Mubadalah.id – Pada minggu lalu, tepatnya di tanggal 11 Desember 2023, aku dan teman-teman mahasiswa semester satu Sarjana Ulama Perempuan Indonesia (SUPI), Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon, melakukan studi lapangan di masyarakat adat Sunda Wiwitan.
Dalam pelaksanaannya, studi ini didampingi langsung oleh dosen pengampu mata kuliah Studi Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu Ibu Alifatul Arifiati.
Dalam studi lapangan ini, kami berkunjung ke desa Cigugur, Kabupaten Kuningan. Di sana terdapat suatu agama lokal yang dianut oleh masyarakat setempat, yaitu Sunda Wiwitan. Dan kami dipersilahkan untuk belajar dan mengenal langsung dari mereka yang menganut Sunda Wiwitan.
Jujur saja, ini baru pertama kalinya aku mendengar bahwa ada kepercayaan tersebut. Aku sempat bertanya-tanya, “sebenarnya sunda wiwitan ini seperti apa?,” “bagaimana cara beribadah mereka?,” “apa saja ajaran yang ada di dalamnya?”, dan masih banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi isi kepala.
Sesampainya di sana, kami disambut hangat langsung oleh Rama Anom Pangeran Gumirat Barna Alam, putra dari Pangeran Jatikusuma. Beliau merupakan pupuhu (pimpinan) Sunda Wiwitan. Lalu, kami dipersilahkan masuk ke sebuah ruangan yang disebut Paseban Tri Panca Tunggal.
Sesudah memperkenalkan diri, Pangeran Gumirat (Rama Anom) menceritakan asal mula adanya Sunda Wiwitan. Menurutnya, Sunda Wiwitan sudah ada sejak lama, bahkan jauh sebelum agama lain masuk ke Indonesia. Kepercayaan lokal ini bawa oleh Pangeran Kusuma Adiningrat atau Pangeran Sadewa Madrais Alibasa Kusuma Wijaya Ningrat.
Nilai Tradisi Leluhur
Rama Anom menuturkan bahwa penghayat Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan lokal yang ajarannya mengikuti nilai-nilai tradisi leluhur. Sunda Wiwitan memiliki kepercayaan kepada Sang Hyang Tunggal atau Sang Hyang Kersa yang maknanya sama dengan Tuhan yang Maha Esa.
Nilai-nilai tradisi leluhur yang mereka ajarkan seperti toleransi dan saling menghormati antar umat beragama yang sudah mendarah daging di kalangan penganut Sunda Wiwitan. Maka tak heran, jika di Cigugur ada satu keluarga dengan menganut agama yang berbeda. Seperti orang tuanya Sunda Wiwitan, sedangkan anak-anaknya ada yang Islam, ada yang Kristen.
“Pada dasarnya kami meyakini semua agama di nusantara bertujuan kepada yang satu. Pangeran madrais mengajarkan agar manusia bisa hidup damai, meski tidak sepengakuan. Karena pada dasarnya perbedaan itu datang dari Tuhan” ujar Rama Anom. Karena mempunyai pandangan hidup seperti itu, maka hampir tidak ada konflik yang pernah terjadi antara penghayat sunda wiwitan dengan agama lainnya.
Masalah KTP
Selain menjelaskan sejarah, pencetus dan ajaran Sunda Wiwitan, Rama Anom juga menceritakan masalah yang masih masyarakat penganut Sunda Wiwitan alami.
Dalam pembuatan KTP (Kartu Tanda Penduduk), masyarakat sunda wiwitan tidak bisa mencantumkan kepercayaan yang mereka yakini dalam kolom agama di KTP, hanya karena kepercayaan tersebut belum di akui oleh negara. Padahal kepercayaan ini sudah ada sejak lama jauh sebelum enam agama masuk ke Indonesia.
Mendengar penjelasan ini sungguh aku sangat sedih. Pasalnya realitas ini tidak sesuai dengan UUD no. 36 tahun 2006 pasal 22 ayat (1) dan (2) yang berbunyi “setiap orang berhak memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Dan ayat (2) yang berbunyi: “negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Dengan berpijak pada ketentuan tersebut, seharusnya masyarakat penganut kepercayaan Sunda Wiwitan bisa mencantumkan Sunda Wiwitan sebagai agama yang mereka yakini.
Untuk memperjuangkan hak tersebut, berbagai upaya telah dilakukan oleh masyarakat adat Sunda Wiwitan Cigugur yang sebenarnya sudah terjamin dalam UUD 1945.
Upaya ini sekaligus meneguhkan bahwa masyarakat adat di Kabupaten Kuningan ini merupakan bagian dari Bangsa Indonesia yang mengakui kebebasan dalam menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannya. Penetapan kejelasan masyarakat juga sebagai perwujudan dari negara mengapresiasi keberadaan, keberagaman dan kebhinekaan berbangsa. []