Mubadalah.id – Untuk memahami biografi Fatima Mernissi tidaklah sulit karena di dalam karangannya ia dengan jelas telah menceritakan dan mengenalkan kehidupannya, bahkan sejak kanak-kanak hingga dewasa.
Fatima Mernissi lahir pada tahun 1940 di Qarawiyeen, Maroko. Dalam bukunya, Ia mengatakan :
“Selama masa kanak-kanak, saya memiliki hubungan perasaan yang bertentangan dengan al-Qur’an, di sekolah al-Qur’an kami dididik dengan cara yang keras. Namun bagi pikiran kanak-kanak saya, hanya keindahan rekaan al-Qur’an versi nenek saya yang buta huruf, Laila Yasmina, yang lelah membuka pintu menuju sebuah agama yang puitis”.
Bersama neneknya, Yasmina, yang menderita penyakit insomnia yaitu penyakit tidak bisa tidur, Fatima selalu mendapat pengalaman-pengalaman yang berharga melalui beberapa ceritanya.
Terutama ketika pagi bangun tidur dan menyantap makanan Mahrasy (semacam serabi). Mernissi bersama saudara-saudaranya semakin kagum dan menyayangi nenek, karena ketika bercerita mereka bebas bermain kata-kata.
Berbeda dengan cara mendidik di Sekolah al-Qur’annya, yang dia dapati justru penekanan-penekanan, seperti hukuman bagi peserta didik yang tidak melafalkan atau menghafalkan al-Qur’an.
Menurut Mernissi, sebenarnya jarang di antara muhadirah (pelajar yang lebih tua) yang pintar, tetapi karena telah terobsesi dengan pelafalan. Sehingga tidak pernah menjelaskan makna kata-kata dalam al-Qur’an. Akibatnya pelajarannya tidak berbekas.
Hal ini sangat kontradiktif sekali dengan kehidupannya di rumah bersama neneknya. Hal inilah yang membuat Fatima pergi meninggalkan kotanya menuju Madinah.
Awal Belajar Hadis
Pada masa remaja Fatima Mernissi mulai mengenal dengan pelajaran as-sunnah. Beberapa hadits yang bersumber dari Imam Bukhari, sering dikisahkan oleh beberapa gurunya, sebagaimana disebutkan dalam tulisannya:
“Membuat hati saya terluka, Rasulullah saw. bersabda: Anjing, keledai dan perempuan, akan membatalkan shalat seseorang apabila ia melintas di hadapan mereka, menyela di antara orang yang shalat dan kiblat”.
Saya amat terguncang mendengar hadits semacam ini, saya hampir tak pernah mengulanginya, dengan harapan kebisuan akan membuat hadits ini terhapus dari ingatan saya.
Saya yang bersemangat, antusias hanya mampu sebagai remaja 16 tahun berkata kepada diri saya: “Bagaimana mungkin Rasulullah mengatakan hadits semacam itu?”
Sikap emosional serta kecenderungan memberontak terhadap apa yang ia dapati dari teks al-Qur’an maupun Hadits. Ternyata bukan hanya mempengaruhi kehidupan masa kanak-kanak dan remaja Fatima Mernissi. Bahkan ketika ia dewasa, sikap tidak suka semacam ini tampil demikian jelas.*
*Sumber : tulisan karya Anisatun Muthi’ah dalam buku Menelusuri Pemikiran Tokoh-tokoh Islam.