Mubadalah.id – Al-Qur’an telah memberikan kesaksian yang sangat jelas tentang pribadi Nabi Muhammad Saw yang memiliki akhlak yang luhur. Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS. al-Qalam [68]: 4).
Ayat ini menjadi dalil bahwa risalah kenabian tidak hanya ditopang oleh wahyu. Tetapi juga oleh keteladanan akhlak luhur yang melekat pada diri Nabi Muhammad Saw.
Dalam berbagai riwayat, Nabi digambarkan sebagai pribadi yang jujur (al-Amin), penuh kasih, dan suka menolong siapa saja, tanpa membedakan suku maupun agama. Akhlak luhur inilah yang justru menjadi pintu masuk dakwah beliau, sehingga mampu meluluhkan hati banyak orang.
Salah satu kisah yang sangat terkenal dan tercatat dalam Shahih al-Bukhari (no. 1371) adalah pengalaman Nabi Muhammad Saw. dengan seorang pelayan yang beragama Yahudi. Ketika pelayan itu jatuh sakit, Nabi tidak berpangku tangan.
Beliau datang menjenguknya, duduk di sisi kepalanya, bahkan dengan penuh kelembutan mengelusnya sambil berkata, “Maukah engkau masuk Islam?” Sang pelayan lantas menoleh kepada ayahnya.
Dengan restu sang ayah, akhirnya pelayan tersebut memeluk Islam. Peristiwa ini menunjukkan bahwa akhlak Nabi—yang penuh perhatian, hormat, dan kasih sayang.
Hal ini ditegaskan pula oleh kesaksian Anas bin Malik Ra., yang selama sepuluh tahun menjadi pelayan Nabi. Ia menuturkan bahwa Nabi tidak pernah sekalipun merendahkannya, memarahinya, atau mengeluhkan pekerjaannya (HR. Ahmad no. 13234, juga tercatat dalam Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, dan lainnya).
Menurut pandangan Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya Relasi Mubadalah Muslim dengan Umat Berbeda Agama bahwa Nabi Muhammad Saw tidak pernah mengangkat tangannya untuk memukul pelayan atau istrinya, sebagaimana dalam riwayat Aisyah Ra. (HR. Muslim no. 6195).
Maka dari itu, hadits di atas menegaskan akhlak Nabi selalu menghadirkan kasih sayang, kesabaran, dan penghargaan terhadap martabat manusia. Tidak peduli apakah yang beliau hadapi adalah keluarga, pelayan. Atau bahkan tetangga Yahudi yang pernah berutang-piutang dengan beliau (Sunan an-Nasa’i no. 4668). []