Penerimaan ini adalah pondasi dari semua hal: dari keberanian anak untuk bertumbuh, hingga rasa percaya dirinya menghadapi dunia.
Selain itu, peran ayah dalam pengasuhan anak disabilitas kurang mendapat perhatian, padahal kehadiran dan keterlibatan ayah sangat menentukan tumbuh kembang emosional dan psikologis anak. Ketika ayah aktif mendampingi dan menunjukkan dukungan, anak akan merasa lebih diterima dan percaya diri menghadapi tantangan hidupnya.
Dukungan ini juga mengurangi beban yang selama ini hanya terpikul oleh ibu, sehingga membangun keseimbangan dalam keluarga. Oleh karena itu, membangun kesadaran akan pentingnya peran ayah dalam pengasuhan inklusif bukan hanya soal tanggung jawab, melainkan juga bagian dari upaya mewujudkan keluarga yang harmonis dan inklusif bagi seluruh anggotanya. []