Mubadalah.id – Sebulan terakhir, netizen di Indonesia terutama dari kalangan istri dan Ibu-Ibu heboh dengan salah satu konten dari seorang konten kreator di salah satu media sosial. Konten tersebut berhasil mengundang atensi, emosi, dan pertanyaan-pertanyaan bagi netizen. Pasalnya, hampir seluruh konten dalam akun tersebut berisi tips memasak dengan membelanjakan uang kurang dari sepuluh ribu.
Meninjau Isi Konten
Konten kreator tersebut menuliskan judul vt dengan kata-kata “Sepuluh Ribu di Tangan Istri yang Tepat”, “Lima Ribu di Tangan Istri yang Tepat”, “Dua Ribu di Tangan Istri yang Tepat”. Pasalnya, konten kreator tersebut membelanjakan uang ribuan untuk bahan pangan menjadi lauk dan sayur makan.
Misalnya, pada video berjudul “Enam Ribu Lima Ratus di Tangan Istri yang Tepat”, sang konten kreator membelanjakan sebanyak 150 gram ayam seharga Rp. 5000, kemangi satu ikat Rp. 500 dan daun pisang Rp. 1.000.
Jika kita tinjau kembali, harga-harga yang tertera adalah harga yang tidak masuk akal. Netizen mempertanyakan lokasi sang konten kreator hingga bisa mendapatkan harga yang begitu murah? Sedangkan harga pangan saat ini sedang melambung tinggi. Netizen lain juga menanyakan kebenaran video tersebut.
Misalnya, untuk harga satu buah jagung yang berharga Rp.500 pada video yang lain, netizen membandingkan bahwa harga rata-rata untuk jagung besar sendiri berkisar pada harga Rp.2.000-3.000. Tidak ada satu pun netizen yang menemukan harga satu jagung besar yang berkisar harga Rp.500.
Kejanggalan dari konten kreator tersebut semakin terlihat jelas. Sang konten kreator menjelaskan bahwa ia membeli dengan harga asli di salah satu pasar Surabaya. Setelah banyaknya video mengenai konten sepuluh ribu di tangan istri yang tepat, saya menemukan ada stitch video dari netizen lain yang menjelaskan bahwa sang konten kreator membeli sayur sisa di pasar tradisional. Sayur sisa ini bernilai (harga) sangat murah daripada harus terbuang. Lagi-lagi, netizen geram dengan sikap konten kreator tersebut.
Terjadinya Perilaku Abusive dan Eksploitatif pada perempuan
Setelah viralnya konten seperti ini, ada banyak keresahan dan kecemasan oleh istri dan Ibu-Ibu. Mereka menganggap, konten seperti ini tidak memiliki informasi tambahan (porsi untuk berapa orang hingga untuk berapa kali makan) yang mengakibatkan terjadinya selisih paham dengan para suami.
Istri dan Ibu-Ibu menganggap bahwa apabila suami melihat konten tersebut dan menormalisasikan hal itu, para istri khawatir mereka akan jadi korban dalam rumah tangga. Misalnya, suami akan membandingkan istri yang tidak becus dalam mengatur keuangan keluarga karena boros atau tidak dapat berhemat.
Kedua, suami bisa saja memberikan nafkah yang ‘jauh dari sedikit’ namun meminta menu masakan yang mewah. Apabila istri tidak menyanggupi, bisa jadi istri akan mendapatkan perlakuan perbandingan dengan konten kreator yang dapat memasak menu yang telihat “mewah” hanya dengan uang ribuan rupiah.
Ketiga, suami yang menormalisasikan hal seperti ini dapat membahayakan anak-anak terutama yang sedang dalam tahap bertumbuh dan berkembang.
Anak-anak memerlukan makanan yang sehat, bergizi, dan memiliki nutrisi untuk mendukung kesehatan dan perkembangannya. Padahal, jika hanya memasakkan menu makan dengan total kurang dari sepuluh ribuan masih sangat kurang bagi kebutuhan anak.
Pada akhirnya, kasus stunting dapat bertambah lebih banyak. Selain itu, harga pangan yang sedang melambung tinggi tidak sesuai dengan konten tersebut. Salah satu netizen berkomentar bahwa lebih baik ia memiliki label sebagau istri yang boros dan tidak tepat daripada harus mengais sayur sisa dan rusak untuk makan.
Di sisi lain, saya menemukan salah satu vt yang mewakili istri dan Ibu-Ibu. Kurang lebih seperti ini pesannya,
“Takut banget makin ke sini liat konten si Ibu-Ibu itu. Awalnya gue kira itu konten cerdas mengatur keuangan. Tapi setelah liat konten-konten berikutnya, kok jadi kepikiran: Apa yang sedan terjadi pada mentalnya? Jangan-jangan ini bentuk denial bahwa dia sedang hidup bersama orang yang kurang baik dalam menafkahinya? Takutnya, dimanfaatkan oleh oknum-oknum (suami) tak bertanggungjawab untuk membenarkan asal-asalan dalam menghidupi istri dan keluarganya”
Bijak dalam Bermedia Sosial
Sampai saat ini, tidak ada informasi seperti identitas konten kreator tersebut. Pun juga tidak ada informasi mengenai apa latar belakang, masalah, dan alasan konten kreator tersebut selalu menciptakan konten yang seperti itu?
Pada sisi lain, hal ini dapat menjadi pelajaran bagi kita untuk bijak dalam bermain media sosial dan menciptakan nilai bagi setiap konten media sosial kita. Dalam konten seperti ini, netizen tersulut emosi karena pemilihan judul konten yang kurang pas.
Misalnya, penggunaan kata “Istri yang Tepat” seakan-akan bermakna bahwa istri-istri yang berbelanja lebih dari sepuluh ribu bukanlah istri yang tepat. Boros, tidak dapat mengatur keuangan, tidak kreatif dalam membeli bahan pangan, tidak bisa berhemat.
Hal ini memberikan makna dan tafsiran yang berbeda-beda, apabila dibiarkan dapat berubah menjadi suatu hal yang fatal. Jangan sampai adanya konten-konten seperti ini malah menimbulkan perilaku abusive dan eksploitatif oleh oknum (khususnya suami-suami) yang tidak bertanggung jawab kepada perempuan.
Akan lebih baik, jika kita ingin membuat konten seperti itu untuk memberikan keterangan tambahan, Misalnya uang sepuluh ribu dibelanjakan untuk sayur dan lauk dengan catatan untuk satu kali makan sebanyak 1-2 orang.
Kemudian, pemilihan judul kata “Sepuluh Ribu di Tangan Istri yang Tepat” dapat diubah menjadi “Cara Hemat Masak dengan Uang Sepuluh Ribu”. Mungkin, keteragan-keteragan seperti ini terlihat sepele. Namun, dengan adanya keterangan atau informasi tambahan, dapat memberikan pengetahuan, informasi yang jelas, dan tidak menimbulkan kesalahpahaman. []