Mubadalah.id – Siti Walidah lahir pada 3 Januari 1872, di Kauman, Yogyakarta. Ayahnya, Muhammad Fadhil Kamaludiningrat, adalah seorang kiai dan ulama di daerahnya, dan masih kerabat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, dan diangkat menjadi penghulu di Keraton.
Siti Walidah dididik ilmu-ilmu agama oleh ayah dan ibunya. Manakala dipandang dewasa, ia dinikahkan dengan Ahmad Dahlan, seorang pemuda yang terkenal pintar dan cerdas.
Ahmad Dahlan adalah pemuda yang masih kerabat dengan dirinya. Ini berlangsung pada 1889 M. Setelah perkawinan ini, namanya lebih terkenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan.
Nyai Ahmad Dahlan bersama suaminya mendirikan Sopo Tresno pada 1914, atau dua tahun setelah pendirian Organisasi Muhammadiyah. Sopo Tresno bermakna “siapa senang”. Ia adalah semacam kelompok diskusi untuk mendalami makna al-Qur’an, terutama ayat-ayat tentang perempuan.
Selain itu, Sopo Tresno juga menjadi wadah bagi kaum perempuan untuk belajar membaca dan menulis, serta mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.
Organisasi Sopo Tresno menarik perhatian kaum perempuan Saat itu. Banyak perempuan bergabung dan mengikuti pengajian serta aktivitas yang ia selenggarakan. Perkembangan organisasi perempuan ini luas. Anggotanya semakin besar.
Maka, dalam suatu pertemuan, ada ide untuk mengganti namanya menjadi “Aisyiyah”, mengambil nama dari istri Nabi Saw., Aisyah, yang terkenal cerdas, pintar, ahli hadis sekaligus aktivis sosial-politik. Organisasi ini secara resmi berdiri pada 22 April 1917. Nyai Ahmad Dahlan menjadi sebagai pemimpinnya.
Memperjuangkan Kesetaraan Gender
Seiring berjalannya waktu, organisasi Aisyiyah kemudian bergabung dan menjadi bagian dari organisasi Muhammadiyah yang KH. Ahmad Dahlan bentuk pada 1912. Aktivitas Aisyiyah fokus pada penguatan pendidikan kaum perempuan sekaligus memperjuangkan kesetaraan hak-hak perempuan.
Maka, sejak saat itu, berdirilah sekolah-sekolah khusus perempuan di bawah naungan Aisyiyah. Nyai Ahmad Dahlan memimpin gerakan ini. Ia tidak setuju dengan konsep patriarki dan menilai seorang istri ialah mitra bagi suaminya. Nyai Ahmad Dahlan juga menentang praktik kawin paksa.
Sejalan dengan gerakan organisasi Muhammadiyah yang semakin besar dan berpengaruh luas serta berskala nasional, organisasi Aisyiyah juga berkembang ke seluruh daerah Indonesia. []