“Ibu kepingin milih yang perempuan. Beliau perempuan tangguh, udah tiga kali nyalon masih tetap kuat. Ibu yakin periode ini pasti menang,” ucap ibu ketika berangkat ke TPS untuk memilih calon gubernur.
Mubadalah.id – Benar saja. Calon gubernur perempuan kali ini menang. Kalimat ibu di atas merupakan ungkapan yang pernah ia ucapkan beberapa tahun silam ketika pergi ke TPS untuk pemilihan gubernur. Kebetulan, gubernur di Jawa Timur adalah perempuan, ibu Khofifah Indarparawansa.
Sebagai rakyat biasa yang memiliki hak untuk memilih, kehadiran perempuan dalam dunia politik, utamanya dalam pemilihan gubernur, pemimpin tingkat provinsi, ia seperti oase yang memberikan warna baru dalam dunia politik.
Sebab kalau kita dengar dari berbagai opini, politik adalah dunia pertarungan, partisipasi perempuan tidak cukup kuat menghadapi gejolak yang terdapat di dalamnya. Namun, kita perlu mengapresiasi secara serius kehadiran perempuan dalam ranah politik. Maka affirmative action yang menjadi salah satu pembahasan cukup serius untuk melihat keterwakilan perempuan dalam ranah politik ini, perlu terus untuk kita bahas.
Politik Afirmasi Perempuan
Kebijakan tentang affirmative action di Indonesia memang perlu kita lihat secara detail. Setidaknya kita bisa melihat dari beberapa peraturan, di antaranya: Pertama, Undang-Undang (UU) No. 68 Tahun 1958 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Politik Perempuan tentang untuk tidak mendapatkan diskriminasi dalam pemilu.
Kedua, UU No. 12 Tahun 2003 pasal 65 ayat 1 tentang keterwakilan perempuan oleh partai politik dalam pemilihan umum DPR, DPD, DPRD. Ketiga, UU no 10 tentang Pemilihan Umum anggota legislative mensyaratkan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan dalam daftar calon legistlatif. UU no 2 tahun 2008 partai politik menjamin minimal 30% keterlibatan perempuan di partai politik.
Perbedaan yang sangat terlihat antara UU pada tahun 2003 dengan UU tahun 2008 adalah metode zipper system. Dalam pemahaman saya, metode ini akan menetapkan salah satu di antara 3 orang yang dicalonkan oleh partai untuk maju dalam pemilihan adalah perempuan.
Dalam sebuah contoh, apabila suatu partai mencalonkan 3 orang maju di pemilu, dengan nomor urut 1, 2 atau 3, maka salah satu di antara tiga tersebut haruslah perempuan.
Apakah strategi ini cukup membantu kehadiran perempuan dalam politik? Tentu. Berdasarkan data yang ada, jika dibandingkan dengan pemilu tahun 2004-2009 dengan kebijakan affirmative action tanpa metode zipper system, sebanyak 11,6 % perempuan yang ada di parlemen.
Data Partisipasi Perempuan dalam Politik
Data ini lebih sedikit dibandingkan dengan pemilu tahun 2009-2014. Di mana terdapat 18% perempuan yang ada di parlemen. Kebijakan affirmative action dengan metode zipper system, merupakan salah satu upaya yang cukup baik dalam mendorong kehadiran perempuan di politik.
Data terakhir, utamanya pemilu tahun 2019-2024, sebanyak 20,5% perempuan yang terdapat di parlemen. Angka ini masih jauh dengan kuota 30% yang pemerintah dorong untuk mendukung keterwakilan perempuan. Mengapa data ini masih sangat rendah? Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi, di antaranya:
Pertama, sistem pemilihan umum. Sistem pemilihan umum yang Indonesia terapkan, adalah terbuka. Artinya, keputusan ada di tangan rakyat untuk memilih setiap calon yang partai usung. Rakyat harus memiliki kesadaran untuk memilih politisi perempuan dengan wacana politik yang ia miliki.
Apabila rakyat menerima kehadiran perempuan dengan mempertimbangkan kualitas si calon, maka akan semakin banyak perempuan yang terpilih di parlemen.
Kedua, partai politik. Kuota 30% yang tercantum dalam Undang-Undang, apakah sudah terealisasikan oleh partai? Benarkah partai secara serius mengusung keterlibatan perempuan dengan merekomendasikan perempuan yang memiliki kualitas mumpuni untuk memimpin?
Menyoal Ruang Aman Politisi Perempuan
Benarkah partai sudah memberikan ruang aman bagi politisi perempuan untuk terus menempa diri agar mampu menjadi tokoh publik? atau jangan-jangan partai hanya menjadikan perempuan pelengkap kuota 30% agar partainya bisa mencalonkan diri untuk menjadi wakil rakyat?
Ketiga, kultur masyarakat. Budaya patriarki yang mengakar kepada masyarakat, terus menjadi masalah yang sangat besar. Kehadiran perempuan dalam ranah politik tidak diterima begitu saja oleh masyarakat. Seringkali politisi perempuan masih dipertanyakan akuntabilitasnya sebagai seorang istri, ibu ataupun pekerjaan domestik lainnya.
Pertanyaan yang sering muncul ketika ada politisi perempuan maju untuk mencalonkan diri sebagai perwakilan rakyat, Siapa pendukungnya di belakang? Bagaimana kehidupan rumah tangganya? Pertanyaan-pertanyaan ini lebih banyak masyarakat cari, dibandingkan dengan melihat wacana politik yang diusung oleh politisi perempuan. []