Mubadalah.id – Perbedaan interpretasi masing-masing ulama tentang batas aurat perempuan didasarkan pada beberapa hal: teks hadits, informasi atau pernyataan sahabat Nabi dan logika hukum (illat).
Dalam literatur fiqh Syafi’i, Hanafi dan Maliki, yang sering menjadi rujukan dalam memperkuat interpretasi mereka terhadap phrase ma dzahara minha adalah ucapan sahabat Nabi yaitu Ibn Abbas r.a. “kecuali muka dan kedua telapak tangan”.
Ucapan Ibn Abbas r.a. ini sering menjadi rujukan bagi para ulama yang memilih untuk mengatakan bahwa wajah dan telapak tangan perempuan adalah bukan bagian aurat.
Sementara teks hadits yang menjadi tujukan dalam mentafsiri al-Qur’an surat an-Nur ayat 31, di antaranya adalah:
“Dari Aisyah bahwa Asma bint Abu Bakr masuk ke Rasulullah Saw, dia mengenakan pakaian yang tipis, (melihat hal itu, beliau Nabi memalingkan mukanya sambil berkata: “Wahai Asmd!, sesungguhya perempuan itu kalau sudah sampai (umur) haidl (dewasa) tidak lagi pantas untuk memperlihatkan (tubuh)-nya kecuali ini dan ini”. Nabi memberi isyarat tangannya dengan menunjukkan ke muka dan telapak tangan beliau.” (HR. Abu Dawud)
Hadits Dha’if
Teks hadits ini menurut Abu Dawud, sang perawi hadits ini, tidaklah valid, karena sanadnya (matarantai narasumber) terputus. Perawinya, Khalid bin Durayk, tidak bertemu langsung dengan Siti Aisyah r.a. Keadaan ini menyebabkan hadits ini adalah dha’if (lemah).
Khalid sendiri, di samping tidak bertemu langsung dengan Siti Aisyah, menurut para ahli hadits, adalah orang yang tidak dikenal (majhul). Beberapa teks hadits lain yang dijadikan dasar hukum untuk menyatakan bahwa batas aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya selain muka dan telapak tangan adalah:
Dari Aisyah r.a. bahwa Nabi Saw bersabda: “Allah tidak menerima shalat perempuan yang sudah haid kecuali dengan memakai tutup kepala.” (HR. Ibn Majah)
Teks hadits ini dinilai para ahli hadits secara berbeda. Al-Turmudzi memberinya predikat baik (hasan). Ibn Hibban menilai shahih. Sementara Imam al-Qurthubi menganggapnya mawquf, berhenti hanya sampai sahabat, tidak sampai Nabi. Bahkan Imam alHikim menganggap hadits ini bermasalah, cacat (ma’lal).
Di dalam teks ini disebutkan bahwa perempuan yang sudah haid (dewasa), yang hendak shalat diperintahkan untuk menutup kepalanya.
Penutup Kepala
Dalam bahasa Arab penutup kepala atau kerudung ini disebut khimar. Jika perintah tersebut diartikan sebagai kewajiban, maka apakah kewajiban ini berlaku bagi bagian wajah, telapak tangan dan telapak kaki?
Teks ini jelas tidak menyebutkannya secara eksplisit, tetapi ulama sepakat berpendapat bahwa wajah dan dua telapak tangan bukanlah bagian dari aurat yang wajib ia tutup ketika salat. Untuk telapak kaki, ulama berbeda pendapat. Perbedaan juga muncul dalam kasus aurat di luar shalat.
Teks hadits ini hanya bisa menjadi dasar untuk melegitimasi bahwa kepala perempuan dalam sembahyang haruslah ia tutup dengan kerudung (khimar) dan bagi mayoritas ulama, hanya untuk perempuan merdeka, bukan perempuan hamba hamba sahaya.
Hadits lain: “Dari Ummu Salamah, dia bertanya kepada Nabi Saw tentang perempuan yang sembahyang memakai baju dan kain penutup kepala, tanpa memakai sarung. Nabi bersabda: “(boleh) kalau baju itu panjang sampai menutup bagian atas dari telapak kakinya.” (HR. Abu Dawud).
Menurut sebagian ulama teks hadits ini adalah hadits shahih. Tetapi ulama madzhab Hanafi menganggap teks hadits ini lemah (dha’if).
Al-Zayla’i menyebutkan beberapa ulama hadits yang melemahkan teks hadits ini, antara lain Ibn al-Jawzi dan Abu Hatim.
Karena itu, ulama madzhab Hanafi membolehkan telapak kaki perempuan terbuka baik di dalam maupun di luar sembahyang. Padahal di dalam teks hadits ini secara eksplisit menyebutkan bahwa telapak kaki perempuan harus perempuan tutup ketika sembahyang, yang berarti telapak kaki adalah aurat. []
Sumber : Buku Jilbab dan Aurat Karya KH. Husein Muhammad